Senin, 18 Maret 2013

Komprehenshivisme Islam

Di kalangan akademisi maupun praktisinya, paling tidak terdapat dua tanggapan dalam diskursus penegakkan Syariat Islam. Di satu sisi, isu ini selalu menjadi perdebatan menarik, bahkan polemik. Sementara di sisi lain, isu ini justru danggap membosankan. Disebut ”membosankan” karena wacana ini selalu berujung pada artikulasi yang tampaknya selalu—mengulang, dan—terjebak dalam tiga madzhab besar (Bachtiar Effendy, 2006), bahwa (1) Islam dan politik adalah kesatuan integral yang tidak bisa dipisahkan, madzhab ini bisa dilihat melalui pemikiran Saŷid Quţb, Abu al-A’la al-Mawdûdî, dsb.; (2) Islam dan politik bisa dan harus dipisahkan, pengusungnya antara lain `Aly `Abd al-Raziq, Ţaha Huŝein, dsb.; atau (3) Islam dan politik memiliki hubungan, tetapi bukan pada tataran legal-formal, melainkan secara substansialistik. Madzhab terakhir tampaknya diekspos dan menjadi rujukan banyak cendekiawan di Indonesia, pemikiran semacam ini dapat kita lihat dari gagasan Nurchalish Madjid, Azyumardi Azra, dsb.


”Keterjebakan (?)” ke dalam tiga aliran besar seputar relasi ideal agama-negara ini pada akhirnya hanya menjadi perbincangan layaknya debat kusir tiada bertepi, yang oleh para penolaknya dijadikan ’kesempatan’ untuk mengangkat terma ini sebagai hal yang menghabiskan energi dan kontra produktif. Namun demikian, menegasikan diskursus ini, tentu bukan sebuah langkah yang cerdas. Hal ini disebabkan karena konfrontasi ini, baik karena didorong oleh pandangan akademis, maupun sebagai implementasi dari tuntutan ideologis, selalu menemukan ruangnya dalam setiap waktu dan tampak mustahil padam.





Depolitisasi Islam

Dalam konteks politik Indonesia, pergulatan pemikiran ini telah berlangsung sejak lama, seumur dengan usia Republik ini. Perdebatan Soekarno versus Natsir tentang dasar negara adalah contoh konkrit bagaimana sedari awal, tarik menarik antara kubu Nasionalis Islam dengan Nasionalis Sekular telah menjadi pertarungan seru. Contoh yang lebih konkrit adalah seputar Piagam Jakarta yang—bahkan—masih menjadi ”beban sejarah” bagi Bangsa ini.


Nurchalish Madjid telah menyuarakan gagasan sekularisasinya sejak tahun 1970an. Islam dalam pandangannnya tidak lebih dari agama sebagaimana pengertian agama pada umumnya. Dari sini Nurchalish menyerukan agar Islam diceraikan dari politik. Dalam pandangannya, ”negara adalah aspek kehidupan yang bersifat profan yang berdimensi rasional dan kolektif, sementara agama adalah aspek lain tentang kehidupan yang berdimensi sakral dan individual.” Senada namun dalam lirik yang berbeda dengan ucapan Said al-Asymawi, bahwa agama adalah hal yang bersifat universal, sedangkan politik bersifat temporal dan partikular. (catatan: Ketika Nurchalish menyampaikan gagasan sekularisasinya pada 1970-an, ia langsung di tanggapi oleh sejumlah intelektual dari kubu modernis semisal Endang Saefudin Anshari, Prof. H.M. Rasyidi, dll. Pada tahun 1992, gagasannya tentang makna agama, ahlul kitab, dsb, dijawab dengan serangkaian reaksi yang cukup keras. Debat besar “di Mimbar TIM” yang legendaris seolah menjadi sebuah pengadilan bagi gagasan-gagasan Nurchalish. Tanggapan terhadap pemikiran Cak Nur ini lihat Daud Rasyid, “Pembaruan Islam dan Orientalisme dalam Sorotan.” (Jakarta: Usamah Press, 2003).


Gagasan Nurchalish Madjid ini ditanggapi oleh sejumlah intelektual Islam. Pada tahun 1970an, gagasan ini ditanggapi oleh Endang Saefuddin Anshari, Prof. Rasyidi, dsb. Pada tahun 1992, gagasan Nurchalish ditentang oleh tokoh muda Daud Rasyid dalam debat besar ’pembaruan Islam’ di Mimbar TIM yang tersohor itu.


Tema sentral dari perdebatan relasi agama-negara ini berporos pada pendefinisian Islam, apakah ia merupakan agama dalam definisi barat/religion, ataukah sebagai sebuah agama namun dengan pengertian yang berbeda? Karena faktanya kalangan yang menolak Islam Politik memaknai al-Dîn sebagai agama yang sama dengan religion dalam pangertian barat, yakni konsep yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan secara vertikal an sich. Agama adalah urusan spiritual dan ritual, sebagaimana dipahami oleh para sosiolog, antropolog, dan filosof barat yang memang menggunakan framework sekular yang notabene merupakan produk dari traumatisme dari hagemoni Kristen terhadap sistem kehidupan pada zaman kegelapan Eropa. Suatu hal yang berbanding terbalik secara diametral dengan sejarah Islam.





Konteks Indonesia

Tidak berbeda dengan realitas yang terjadi di belahan dunia Islam, di Indonesia, ketika ide penerapan syariat ini dilemparkan ke ruang publik, selalu terjadi perdebatan sengit antara pihak yang mendukung dan menentangnya. Hanya saja dalam konteks Indonesia, perdebatannya tidak melulu terjebak dalam wilayah akademis-filosofis, tetapi lebih pada sebuah kekhawatiran akan terjadinya disintegrasi bangsa. Hal ini yang membedakannya dengan perdebatan wacana relasi Islam-negara yang terjadi di Indonesia dengan di Timur Tengah, mengingat berbeda dengan Timur Tengah, Indonesia merupakan negara yang jauh lebih heterogen, sehingga kekhawatiran disintegrasi bangsa menjadi lebih menonjol ketimbang perdebatan akademis untuk mencari landasan teologis tentang relasi Islam-negara.

Ada beberapa argumen yang diajukan mengapa Syariat Islam dipandang tidak relevan dengan konteks kebangsaan Indonesia kekinian. Argumen-argumen tersebut antara lain,


Pertama, isu ini, terutama akan mengancam integrasi nasional Bangsa Indonesia yang plural dan terdiri dari aneka ragam budaya, etnis dan agama, sehingga tidak diperbolehkan ada sebagian pihak yang memaksakan pahamnya ke dalam ruang publik. Hal ini disebabkan karena sebagaimana dipahami, negara adalah pertemuan dari aneka perbedaan unsur-unsur komunal yang menyusunnya. Keanekaragaman ini telah mengalami dialektikanya sehingga dicapai kesepakatan-kesepakatan kolektif yang dipandang telah mengakomodasi semua kepentingan dari elemen-elemen tersebut. Tentu, harus ada paham-paham subjektif-primordial yang diperkecil perannya agar dapat berjalan sinergis dengan aspirasi dari paham subjektif yang lain. Dialektika ini meniscayakan adanya dekonfessionalisasi dari ekslusifisme semua pihak, karena dikhawatirkan akan berbenturan dengan paham ekslusif dari pihak lain. Meminjam istilah George Wilhem Friedrich Hegel (1770-1831), Negara adalah The Great Spirit atau The Absolute Idea.

Dari perspektif ini mudah untuk dipahami bahwa, sebagai sebuah “kesepakatan sosial” yang telah mengalami dialektika, maka tidak diperkenankan adanya hagemoni sebuah paham komunal-primordial diatas paham komunal-primordial yang lain dalam ruang publik. Derivasi dari argumen ini melahirkan argumen lain seperti kekhawatiran munculnya diskriminasi terhadap ”warga negara kelas dua” untuk non Muslim, kemudian isu sektarianisme, dsb. Yang seluruhnya bertemu pada kekhawatiran disintegrasi bangsa yang tidak diharapkan.



Kedua,
isu penegakkan syariat Islam ini dianggap sebagai rencana yang problematik dan tidak matang. Disebut problematik karena, dalam paham keberagamaan Islam terdapat perbedaan pemahaman terhadap jurisprudensi hukum Islam yang terkristalisasi dalam madzhab. Ketika Syariat Islam ini akan diterapkan, maka akan muncul masalah selanjutnya, hukum Islam versi mana yang akan diterapkan? sementara masing-masing golongan dalam Islam mengklaim dirinya sebagai ”yang paling Islam.” Realitas ini akan lebih mengkristal terlebih di dalam tubuh umat Islam sendiri, aspirasi untuk menegakkan Syariat ini tidak sepenuhnya didukung.


Standar Ganda


Menjawab argumen kedua terlebih dahulu, Sebuah kritik terhadap mereka yang menolak penerapan Syariat Islam ini, yaitu penggunaan standar ganda yang dilakukan untuk menilai Syariat Islam. Di satu sisi, kalangan ini menolak formalisasi syariat dengan alasan ketidakjelasan Syariat Islam versi mana yang akan diterapkan? Sementara di sisi lain mereka dengan gigih menyerukan demokrasi yang dianggap sebagai satu-satunya sistem yang dapat memanusiakan manusia (humanization of man). Padahal faktanya, demokarsi pun mengalami kekaburan definisi. Demokrasi sebagai ’teks’ pada akhirnya ditafsirkan secara subjektif oleh para pemimpin negara di pojok-pojok bumi, entah untuk mencari legitimasi publik, entah untuk kepentingan ekonomi. Bahkan Ian Adams mencatat, setelah Perang Dunia Kedua para sarjana yang ditugaskan oleh UNESCO untuk mencari definisi demokrasi agar dapat disepakati oleh semua pihak, dalam laporannya, Democracy in a World of Tensons, mereka terpaksa harus mengakui telah bertemu dengan kegagalan. Ada begitu banyak definisi tentang demokrasi yang saling bertentangan dan mustahil untuk disepakati. (Ian Adams, 2004) Ketidakjelasan tentang demokrasi ini akhirnya membawa banyak negara dengan serta merta mengklaim sebagai negara demokrasi dengan segala macam alirannya; Demokrasi Sosialis, Demokrasi Liberal, Demokrasi Islam, dsb.


Jika kalangan yang menolak Syariat Islam ini dengan sukarela menerima demokrasi meskipun dengan kekaburan definisi, demokrasi menurut siapa? mengapa untuk formalisasi Syariat mereka tidak menerima justru dengan alasan yang sama? Tampaknya terdapat standar ganda dalam memandang ini.



Lagi-lagi Piagam Jakarta


Akan menjadi hal yang membosankan mengangkat kembali argumen historis untuk membenarkan penerapan Syariat Islam di Indonesia, dan tulisan ini tidak dimaksudkan untuk itu. Dinamika perjuangan penegakkan Syariat Islam di Indonesia memang mengalami ironisme sejarah tersendiri. Penulis ingin mengingatkan lagi wacana lama tentang Piagam Jakarta yang sebagaimana disebutkan di awal tulisan, masih menjadi ”beban sejarah” bagi bangsa ini. Hal ini dianggap perlu karena ada terlalu banyak hal yang terlewatkan ketika tema Piagam Jakarta ini diangkat.


Pertama,
sebagaimana diketahui bahwa rumusan Piagam Jakarta merupakan hasil kompromi selama berbulan-bulan oleh para founding father Republik ini. Alotnya pembahasan tentang rumusan Piagam Jakarta menjadikan perundingan ini benar-benar tampak seperti ”perebutan pengaruh” untuk bangsa ini kedepan. Sampai-sampai Soekarno yang menjadi ketua Tim Sembilan, mengatakan kepada para negosiator, ”saya mohon dengan rasa menangis, rasa menangis, kepada tuan-tuan, sudilah kiranya tuan-tuan menjalankan pengorbanan ini kepada tanah air dan bangsa kita. Pengorbanan untuk keinginan kita, agar kita dapat lekas menyelesaikan, agar Indonesia merdeka dan lekas damai” . (catatan: Piagam Jakarta merupakan rumusan kompromi dari Panitia Sembilan yang mencerminkan kubu Islam, Nasionalis, dan Kristen. Mereka adalah, Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta, Mr. AA Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Moezakkir, H. Agoes Salim, Mr. Achmad Soebardjo, KH. Wachid Hasjim, (ayah Gus Dur dan putra pendiri NU Hadratussyeikh KH. Hasyim Asy’ari,) dan Mr. Muhammad Yamin. Lihat Alwi Shahab, “Piagam Jakarta: Kisah Tujuh Kata Sakral” dalam Kurniawan Zein dan Sarifuddin HA.ed., Syariat Islam Yes, Syariat Islam No.” (Jakarta: Paramadina,2001. h. 5.), Rumusan ini merupakan hasil jerih payah dari kompromi yang berjalan dengan sangat alot. Hasil kompromi ini sangat dihormati oleh para ahli hukum karena mencerminkan adanya upaya dekonfsesionalisasi, setelah sebelumnya kubu Islam bersikeras menghendaki Indonesia sebagai Islamic State/Negara Islam. Yang menyebabkan mereka mengendurkan tuntutannya adalah adanya kalimat, ”dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”
Prof. Soepomo menyebutnya sebagai “Perjanjian Luhur,” sedang Dr. Sukiman menyebutnya “Gentlemen Agreement,” Mr. Muhammad Yamin menamakannya dengan “Jakarta Charter,” Prof. Notonagoro menjulukinya “Suatu Perjanjian Moril yang amat Luhur.” Lihat Firdaus AN, Dosa-dosa yang Tidak Boleh Terulang (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1993), h. 64-65.)




Yang perlu kita pertebal dan garisbawahi adalah, bahwa rumusan yang telah disepakati—sekali lagi, dengan jerih payah sebagai hasil perundingan yang sangat alot—ini dicoret hanya dalam waktu beberapa menit. Peristiwa ini menggambarkan kenyataan tidak dihormatinya kerja keras para founding father republik ini


Kedua, yang menjadikan peristiwa ini ironis adalah, bahwa pencoretan ini hanya didorong oleh kekhawatiran akan ancaman seorang dari Indonesia Timur yang –bahkan—tidak diketahui siapa namanya . (catatan: Sampai tahun 1984 Tidak terdapat satu buku pun yang menjelaskan siapa gerangan yang memberi ultimatum supaya tujuh kata dalam Piagam Jakarta itu dicoret, dalam buku Bung Hatta sendiri pun tidak ada. Sampai tahun 1984 tokoh itu masih misterius bagi sejarawan maupun politisi. Barulah setelah Cornell University menerbitkan sebuah buku tentang Indonesia diketahui bahwa tokoh tersebut bernama Dr. Sam Ratulangi yang pada halaman 7 disebut sebagai an astute Cristhian politician from Manado, North Sulawesi. Lihat Firdaus AN, Dosa-dosa yang Tidak Boleh Terulang, h. 67.)


Ketiga, lebih ironis lagi, seseorang yang tidak diketahui siapa namanya ini mengklaim sebagai ”wakil dari Indonesia Timur.” Lengkap dengan ancaman bahwa ”Indonesia Timur” akan memisahkan diri dari NKRI jika tujuh kata, dengan kewajban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, tetap dicantumkan dalam Piagam Jakarta. Padahal perlu dicatat di sini bahwa belum pernah dilaksanakan referendum di Indonesia Timur untuk memberikan otoritas pada ’Mr. X’ bahwa mereka akan bercerai dari NKRI seandainya tujuh kata tersebut masih dicantumkan. Dalam perkembangan selanjutnya, Isu disintegrasi inilah yang selalu diungkap saat keinginan untuk menerapkan Syariat ini muncul ke permukaan.


Keempat,
menambah panjang ironisme ini adalah, fakta bahwa disintegrasi bangsa justru terjadi disebabkan oleh pencoretan tujuh kata dalam Piagam Jakarta tersebut. Disebut ironis sebab pencoretan yang diharapkan dapat meredam disintegrasi ini justru menghasilkan disintegrasi yang lebih nyata (bukan sekedar ancaman). Hal ini dibuktikan dengan terjadinya pemberontakan di berbagai daerah. Sungguh tidak dapat disangkal bahwa ”pemberontakan” DI/TII Kartosoewirjo di Jawa Barat, Kahar Muzakkar di Sulawesi, Ibnu Hajar di Kalimantan, dan Daud Beureuh di Aceh merupakan akumulasi kekecewaan rakyat atas tidak diakomodasinya aspirasi mereka untuk menerapkan hukum Islam sebagai hukum positif di Indonesia (al-Chaidar, 1999). Rasanya tidak etis jika kita memberi argumen bahwa mereka bukan ”tipikal Islam Indonesia,” karena ”pemberontakan” terjadi di berbagai daerah.


Kelima, ironisme yang kesekian adalah bahwa gejolak yang diakibatkan oleh pencoretan tujuh kata ini justru ”diapresiasi” oleh pemerintah kala itu dengan pendekatan militer. Kita akan melihat perlakuan pemerintah yang berbeda dengan ancaman dari ”Indonesia Timur” (mohon perhatikan tanda kutip, sekali lagi ”Indonesia Timur”) yang diapresiasi dengan sangat baik, yakni dengan dikabulkannya ’ultimatum’ mereka, sekalipun belum jelas akurasinya.


Keenam,
yang makin menambah ironisme ini, adalah fakta tak terbantahkan bahwa gerakan-gerakan separatis semacam Republik Maluku Selatan dan Gerakan Papua Merdeka tetap muncul meskipun tujuh kata dalam Piagam Jakarta telah dicoret. Sehingga muncul sebuah keraguan, apakah memang terdapat relevansi antara Piagam Jakarta dengan isu disintegrasi bangsa? Pun demikian pula lepasnya Timor Lesté, munculnya Gerakan Aceh Merdeka beberapa waktu lalu, menyusul Riau, dan beberapa daerah lain, sebetulnya memberi gambaran pada kita bahwa isu distintegrasi ini sama sekali tidak berkorelasi dengan ideologi negara. Faktanya dapat dilihat, bahwa isu penegakkan Syariat ini belum lagi bergema, gerakan untuk memisahkan diri dari NKRI justru telah muncul. Isu disintegrasi ini, mengutip Anis Matta, hendaklah dipandang secara jernih, bahwa masalah yang sebenarnya justru terletak pada usia keadilan Republik ini, yakni keadilan pemerintah pusat kepada daerah. Kita dapat melihat bahwa daerah yang ingin memerdekakan diri itu adalah daerah-daerah yang selama ini merasa dianaktirikan oleh pemerintah pusat (Anis Matta, 2006).


Menghindari Pembicaraan

Dari argumen di atas, pertanyaan yang lahir adalah, apakah karena tidak dapat menjawab argumen historis ini, kalangan yang menolak penerapan Syariat Islam di Indonesia kemudian menyepakati agar amandemen UUD tidak menyentuh isu dasar negara. Dengan alasan bahwa Pancasila sudah menjadi kesepakatan para founding father Republik Indonesia. Padahal faktanya, yang merupakan kesepakatan para Founding father NKRI, justru adalah Piagam Jakarta yang ditandatangani pada 22 Juni 1945, sebelum akhirnya dicoret sesaat menjelang sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustuis 1945. Menghindari Piagam Jakarta sebetulnya justru menunjukkan bentuk ketidakpenghargaan terhadap keringat para founding father NKRI itu sendiri. Hal ini sekaligus membantah pandangan yang mengatakan bahwa Pancasila merupakan hasil dekonfessionalisasi yang lahir dari kompromi para pendiri republik ini.


Anti Klimaks


Terlepas dari semua argumen di atas, sebetulnya penulis termasuk kelompok yang tidak sepakat dengan isu dicantumkannya kembali tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Mengingat ada peluang diskriminasi di dalamnya. Yakni hanya Syariat Islam yang diakomodir oleh negara, sementara syariat agama lain—kalau ada—tidak di akomodasi. Hal ini dapat menimbulkan pandangan adanya kesenjangan yang selama ini dikhawatirkan, yakni munculnya warga negara ´kelas satu´ dan ´kelas dua.´(hal ini pun sesungguhnya tidak perlu dikhawatirkan, karena penganut agama lain memang tidak menginginkan syariat agamanya di terapkan oleh negara).


Selain itu, Ketidaksepakatan penulis terhadap formalisasi Piagam Jakarta ini selain disebabkan karena memandang mereka yang berhasrat menghidupkan kembali isu ini telah terjebak dalam idealisme yang tidak realistis dalam konteks kekinian, juga mengingat ada banyak hal yang perlu dibenahi sebelum isu ini dilemparkan ke ruang publik. Bahwa Piagam Jakarta bukanlah satu-satunya rumusan final yang sakral bagi pemberlakuan Syariat Islam di Indonesia. Pemunculan isu ini di saat yang belum tepat justru dapat menjadi bumerang bagi Syariat itu sendiri. Karena tidak dapat disangkal, realitas pemahaman masyarakat terhadap syariat Islam masih jauh dari ideal. Pendidikan politik bagi ummat tentang landasan filosofis, tinjauan praksis, serta dekonstruksi wacana lama tentang betapa rigidnya Syariat Islam harus didahulukan ketimbang terburu-buru memaksakan formalisasi disaat masyarakat belum memahaminya secara tepat. Inilah kritik terhadap kaum strukturalisme Islam, seolah dengan formalisasi maka semua masalah dapat diatasi.


Namun demikian, argumentasi historis sebagaimana diatas tampaknya diperlukan untuk merubah paradigma tentang Piagam Jakarta yang selama ini kurang dibedah secara jujur. Bahwa betapa peristiwa pencoretan itu laksana sebuah ”Penghianatan agung” yang selama ini terus ”dibangga-banggakan” oleh beberapa kalangan . (catatan: Pencoretan tujuh kata dalam Piagam Jakarta ini secara resmi berarti pula bahwa Syariat Islam di Indonesia dinyatakan tidak lagi berlaku. Sekaligus pada akhirnya menetaskan hukum konvensional yang kemudian berlaku hingga hari ini. Sebagai sebuah perbandingan sederhana, Dalam hukum konvensional kita, seorang tahanan akan diganjar dengan hukuman kurungan/penjara. Jika diasumsikan seorang tahanan mendapat jatah makan sehari dua kali, yang setara dengan Rp 1500,- (artinya, Rp 700,- sekali makan). Dengan asumsi hanya terdapat satu juta orang kriminalis di seluruh Indonesia, maka negara harus mengeluarkan anggaran sebesar Rp 1.500.000.000,- (Rp 1,5 M) perhari. Ini berarti Rp 45.000.000.000,- (Rp 45 M) dalam satu bulan, atau Rp.540.000.000.000,- (Rp 540 M) dalam satu tahun. Anggaran negara sebesar ini digunakan "hanya" untuk memberi makan para tahanan dan belum terbukti mampu memberikan efek jera. Hal ini dibuktikan dengan tidak sedikit diantara mereka yang menjadi residivis, karena tangan yang dahulu digunakan untuk mencuri misalnya, masih bisa digunakan untuk mencuri. Terlebih hukuman ini kurang memberikan efek domino bagi masyarakat lainnya.


Pun dengan prosesi hukuman mati dalam hukum kita, Siapakah yang dapat menjamin bahwa Ayodhya Prasahad Chobey, tereksekusi mati kasus narkoba asal India itu, betul-betul di hukum mati? Demikian pula dengan (tanpa maksud melecehkan agama manapun) Fabianus Tibo, tidak ada yang menjamin bahwa keduanya betul-betul dieksekusi mati, Karena pelaksanaan eksekusi berlangsung tertutup tanpa ada wartawan yang meliput, apa lagi masyaraat yang melihat. Terlebih setelah dieksekusi "mayat"nya langsung dimasukkan ke dalam peti tanpa ada satu orang pun yang diperbolehkan membukanya. Metode eksekusi semacam ini sangat memberi peluang bagi tindak pidana baru seperti penyuapan. Belum termasuk jika ditanyakan seberapa signifikan efek positif bagi masyarakat atas metode eksekusi semacam itu? Eksekusi seharusnya dilihat langsung oleh masyarakat sehingga menutup peluang adanya manipulasi, selain itu efek domino yang dihasilkan jelas lebih efektif. Sehingga efisiensi hukum benar-benar jelas, mengobati sekaligus mencegah penyakit datang kembali. Solutif sekaligus preventif.


Logika ini diakui terlampau sederhana, namun logika sederhana ini menggambarkan betapa tidak efektifnya hukum konvensional kita. Artinya adalah, kekhawatiran tentang "efek negatif" dari penegakkan Syariat Islam, baru berada dalam level "kekhawatiran," sementara ketidakefektifan hukum konvensional telah terlihat nyata.)


Artikulasi Politik: Mencari Solusi


Perdebatan antara kaum sekular dan Islamis (termasuk pula perdebatan antara kaum kultural vs struktural) sepenuhnya dapat diyakikni sebagai idealisme untuk mencari solusi terbaik bagi problematika kebangsaan kita. Baik kaum sekular maupun kaum Islamis, keduanya berangkat dari keyakinan bahwa republik ini membutuhkan solusi bagi krisis multidimensi yang menyelubunginya. Keduanya memiliki visi dan orientasi yang sama, hanya dalam persepsi dan perspektif solusi yang berbeda.

Sebagaimana kita ketahui, dalam segala aspek kehidupan berbangsa, kita berhadapan dengan lebih dari satu masalah. Pelik problem ekonomi yang melilit bangsa, bobroknya mental para birokrat pusat hingga daerah, rusaknya lembaga hukum, kepolisian, hingga mental rendah diri para pendidik sehingga merasa perlu untuk memberi bocoran jawaban Ujian Nasional kepada siswanya, serta lebih dari seribu masalah lain yang ”menunggu” perbaikan.


Dalam ceramah kuliah pada 3 April 2007 di Ruang Teater Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah, pengamat Politik Bachtiar Effendy menghempaskan semua gelisahnya tentang gambaran kondisi bangsa yang patut menjadi perhatian kita bersama. Bachtiar Effendy memberikan sebuah solusi alternatif dalam pendekatan kultural. Bahwa yang dapat kita lakukan adalah bersungguh-sungguh memperbaikinya melalui aspek pendidikan. Dari arah pendididkan ini kemudian diharapkan lahir generasi yang memiliki kepekaan dan integritas tinggi, serta memiliki rasionalitaas politik yang memadai. Sehingga tidak lagi memilih para pemimpin yang bermental rusak.


Namun pertanyaan yang lahir kemudian adalah seberapa efektif solusi ini jika perbaikan hanya dimulai dari aspek pendidikan? padahal kejahiliyyahan telah merasuk dalam segala sendi kehidupan. Karena para birokrasi, politisi, praktisi hukum mulai dari kepolisian hingga pengadilan, yang kita kritik itu, seluruhnya adalah mereka yang berpendidikan. Jika harapan besar ini kita tujukan kepada mereka yang berpendidikan tinggi, yang (dianggap sebagai manusia ’melek politik’ sehingga diharapkan) memiliki nalar rational choice dalam menentukan pilihan politiknya, jumlah suara mereka akan dikalahkan oleh mayoritas masyarakat yang tidak memiliki rational choice seperti itu, bahkan cenderung berpikir praktis-pragmatis.


Dalam hal ini diperlukan adanya perbaikan yang meliputi semua aspek kehidupan: ekonomi, sosial, budaya, kemanusiaan, birokrasi, militer, hingga politik dan struktrur personalia pemerintahan. Sehingga perbaikan dimulai dari sini, dari segala aspek. Hal ini menjadi kebutuhan, karena perbaikan yang diawali dari sudut pandang yang parsial, hanya akan melahirkan produk yang juga parsial. Bila perbaikan hanya dimulai dari satu aspek, ia akan dikalahkan oleh aspek yang lain yang belum tersentuh perbaikan. Dibutuhkan adanya gerakan yang tersistematika dan terkoordinasi dengan baik untuk memperbaiki kondisi ini secara menyeluruh. Al-haqq bi lâ niżâmin, yaġlibuhu al-bâthilu bi al-Niżâmin.


Mental bobrok para birokrat adalah hasil dari sistem yang memungkinkan adanya penyimpangan tersebut. Terjadinya ketidakadilan hukum adalah karena ketentuan hukum yang dijadikan acuan memang memungkinkan untuk itu. Munculnya borok pendidikan pun adalah implikasi dari acuan program pendidikan yang memberi peluang untuk itu. Sebuah kritik bagi kaum kultural, bahwa nalar kulturalisme mengandaikan perbaikan ini dapat dicapai hanya melalui semangat atau ”paradigma sufi” yang seyogyanya dianut oleh seluruh komponen bangsa, sehingga diharap dengan hati para sufi, betapapun sesungguhnya bobrok suatu sistem, kejernihan hatinya mampu menundukkan syahwat dunia yang saat ini menggelayuti bangsa. Jika masyarakat sudah memahami spirit sufistik ini dengan baik maka institusionalisasi menjadi tidak penting. Karena kehidupan saling menghormati, persamaan hak, keadilan, kejujuran, toleransi, ramah tamah dan seribu sifat positif yang ’sempat’ menjadi trademark Indonesia dapat dicapai. Inilah maksud dari syariat sesungguhnya, Nalar ini kemudian sepenuhnya menghindari institusionalisasi.


Permasalahannya adalah, kita tidak mungkin menyadarkan seluruh komponen bangsa ini dengan pendekatan tersebut, karena tidak semua masyarakat dapat memahami spirit sufistik yang ditawarkan. Sulit membayangkan manusia yang secara natural merupakan makhluk yang sulit diatur, secara keseluruhan menerima gagasan ini tanpa koersifitas negara. Koersifitas negara diperlukan karena tidak semua orang mau secara sadar diajak untuk berbuat baik dan menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan hukum. Doktrin ini berlaku pada semua format negara, apakah ia sekular maupun agama.


Berbanding terbalik dengan pendekatan kultural diatas, kaum struktural berandai-andai dengan institusionalisasi tanpa memandang urgensi kesadaran masyarakat tentang hakikat Islam itu sendiri. Nalar ini mengandaikan bahwa kesadaran ummat, dalam pandangan mereka, dapat dicapai setelah formalisasi syariat ini diterapkan. Bahwa keadilan, persamaan hak, kesejahteraan, dapat dicapai secara utuh melalui formalisasi Syariat. Karena definisi dari keadilan, persamaan, kesejahteraan, dan sebagainya yang menjadi maqâshid dari Islam sepenuhnya mengacu pada definisi dari literatur Islam.


Permasalahannya adalah bahwa ada terlalu banyak hal yang perlu dibenahi sebelum formalisasi ini diterapkan di level negara. Pengetahuan tentang syariat itu sendiri dan Kondisi ekonomi ummat, adalah hal yang perlu dibenahi terlebih dahulu. sehingga berbicara tentang syariat Islam tidak terjebak pada formalisasi yang dalam stereotype masyarakat masih dipandang rigid. Usaha mengakrabkan masyarakat dengan Syariah dapat dimulai dari munculnya bank syariah sebagai implementasi dari semangat ekonomi Islam, Islamisasi pendidikan, Islamisasi politik, hingga Islamisasi ilmu pengetahuan, sehingga blueprint dari nilai positif Syariat telah tergambar dalam benak masyarakat sebelum konsep ini diformalisasikan. Dari sini, Islamisasi tidak diartikan, seperti yang selama ini dimaknai secara pejoratif sebagai ”arabisasi” tempat-tempat umum, penggunaan simbol-simbol Arab, dsb., tetapi lebih pada kesadaran mengaplikasikan Islam dari dalam diri masyarakat itu sendiri. Sehingga, ketika muncul kesadaran untuk menginstitusionalisasikan syariat dalam level negara (agar mereka yang tetap menolak tunduk pada hukum ini), paradigma yang terbentuk sudah mendukung untuk itu. Hal ini untuk menghindari bumerang yang dikhawatirkan terjadi ketika syariat diterapkan pada saat yang belum tepat. Bukankah jika keadilan dan kesejahteraan telah mewujud dalam masyarakat, sehingga tindak kriminalitas dapat ditekan, maka eksekusi potong tanganpun—yang selama ini ditakuti—tidak diperlukan?
(catatan: Dalam riwayat Abu Daud dan Nasa’i disebutkan kisah tentang Abbad ibn Sharjil yang sedang dalam kelaparan, rasa lapar tersebut memaksanya untuk mencuri buah-buahan di suatu kebun dan menyimpannya dalam bajunya. Ketika sang pemililk kebun meminta Nabi untuk menghukum Abbad bin Sharjil, ternyata Nabi saw berkata, “pencurinya adalah orang bodoh. Kamu tidak menasehatinya sedang dia dalam kelaparan sementara kamu tidak memberinya makanan.” Lalu Nabi Saw., mengembalikan pakaian Abbad dan—bahkan—memberinya makanan.

Mengomentari kisah tadi, dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa secara filosofis menjadi kewajiban Masyarakat Muslim untuk menjamin terciptanya keadilan dan kesejahteraan, sebelum memberikan hukuman kepada pelanggar hukum. Apabila telah terbangun sebuah masyarakat yang berkeadilan dan sejahtera, sementara masih terdapat tidak kriminalitas misalnya, maka sudah menjadi hal yang pantas untuk dijatuhkan hukuman. Dalam batas-batas seperti inilah diperlukan adanya kontekstualisasi yang lebih realistis dari Syariat Islam, sehingga kontekstualisasi tidak diartikan secara liberal dengan menegasikan Syariat)



Dari sini kemudian menjadi tidak relevan lagi pertanyaan bagaimana kita bisa mengetahui apakah suatu hukum betul-betul dari Tuhan atau tidak, karena maslahat yang terwujud lebih menonjol dari spekulasi semacam itu. Termasuk pertanyaan hukum Islam versi mana yang akan diterapkan, karena dalam konteks kenegaraan manapun, apakah negara sekular maupun negara agama, sikap koersif (memaksa) negara mutlak diperlukan. Dan hukum dibuat untuk dipatuhi. Dalam sejarah Islam pun kita tidak pernah menemukan adanya kesulitan dalam hal ini.


Metode pendekatan terhadap masyarakat diperlukan untuk memberikan gambaran yang utuh tentang Islam dengan menawarkan sebuah pandagan hidup yang menyelamatkan, yakni pandangan hidup yang selalu merasa diawasi oleh Allah (murâqabatulLâh). Yaitu suatu kesadaran bahwa Allah lah yang mengawasi, serta mengatur kehidupan. Dari pandangan hidup semacam inilah, justru kekhawatiran akan perjudian, pornografi, kegiatan asusila, dsb., dapat ditekan semaksimal mungkin. Di sinilah letak pentingnya mengaplikasikan Syariat Islam secara komprehensif, baik individual maupun kolektif, tidak parsial yang terbatas pada satu atau beberapa aspek saja.

Wallahu A’lam


Daftar Pustaka
Al-Quran dan terjemahnya. Departemen Agama.
Hassan Hanafi Aku bagaian dari Fundammentalisme Islam (Yogyakarta: Islamika, 2003)
Munawir Sjadzali, Islam dan tata Negara (Jakarta: UI Press, 2000)
Musthafa Mahmud, Islam Kiri (Jakarta: GIP, 1999)
Khalif Muammar, Politik Islam: antara Demokrasi dan Teokrasi” dalam Islamia. Thn. I. No. 6, h. 99.
Olivier Roy, Gagalnya Islam Politik (Jakarta: Serambi, tt.)
Daud Rasyid, “Pembaruan Islam dan Orientalisme dalam Sorotan.” (Jakarta: Usamah Press, 2003).
Bachtiar Effendy, Islam dan Negara (Jakarta: Paramadina, 1998)
Kurniawan Zein dan Sarifuddin HA.ed., Syariat Islam Yes, Syariat Islam No.” (Jakarta: Paramadina,2001.
Al-Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia, Sekarmadi Maridjan Kartosoewirjo (Jakarta: Darul Falah, 1999)
Firdaus AN, Dosa-dosa yang Tidak Boleh Terulang (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1993)
Anis Matta, Dari Gerakan ke Negara (Jakarta : Fitrah Rabbani, 2006), h. 37-51.
Ian adams, Ideologi Politik Mutakhir,(Yogyakara: Qalam, 2003)

0 komentar:

Posting Komentar