Senin, 28 Oktober 2013

PKS Bukan Benalu, Tanggapan untuk Budi Pasopati





Membaca artikel Budi Pasopati di Kompasiana yang berjudul “PKS Benalu Indonesia” pekan lalu, membuat saya menggeleng kepala. Tulisan yang terkesan arogan dan tendensius itu bertubi-tubi menghakimi kader-kader PKS yang o rang Indonesia itu sebagai orang-orang yang “numpang hidup”di Republik ini.


Saya jadi teringat obrolan beberapa waktu lalu dengan seorang staf anggota dewan dari Partai Hanura. Dia, yang mantan pengurus Ikatan Pelajar Nahdhatul Ulama (IPNU) Jatim itu bilang bahwa hanya PKS partai yg belum ada orang NU-nya. Sembari bercanda dia bilang PKS masih belum “disusupi” oleh NU. Saya, yang kebetulan berkultur NU dan pernah meneliti tentang PKS mengatakan kepadanya bahwa di PKS juga banyak warga NU dan kalangan tradisionalis muslim lain.
Tampaknya Budi Pasopati harus membaca serakan buku-buku yang ditulis oleh banyak peneliti di berbagai universitas baik dalam dan luar negeri tentang bagaimana PKS sebetulnya merupakan melting pot (titik temu) dari berbagai varian pemahaman Islam di Indonesia. Di PKS ada warga NU, Muhammadiyyah, PII, HMI, Persis, dan seterusnya.


Perlukah saya memberitahu Budi Pasopati bahwa anggota MPP PKS bernama Mushlih Abdul Karim adalah santri pesantren langitan, Tuban. Bahkan Muslih Abdul Karim yang merupakan murid kesayangan Alm. KH. Abdullah Faqih itu terbiasa mentradisikan tahlil setiap malam Jumat di King Ibnu Su’ud University, Saudi Arabia.


Demikian pula, Anggota MPP PKS yg lain yakni Ahzami Samiun jazuli adalah putra Kyai NU Sami’un Jazuli, bahkan Abdul Roqib, (Aleg PK 99-04) adalah Mantan Ketua GP Anshor Lampung. Atau perlukah saya tambahkan lagi bahwa tokoh-tokoh PKS seperti H. Bukhari Yusuf, MA, sekretaris Dewan Syariah PKS, adalah murid kesayangan KH. Noer Ahmad S, ahli Ilmu Falak NU, H. Bakrun Syafi’i, MA alumni Pesantren Al Munawwir, Krapyak, Yogyakarta adalah murid kesayangan KH Ali Ma’shum. H. Amang Syafruddin, Lc, Msi alumnus Pesantren NU Cipasung, Tasikmalaya yang sering dipuji sebagai murid nomor satu.

Mantan menteri kehutanan dari PKS yang sekarang menjabat walikota Depok, Nurmahmudi Ismail juga adalah santri pondok pesantren salafiyah al-Ishlah, Kediri, dan lain-lain, dan lain-lain…

Demikian pula dari Muhammadiyah, ada Hidayat Nurwahid, ada pula Anis Matta, dan seterusnya.

Jadi, tulisan Budi Pasopati yang secara “tendensius dan arogan” itu keliru jika mengatakan bahwa PKS itu numpang hidup di Indonesia karena tidak memilki akar sejarah pemikiran Islam di dalam negeri.

Apakah penulis artikel tersebut juga ingin mengatakan bahwa Sang Pencerah KH.Ahmad Dahlan (1868-1923) adalah pemikir Islam yang numpang hidup di Nusantara hanya karena pemikirannya terinspirasi dari Muhammad Abduh di Timur Tengah melalui ajaran Ahmad Khatib (1860-1916) yang merupakan pengikut M.Abduh di Makkah sana?

Apakah penulis tersebut ingin mengatakan bahwa Muhammad Natsir atau KH.Agus Salim adalah pemikir Islam numpang hidup di Indonesia karena kedekatannya dengan Ikhwanul Muslimin di Mesir?

Atau apakah penulis tersebut juga ingin mengatakan bahwa M.Rasjidi, Menteri Agama RI pertama itu juga pemikir numpang hidup hanya karena sering menghadiri kajian yg diasuh oleh Sayyid Qutb?
Atau apakah Budi Pasopati juga ingin mengatakan bahwa Gerakan Persatuan Islam (PERSIS) adalah gerakan numpang hidup karena diinspirasi oleh gerakan Muhammad bin Abdul Wahhab dan Rasyid Ridha dari Timur Tengah nun jauh disana?

Mengapa pula harus alergi dengan istilah-istilah Arab yang kerap digunakan oleh kader PKS seperti kata “ikhwan dan akhwat”?. Perlukah Budi Pasopati diberitahu bahwa penggunaan istilah ikhwan yang ditujukan untuk menyebut saudara laki-laki itu sudah dipakai sejak lama oleh penganut tarekat di Indonesia, bahkan dalam trradisi melayu pada era 1930-an terma ini sudah dipakai secara umum sebagai panggilan untuk menyebut saudara sesama Muslim. Ditandai dengan penggunaan kata ini dalam penerbitan surat kabar berbahasa Melayu Jawi, Saudara (Yon, 2005).


Memang mengherankan jika beberapa kalangan merasa “dirugikan”dengan penggunaan kata “akhi-ukhti” yang merupakan bahasa pergaulan di kalangan segmen masyarakat tertentu, namun tetap enjoy dan tidak terganggu mendengar kelompok lain menggunakan istilah “sis and bro” untuk memanggil teman-temannya. Bukankah istilah sis and bro juga merupakan istilah asing? Jika orang lain boleh menguccap I love U, mengapa sebagian lain tidak boleh mengucap ana uhibbukum fillah?” apakah bahasa Inggris boleh sedang bahasa Arab tidak boleh? Hidung saya justru mencium aroma-aroma rasisme disini. Sepertimana Budi Pasopati menyebut orang-orang Mesir memiliki watak Firaun. Saya tiba-tiba teringat ucapan teman kuliah dulu yang aktif di HMI-MPO, dia mengatakan bahwa hanya orang primitive yang masih bicara atas dasar rasisme hari ini. :-)


Penulis artikel tsb yg merasa paling Indonesia itu, tampaknya harus membaca sejarah pemikiran Islam Indonesia lebih banyak. Agar tak arogan menilai orang lain menumpang hidup. Agar tak tendensius melihat gerakan Islam semata karena tak disukainya. bahkan kalau mau konsisten, harusnya Budi Pasopati bilang bahwa kita semua adalah orang-orang yang numpang hidup di Nusantara, karena nenek moyang kita (ras Austronesia atau Detro Melayu) yg diperkirakan berasal dari Taiwan dan Cina Selatan, menurut satu teori baru datang melalui laut dan sampai di Nusantara melalui Jawa dan Sumatera sekitar 3.000 tahun lalu. sementara penduduk asli di Nusantara terdesak ke hutan-hutan. jadi kita semua adalah orang-orang yang numpang hidup di sini.


Masaa-ul Khair (kalau tidak boleh dan dianggap menumpang, saya ganti dengan Good Afternoon)

http://sosbud.kompasiana.com/2013/06/12/pks-bukan-benalu-tanggapan-untuk-budi-pasopati-568070.html

0 komentar:

Posting Komentar