Senin, 18 Maret 2013

Komprehensivisme Islam (1)

Abstraksi
Dewasa ini, seiring dengan perkembangan peradaban manusia, interaksi serta paradigma sosial masyarakat dunia telah mengalami perubahan yang barangkali tidak pernah terbayangkan pada zaman-zaman dahulu. Munculnya kesadaran akan persamaan, keadilan, kebebasan, rasioalisme, kesetaraan, dan lain sebagainya telah mengalami titik kesadaran yang paling tinggi—paling tidak sampai saat ini—dalam sejarah peradaban manusia. Munculnya kesadaran akan “nilai-nilai universal” ini sedikit banyak berimplikasi pada paradigma sebagian kalangan tehadap konsep agama-agama. Bagaimana agama misalnya, memberikan respon terhadap ide-ide kebebasan berfikir yang pada beberapa hal bertentangan dengan mainstream keagamaan yang membatasi akal pada beberapa dimensi. Atau dalam hal lain, bagaimana agama kemudian harus menjawab “tantangan manusia modern” akan perlunya kesetaraan. Konsep Kasta dalam agama Hindu kemudian akan (dan harus) berbenturan dengan gagasan kesetaraan ini. Demikian pula, Islam misalnya, harus memberikan jawaban yang rasional—sesuai dengan nalar manusia modern—tentang diperbolehkanya konsep poligami yang dianggap bertentangan dengan asas persamaan dan kesetaraan manusia. Dan seterusnya, dan seterusnya.
Tulisan ini mencoba memberikan sebuah paradigma, bagaimana agama, Dalam hal ini Islam memandang isu-isu serta gagasan yang lahir seiring—atau akibat dari—lahirnya modernisme; fundamentalisme, terorisme, rasionalisme, feminisme, pluralisme serta multikulturalisme.


Pandahuluan


Islam merupakan agama dalam pengertian amat luas. Sebagian kalangan memahami Islam bukan hanya sebagai ‘agama,’ namun Islam dipahami sebagai sebuah system yang Syamil wa mutakamil, lengkap dan komprehensif dengan segala makna yang terkandung dari komprehensivitas itu. Berbeda dengan mereka yang menolak asumsi ini, kalangan yang menjadikan Islam sebagai way of life memaknai al-Diin (sebagai predikat yang hanya melekat pada Islam), sebagai sebuah konsep yang secara komprehensiif mengatur semua aspek kehidupan manusia. Islam diimani sebagai sebuah konsep hidup yang meliputi seluruh dimensi kehidupan yang meliputi dimension of logic tentang hukum benar dan salah, dimension of ethics tentang baik dan buruk, bahkan esthetics dimension, Islam menjadi pandangan hidup yang mengatur mana keidahan yang layak dinikmati manusia dan mana yang tidak. Islam adalah symbol dan substansi pada saat yang sama.


Dalam perspektif ini, al-Diin tampaknya lebih tepat dimaknai sebagai sebuah sistem dari pada sebagai ‘agama.’ Karena ketika al-Diin diterjemahkan sebagai ‘agama’ dalam pengertian bahasa Indonesia, atau religion dalam bahasa Inggris, ia dipandang telah mengalami reduksi atau penyempitan makna yang terlampau jauh. Yakni menegasikan wilayah komprehensifitas Islam yang meliputi aspek ekonomi, sosial, politik, militer, dsb. Fahty al-Durayni, seorang ilmuwan dari Universitas Yordania, sebagaimana dikutip oleh Khalif Muammar (poltik Islam antara Demokrasi dan Teokrasi, 2007) , menyadari perbedaan konsep agama dan implikasinya terhadap hubungan antara agama dan dimensi social lainnya. Al-Durayni berpendapat bahwa kehadiran Islam justru telah merevolusi makna agama yang sebelumnya dimaknai sebatas ritual-spiritual yang hanya mengatur dimensi ethics (sebagai manifestasi dari hubungan vertical antara manusia dengan Tuhan). Kehadiran Islam menurutnya justru menunjukkan hubungan antara agama/religion dengan politik, agama dan sains, dunia dan akhirat, dan seterusnya.


Dari paradigma awal yang demikian, kaum Islamis kemudian secara meyakinkan memposisikan Islam sebagai sebuah konsep hidup, way of life, dalam segala aspek kehidupan mereka, Dalam berpolitik, dalam kehidupan perekonomian, menuntut ilmu, bekerja, dsb. Semuanya didorong oleh semangat bersyukur pada Allah dan dalam kerangka beribadah kepada-Nya. Itulah sebabnya secara umum kita melihat kaum “fundammentalis” Islam yang konsisten dengan ideogi keislamannya, semacam gerakan tarbiyah (PKS), Hizbut Tahrir, Jama’ah tabligh, merupakan contoh ideal dari prototype manusia yang memiliki keikhlasan dalam bekerja, ketelitian dan kejujuran, kesungguhan dalam menuntut ilmu, keindahan dalam kehidupan rumah tangga, serta merupakan teladan dalam kehidupan personal maupun publik. Sebuah karakteristik yang tampaknya cukup jarang ditemui di kalangan para pemuda pemuja sekularisme. Fakta ini diamini oleh Hassan Hanafi (2003) ketika melihat karakteristik gerakan pemuda Ikwanul Muslimin, dengan menyatakan bahwa kita patut menangis melihat kaburnya nilai dan keimanan, melihat perilaku para pemudi dan remaja yang sudah semakin jauh dari semangat dan akhlak Islam, sehingga Mesir semestinya menyesal telah membubarkan Ikhwanul Muslimin yang cabang-cabangnya di perkampungan bahkan sudah seperti sekolah-sekolah pendidikan akhlak, agama dan nasonalisme.


Kerangka Awal Paradigma Komprehensivisme Islam

Rasionalisme Islam
Untuk mengawalinya penulis ingin membedakan antara rasio dan logika. Rasio (ratio) secara etimologis berarti akal. Dalam hal ini berfikir rasional (rationalism) berarti sebuah konstruksi berfikir yang berlandaskan pada penempatan rasio sebagai panglima kebenaran. Sementara itu, logika berarti pemahaman yang berasal dari hubungan sebab akibat. Berfikir logis dalam hal ini diartikan sebagai konstruksi berfikir yang menyandarkan pada pola hubungan sebab akibat. Eksistensi akibat adalah karena adanya sebab.

Salah satu indikator modernisme adalah berkuasanya rasio daripada dogma, dalam bahasa lain berarti kemenangan logos atas mitos. Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan tekhnologi adalah hasil dari kemenangan rasio daripada mitos-mitos primitivisme. Dari indikator ini, Islam kemudian dibenturkan dengan modernism dengan asumsi bahwa beberapa aspek dalam Islam bertentangan dengan rasionalitas manusia modern. Sehingga dengan asumsi ini, Islam dipandang dapat menghambat kemajuan peradaban. Namun menjadi menarik kemudian adalah seberapa konsisten manusia “modern” menggunakan rasionalisme ini?

Untuk mencapai sebuah kebenaran, pendekatan yang digunakan harus komprehenshif atau tidak boleh parsial, sehingga konklusi yang dihasilkanpun adalah kebenaran yang tidak parsial. Penulis ingin mengajak kita untuk berfikir tidak hanya dari pendekatan ilmu social, tetapi juga melalui pendekatan ilmu eksakta. Hal ini diperlukan agar tercapai apa yang dinamakan dengan berfikir komprehensif, yakni tidak menggunakan paradigma hanya dari satu sudut pandang saja (social saja atau eksakta saja). Terlebih pula, mengingat salah satu keunggulan modernitas adalah kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Tekhnologi yang tidak lepas dari dua pendekatan ini, sosial dan eksakta.

Dalam kacamata ilmu eksakta di dunia tekhnologi yang sudah modern ini, terdapat sebuah misteri bagi para ilmuwan tentang batas-batas alam semesta. Pertanyaan yang seringkali muncul adalah, apakah alam semesta yang terdiri dari jutaan galaksi ini memiliki batas, atau tidak? Sangat tidak masuk akal, jika alam semesta ini tidak berbatas, dalam hal ini, akal manusia modern yang rasional itu, dituntut untuk dapat memahami eksistensi sebuah dimensi ruang yang terus menjauh dan tidak memiliki batas bahkan terus mengembang dan menjauh menurut teori astonomi. Sebaliknya, jika seandainya alam semesta ini memiliki batas, lalu pertanyaannya ada apa di luar batas alam semesta tersebut? Ruang kosongkah yang pada akhirnya juga tidak memiliki batas?? Ataukah sebuah materi yang padat yang juga tanpa batas?

Befilsafat demikian sungguh membuat kita merenung bahwa dalam alam modern ini, tenyata ada hal yang harus diakui berada diluar jangkauan rasionalitas manusia. Ada hal yang sesungguhnya tidak mampu dijangkau oleh akal. Barangkali tidak terlalu salah jika kita menyebutnya dengan “filsafat batas”.

Pertanyaannya adalah, jika kita menerima fakta empiris ilmu pengetahuan ini meskipun tidak masuk akal, misterius, ‘tidak rasional’, mengapa doktrin-doktrin Islam tentang keberadaan surga dan neraka misalnya, kemudian diragukan—justru—karena dipandang tidak rasional? Bukankah tampaknya terdapat standar ganda yang digunakan oleh kalangan –yang mengklaim-rasionalis itu untuk membenturkan Islam dan modernisme? Dalam perspektif Islam, Sesungguhnya penggunaan nalar rasional memang tidak berkorelasi dengan kemajuan peradaban. Karena manusia primitive pada zaman dahulupun telah menggunakan nalar rasionalnya untuk meragukan kebangkitan alam kubur. Bagaimana mungkin organ-organ biologis makhluk hidup yang telah melebur menjadi molekul-molekul yang berbeda dari asalnya dapat menyatu kembali?

Sementara itu disisinya yang lain, apakah memang keimanan tentang adanya surga dan neraka akan menghambat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi? Tampaknya kita harus mempertanyakan kembali apakah memang doktrin keagamaan dalam Islam akan berbenturan dengan kemajuan zaman sebagaimana yang terjadi dalam agama Kristen yang memaksa mereka untuk berfikir lebih rasional dari dogma agama mereka seperti yang dialami oleh masyarakat Kristen Eropa abad pertengahan?

Kita akan melihat pula bahwa pada banyak hal, fakta-fakta ilmu pengetahuan justru semakin memperkuat doktrin dan wahyu al-Qur’an. Sebagai hanya salah satu contoh, dari sekian banyak fakta yang terdapat dalam al-Qur’an, adalahTeori awal mula terjadinya alam semesta yang dikenal dengan teori Bigbang yang diakui oleh seluruh ilmuwan astronomi sebagai awal mula jagad raya. Teori ini menyatakan bahwa seluruh materi dalam alam semesta ini berasal dari sebuah materi yang sangat besar, yang karena adanya suatu gaya maka materi tersebut meledak sehingga tepecah menjadi galaksi—galaksi, justru telah terdapat dalam al-Qur’an,


"Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, Kemudian Kami pisahkan antara keduanya. dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?" (QS. 21:30)



Bagaimana mungkin kita akan meragukan ayat yang telah terbukti secara empiris ini? Dari sini seyogyanya kita memandang bahwa, kaum Islamis tidaklah terjebak dalam dogma keagamaan mereka, tetapi justru doktrin keagamaan tersebutlah yang telah menemukan ruang buktinya pada realitas empiris ilmu pengetahuan. Sehingga keyakinan terhadap fundamentalitas keagamaan mereka pada akhirnya semakin menguat. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa Islam tidak pernah bertentangan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan indikator utama kemajuan peradaban.


Selanjutnya, sebagaimana di atas, bahwa berfikir logis adalah berfikir yang dilandasi oleh prinsip sebab akibat. Penulis ingin memberi gambaran, bahwa telah jelas al-Qur’an adalah benar, bahkan terbukti secara empiris seperti disebut tadi, lalu mengapa kita tidak mempercayai dengan pemahaman yang sama terhadap ayat-ayat yang lain? Yang berbicara tentang pranata social, hukum, perundang-undangan, dan sebagainya yang juga turun dari Allah sebagaimana ayat-ayat tadi?

Mengapa tidak kita memposisikan bahwa, jika ayat yang satu benar dan shahih li kulli makan wa zaman, maka ayat yang lain juga sama, dengan tidak meragukannya dengan berargumentasi bahwa ia tidak terlepas dari dimensi ruang dan waktu. Padahal mempercayainya sama sekali tidak berelevansi dengan kemunduran peradaban atau menolak kemajuan. Fakta empiris di masyarakat kita membuktikan bahwa kalangan “fundamentalis” semacam Hizbut Tahrir, Tarbiyyah, dan sebagainya justru lebih modern daripada kalangan rasionalis misalnya. Mereka akrab dengan internet, menguasai filsafat serta sejarah bangsa-bangsa dunia, menyadari urgensi pemeliharaan lingkungan, bahkan tidak memiliki sikap individualis—ini uniknya.


Inilah yang terjadi, bahwa doktrin keagamaan dalam Islam tidak berelevansi negatif dengan kemajuan peradaban dan modernitas. Karena Islam memiliki rasionalismenya sendiri, memiliki isme-nya sendiri.


Dari sini dapat penulis sampaikan, bahwa lahirnya isme-isme yang mencari justifikasinya dalam Islam (semacam sosialisme Islam, feminisme Islam, dsb), atau bahkan yang bertentangan dengan Islam, tidak lain hanyalah sebuah miskonsepsi yang hadir sebagai antitesa dari miskonsepsi yang lain. Misalnya gerakan feminisme Islam yang merupakan miskonsepsi terhadap Islam, merupakan respon dari miskonsepsi yang telah ada sebelumnya, yakni fakta rigiditas pada beberapa kalangan kaum muslimin yang merasa bahwa laki-laki lebih supremated dari perempuan. Dari sini ternyata, sebuah miskonsepsi dibalas secara reaksioner juga dengan sebuah miskonsepsi. Padahal jika memahaminya secara komprehensif, polemik ini tidak perlu terjadi. Karena memang Islam telah mengatur relasi laki-laki dan perempuan dengan sangat adil. Pembagian harta waris yang berbeda dilandasi oleh kewajiban yang juga berbeda, wanita tidak diwajibkan berperang (keadaan paling buruk jika perang memang betul-betul terjadi, karena kehidupan politik adalah hal yang sangat dinamis dan segala sesuatu mungkin saja terjadi, bahkan di zaman modern.) tidak diwajibkan mencari nafkah, dsb. Dari sini justru harta waris akan kembali pada perempuan juga pada akhirnya, sebagai pihak yang harus di-tanggung jawab-i oleh laki-laki.


Demikian pula dengan isme-isme semacam sosialisme Islam, gerakan spiritualisme Islam, komunisme Islam, dsb., yang kesemuanya tidak lain sebagai akibat dari parsialisme dalam memahami Islam sebagai sistem yang komprehensif. (Misalnya hanya melihat Islam dari segi sosialismenya saja, dari spiritualismenya saja, dsb.) Akan halnya pluralisme, Islam memiliki cara pandang tersendiri, bahwa penghargaan terhadap pluralitas (bukan pluralisme) adalah sebuah keniscayaan yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw dalam Piagam Madinah (dalam Piagam Madinah, kata ‘Muhammad’ menggunakan predikat nabi Allah , membuktikan bahwa tidak ada sekularisme dalam Islam). Keberadaan minoritas dalam sejarah Islam selalu mendapatkan posisi yang tepat, mereka dilindungi, dan tidak diwajibkan berperang. Namun mereka diwajibkan membayar jizyah, itupun besarnya ditentukan oleh penguasa secara adil dan tidak memberatkan, sebagai jaminan perlindungan terhadap mereka. Berbeda dengan umat Islam yang diwajibkan membayar pajak, namun masih diwajibkan berperang.

Pun demikian, Islam tidak mengenal sosialisme, karena Islam telah mengatur hubungan antara kaum Aghniya dengan kaum mustadh’afîn dalam nuansa yang sejuk dan sinergis tidak antagonis. Adalah sebuah kekeliruan jika memandang kedatangan Islam semata-mata hanya untuk membebaskan ploretarianitas ’Ammar ibn Yaŝir, Bilal ibn Rabah, dsb., dari borjuanisme Abu Lahab, Abu Jahl, dll. Hal ini disebabkan karena selain Islam melindungi Bilal ibn Rabah, ’Ammar ibn Yaŝir, dsb., yang kaum papa itu, Islam juga mengakui eksistensi ’Abdurrahmân ibn Auf, ’Utsmân ibn ’Affan, dan sahabat-sahabat lain yang merepresentasikan golongan pengusaha. Kehadiran Islam bukan hanya untuk membebaskan kaum mustadh’afin an sich dari perbudakan yang terjadi pada masa jahiliyyah, tetapi melahirkan sebuah gagasan baru bahwa ”golongan pengusaha” dan ”golongan buruh” dapat bersinergi dalam hubungan yang harmonis. Sebagaimana dikatakan oleh Musthafa Mahmud, Islam datang untuk menegaskan adanya persamaan dalam meraih kesempatan, menjamin hak untuk hidup dengan layak, menuju keseimbangan ekonomi antara individu dan masyarakat. Islam mengakui prinsip kepemilikan pribadi dan kepemilikan umum. Islam memerangi Abu Lahab an Abu Jahl bukan karena kebangsawanan mereka, namun menuju sebuah keadilan sosial Islam yang merupakan implementasi dari tauhid dan pandangan hidup (ketakwaan) untuk menaati ajaran-Nya.


Demikianlah framework kaum Islamis, sehingga gagasan-gagasan yang mencari labelnya dalam baju Islam, semisal feminisme Islam, sosialisme Islam, militerisme Islam, hingga gerakan tasawwuf dan institusionalisasinya (tarekat), dipandang sebagai akibat dari tidak berhasilnya pencetus gagasan-gagasan tersebut dalam memandang Islam secara komprehenshif. Gagasan-gagasan diatas adalah eksplorasi yang lahir sebagai akibat dari pandangan mereka yang terbatas secara parsial (hanya memandang beberapa aspek saja) terhadap Islam yang sebetulnya komprehenshif (al-Syumûliyyah al-Islâmiyyah). Lalu mengapa muncul hal yang demikian? Tampaknya, Hal ini lebih disebabkan oleh apa yang disebut oleh sosiolog William Isaac Thomas (1863-1947) sebagai ’Logika Situasional’ yakni konfigurasi faktor-faktor sosial yang terjadi pada waktu dan tempat yang memengaruhi persepsi seseorang terhadap sesuatu. Gamal Abdel Nasser dan Muammar Qadhafi memilih Sosialisme Islam karena logika situasional mendorong mereka melakukan hal itu, demikian pula untuk kasus-kasus yang lain. Wallahu A'lam

0 komentar:

Posting Komentar