Senin, 28 Oktober 2013

Jagoan Saya di Konvensi Demokrat



Sebetulnya saya sangat berharap mantan Ketua MK, Mahfud MD dan Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra ikut konvensi penjaringan Capres dari Partai Demokrat. Namun rupanya kedua tokoh besar itu menyatakan ketidakikutsertaannya.

Mahfud MD mundur dari konvensi setelah melakukan perenungan, konsultasi dengan para Ulama, dan shalat istikharah memohon petunjuk pada Tuhan Sang Pemberi Petunjuk. Tokoh Nahdhatul Ulama yang sangat paham konstitusi itu menyimpan keraguan mengenai hak dan kewajiban peserta konvensi, terutama setelah konvensi selesai dan pemenangnya sudah ditetapkan, serta hasil pemilu legislatif sudah selesai. Menurut Mahfud, selama ini dirinya hanya mendengar penjelasan mengenai mekanisme konvensi secara lisan. Penjelasan yang diterimanya pun kerap berganti-ganti dan tidak konsisten. Plus tidak ada jaminan tertulis, sementara AD/ART Partai Demokrat menentukan mekanisme yang berbeda dengan berbagai penjelasan daripada jaminan lisan itu. Tentu tidak lucu jadinya, jika setelah memenangkan konvensi, Partai Demokrat justru mendukungnya hanya dengan setengah hati.

Sedangkan Yusril Ihza Mahendra, sebagaimana ditulisnya di Kompasiana, akhirnya tidak ikut konvensi karena merasa berat jika harus meninggalkan partai yang selama ini berjuang bersamanya, Partai Bulan Bintang. “Laksamana Cheng Ho” yang nyaris tidak pernah kalah dalam Judicial Review di Mahkamah Konstitusi itu tidak mungkin meninggalkan partai pewaris Masyumi itu dimana ia adalah pendiri, pernah menjadi Ketua Umum, dan sekarang sebagai Ketua Majelis Syuronya.

Padahal jika dua tokoh intelektual muslim tersebut maju, tentu perhelatan akan semakin menarik karena kita kemudian disuguhkan tontonan bagaimana orang hebat akan maju capres di antara orang yang hebat-hebat. Dengan mundurnya Mahfud dan Yusril, konvensi itu akhirnya terasa kurang greget, karena kebanyakan peserta lainnya hanya “biasa-biasa” saja.

Hanya ada empat peserta yang tidak “biasa-biasa”. Mereka adalah Rektor Paramadina Anies Baswedan, Meneg BUMN yang cerdas dan eksentrik Dahlan Iskan, pemasar andal jebolan Harvard Gita Wirjawan, dan Dubes RI utk AS, Dino Patti Djalal. Saya berharap di antara empat tokoh tersebut, Rektor Paramadina Anies Baswedan keluar jadi pemenang, sekalipun Dahlan Iskan, Konon tidak terbendung.

Tentang Anies Baswedan
Sewaktu kuliah dulu, saya dan teman-teman di fakultas dan labpol—yang gandrung dengan buku-buku pemikiran itu—dibuat tercenung dengan masuknya nama orang Indonesia dalam daftar 100 Tokoh Intelektual Dunia yang dirilis Majalah Foreign Policy terbitan Amerika Serikat 2008 silam. Dan Anies Baswedan adalah satu-satunya orang Indonesia yang masuk dalam daftar tokoh intelektual dunia itu. Anies menjadi satu di antara tokoh-tokoh dunia dan tokoh perdamaian, seperti Noam Chomsky, para penerima penghargaan Nobel, seperti Al Gore, Muhammad Yunus, Amartya Sen, dll.

Sementara, World Economic Forum yang berpusat di Davos, pada Februari 2009, memilih Anies sebagai salah satu Young Global Leaders. Tahun berikutnya, pada April 2010, Anies Baswedan juga terpilih sebagai satu dari 20 tokoh yang membawa perubahan dunia untuk 20 tahun mendatang versi majalah Foresight yang terbit di Jepang.
Dalam edisi khususnya yang berjudul “20 Orang 20 Tahun”, Majalah Foresight menampilkan 20 tokoh yang diperkirakan akan menjadi perhatian dunia dimana mereka akan berperan dalam perubahan dunia pada dua dekade mendatang. Nama Anies berada sebagai satu-satunya yang berasal dari Asia Tenggara di antara 19 tokoh dunia lain seperti Perdana Menteri Rusia Vladimir Putin, Presiden Venezuela Hugo Chavez, Menlu Inggris David Miliband, dan lain-lain. Sementara Lembaga Royal Islamic Strategic Studies Centre yang bermarkas di Yordania menyebut Anies sebagai ‘500 Muslim Paling Berpengaruh di Dunia’. Luarbiasa Hebat, bukan?
Anies Baswedan sukses menyabet gelar Master dari School of Public Policy, University of Maryland, dan gelar Doktor dalam Ilmu Politik dari Northern Illinois University, AS pada usia 36 tahun. Sebagai seorang intelektual yang tidak memihak kepada satu kekuatan politik manapun, Anies dipandang sebagai tokoh intelektual yang netral. Itulah mengapa panitia Debat Capres 2009 silam sangat tepat memilih cucu pejuang kemerdekaan ini sebagai moderator saat itu.

Yang unik adalah, kemampuan tokoh yang diangkat menjadi rektor pada usia 38 tahun (sekaligus menjadi rektor termuda se-Indonesia—wow dulu) itu dalam menjalin komunikasi. Maksud saya begini, hampir dalam semua konteks, kalangan pemikir-pemikir beraliran moderat selalu berada pada posisi dilematis: dipandang konservatif oleh kelompok liberal, namun dipandang liberal oleh kelompok konservatif. Anies Baswedan, tidak mengalami dilema tersebut. Kalangan pemikir liberal bisa dengan nyaman berdiskusi dengannya, dan kelompok konservatif pun menaruh hormat pada pendiri Gerakan Indonesia Mengajar ini. Jika bukan karena kemampuannya yang baik dalam berkomunikasi, tentu sulit mengikis dilema seperti itu.

Tapi justru malah saya yang dilematis. Satu sisi saya berharap tokoh bangsa ini melaju sebagai capres, tapi di sisi lain saya khawatir tokoh yang saya kagumi tersebut kehilangan citra netralnya setelah ikut konvensi Partai Demokrat. Karena selama ini, Mengutip foresight, Anies disebut sebagai seorang muslim moderat yang hingga kini tetap konsisten pada pendiriannya untuk tidak memihak pada kekuatan (politik) tertentu. Saya juga khawatir jika Anies kalah dalam konvensi, apakah ada partai lain yang akan mencalonkan sang intelektual dunia itu menuju kursi kepresidenan? ataukah ia kembali ke perpustakaan, menjadi peneliti, pemikir dengan serakan buku di mejanya, kembali mengajar sampai menua?

Gerakan Indonesia Mengajar, Apa Namanya jika Bukan Ketulusan?
Anda boleh tidak bersetuju, tapi saya ingin katakan bahwa gerakan ini didirikan oleh Anies Baswedan sebagai bentuk kecintaan sekaligus keprihatinannya pada bangsa Indonesia. Banyak anak-anak muda jebolan kampus-kampus kenamaan seperti UI, ITB, UGM, IPB, Unair, Unpad, dll dengan IP rata-rata di atas 3, bergabung dengan gerakan ini.

Tidak sedikit di antara mereka yang rela meninggalkan pekerjaannya yang cukup menjanjikan dengan satu tujuan: menjadi inspirasi dan cahaya bagi siswa-siswa yang kurang beruntung di daerah terpencil.
Anak-anak muda berusia di bawah 25 tahun yang bergerak di bawah naungan Yayasan Indonesia Mengajar ini bahkan telah siap dengan kemungkinan bahwa mereka akan berhadapan dengan warga dan murid-murid yang belum tahu berbahasa Indonesia, menginap di desa-desa yang hanya sekadarnya, transportasi dan listrik yang belum ada, maupun makanan yang seadanya.

Anies sampaikan kepada anak-anak muda yang semangat dan ketulusannya benderang ini, bahwa lokasi sebagian besar SD terpencil ini tidak ada listrik, tidak ada sinyal HP. Meski begitu masih banyak saja anak-anak Indonesia yang terdidik baik, dari keluarga mapan, dan berbagai strata siap mendidik saudara-saudaranya.
Gerakan Indonesia mengajar ini menurut Anies merupakan bagian dari upaya untuk mengisi kekurangan guru di tingkat sekolah dasar di pelosok Indonesia. Sejak awal mula digagas, Yayasan Gerakan Indonesia Mengajar telah mengirimkan Pengajar Muda ke berbagai daerah di pelosok-pelosok negeri.

Saya sendiri, yang lumayan sering ke luar kota dan melihat pelosok-pelosok daerah untuk berbagi buku gratis dan fasilitas penunjang pendidikan lainnya, cukup tahu bagaimana sulitnya medan di pelosok-pelosok itu. Bagaimana sulitnya mencari sinyal hand phone, malam yang gelap tanpa listrik, menyeberang danau untuk tiba ke kampung seberang, dan seterusnya… dan seterusnya..

Namun, mari kita liat bagaimana ketulusan mereka yang bergabung dengan Gerakan Indonesia Mengajar yang didirikan oleh Anies Baswedan ini sebagaimana saya dengan senang hati merangkumnya dari tokohindonesia.com:

Adeline Magdalena, seorang sarjana sains yang cerdas alumnus ITB, mengaku ikut program ini karena ingin berbagi mimpi dengan anak-anak yang mungkin tidak dapat mengenyam pendidikan tinggi seperti dirinya. “Secara pribadi saya tidak berencana menjadi guru tapi saya ingin berbagi pengalaman dan mimpi dengan anak-anak di daerah terpencil,” katanya.

Ayu Kartika Dewi, lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga, Surabaya yang sudah bekerja di perusahaan multinasional di Singapura bahkan rela meninggalkan pekerjaannya demi program “Indonesia Mengajar”.
Erwin Puspaningtyas Irjayanti (24 tahun), jebolan IPB Bogor yang sebelumnya sudah bekerja di sebuah bank terkemuka di Jakarta juga rela meninggalkan pekerjaannya untuk mengabdi menjadi guru sekolah dasar nun jauh di Kabupaten Majene, Sulawesi Barat. “Ini kesempatan emas berbuat untuk negeri sekaligus memenuhi panggilan hati,” kata wanita penulis novel The Sacred Romance of King Sulaiman & Queen Sheba ini.

Begitu juga dengan Bagus Arya, pemuda yang gagasannya mengenai Proklamator, Wakil Presiden Republik Indonesia Pertama (1945-1956) tentang koperasi pemuda diakui World Bank sebagai salah satu ide terbaik, meninggalkan pekerjaannya di Bank Indonesia karena tertarik untuk memajukan pendidikan dan ingin membaktikan diri bagi Indonesia secara langsung melalui pengajaran.

Dan Anda tahu? dari empat gelombang yang sudah dilakukan, sebanyak 241 generasi muda terpilih telah ditempatkan di 134 desa di 16 kabupaten di Indonesia. Mereka tertarik bergabung dengan Anies Baswedan, karena apa yang dimulai dari hati akan diterima oleh hati. Semoga lolos konvensi, Pak Anies.


Jika pun, akhirnya Anies Baswedan tidak melaju memenangkan konvensi, semoga yg terpilih adalah tokoh yang “tidak biasa”. Kemudian partai-partai lain juga mencalonkan presiden yang “tidak biasa”. Sehingga kita dihadapkan pada preferensi yang semuanya baik. Pilihan kita tidak lagi memilih yang baik di antara yang buruk, tetapi memilih orang baik di antara pilihan yang semuanya baik. Seorang Philosopher King yang dirindukan Plato, filosof kenamaan dari Yunani Kuno itu
***
Sigit Kamseno


0 komentar:

Posting Komentar