“Pada zaman sekarang ini, apakah yang namanya kekhalifahan harus
berwujud dengan nama khilâfah, bukankah negara republik atau kerajaan
pada skala tertentu bisa disebut khilâfah? Apapun namanya, republik atau
kerajaan, kalau disitu terlaksana dengan baik nilai-nilai keadilan,
kesejahteraan, keislaman, pemberdayaan, tidak terjadi praktek-praktek
korupsi, penindasan, kezaliman, nepotisme, tirani, dan kemudian terjadi
mekanisme kepemimpinan yang islami, bisa disebut sebagai kekhalifahan
itu sendiri. Dalam konteks Indonesia yang sudah berbentuk republik,
tidak perlu lagi diubah namanya menjadi kekhalifahan.”
(Hidayat Nur Wahid)
konsep
khilâfah dan nation-state memiliki benturan pada tingkat institusional.
Nation-state, mengutip Azyumardi Azra, berbenturan dengan konsep
khilâfah, atau institusi politik Islam yang dibentuk berdasarkan
religiously based super stated, atau negara yang dibentuk berdasarkan
basis-basis keimanan. Konsep nation-state yang berdasar kepada
kriteria-kriteria etnisitas, kultur, dan wilayah, memiliki konsekuensi
yang mengabaikan garis-garis religius dengan tuntutan logis berupa
liberalisasi politik dari kontrol atau pengaruh Islam. Sistem
nation-state modern, yang lebih menekankan kepada kesetiaan kebangsaan
dari pada persaudaraan Islam (ukhuwwah Islâmiyyah), kedaulatan rakyat
(vox populi) dari pada kedaulatan Tuhan (vox dei), hak-hak wanita dalam
representasi politik, tidak sesuai dengan doktrin-doktrin syariat. Oleh
karena itulah, nation-state yang merupakan konsep kenegaraan modern,
akan melakukan liberalisasi dari pengaruh dan doktrin agama agar sesuai
dengan tuntutan-tuntutan modernitas.
Dalam konteks historisitas
Islam, benturan antara konsep khilâfah dan nation-state ini diawali dari
runtuhnya kekhalifahan ‘Utsmâniyyah di Turki pada tahun 1924, yang
kemudian melahirkan negara-negara dalam konsep nation state, seperti
Turki itu sendiri, kemudian Irak, Syiria, Pakistan, dan sebagainya.
Realitas
ini kemudian melahirkan kemunculan gerakan-gerakan Islam yang memiliki
cita-cita untuk mendirikan kembali khilâfah Islâmiyyah sebagai
konsekuensi dari ideologi Islam yang dianut. Contoh dari gerakan ini
adalah Hizb al-Tahrîr yang didirikan oleh Taqî al-Dîn al-Nabhâni pada
1952 di Yordania, atau sebelumnya Gerakan al-Ikhwân al-Muslimûn yang
didirikan oleh Hassân al-Banna pada 1928 di Mesir. Namun demikian,
Meskipun kedua gerakan ini memiliki kesamaan cita-cita, keduanya
memiliki perbedaan strategi yang merupakan implikasi dari pemaknaannya
terhadap Islam. Hizb al-Tahrîr menolak secara tegas konsep demokrasi
karena memandangnya sebagai produk kuffâr yang selain bertentangan
dengan konsep kedaulatan Tuhan juga memandangnya sebagai bagian dari
strategi penjajahan dunia barat untuk melemahkan kekuatan Islam.
Sementara al-Ikhwân al-Muslimûn memilih jalur demokrasi karena melihat
bahwa pada batas-batas tertentu secara substansial demokrasi memiliki
kesamaan dengan nilai-nilai Islam, selain itu al-Ikhwân al-Muslimûn
menerima demokrasi dalam konteks perlunya perjuangan politik sehingga
dakwah bisa membangun pengaruhnya dalam kekuasaan, dan melakukan
perubahan melalui instrumen kekuasaan politik yang dimiliki.
Dalam
konteks politik Indonesia, Partai Keadilan (Sejahtera) yang banyak
mengambil rujukan pemaknaan Islam dari Gerakan al-Ikhwân al-Muslimûn
sempat dipandang sebagai gerakan Islam fundamentalis yang menyimpan
hidden agenda menegakkan kembali al-khilâfah al-Islâmiyyah. PKS
dipandang melakukan double standard dalam arti melakukan aktivitas
politik yang plural dan inklusif, namun dalam aktivitas gerakan dakwah
sesungguhnya ekslusif dan bahkan secara pure hanya melakukan copy-paste
dari gerakan revivalisme Islam di Timur tengah tanpa melakukan
“indigenisasi” dengan perkembangan kebudayaan masyarakat Indonesia.
Isu
penegakkan kembali khilâfah Islâmiyyah sebetulnya lebih didominasi pada
tataran “ekstra parlemen,” antara lain oleh Hizb al-Tahrîr Indonesia
yang merupakan bagian dari Hizb al-Tahrîr di Yordania, dan Gerakan
Jamâ‘ah Muslimîn Hizb Allâh yang berpusat di Bogor. Kedua gerakan ini
memandang bahwa khilâfah Islâmiyyah merupakan solusi dari seluruh
kompleksitas permasalahan umat Islam.
Pandangan Hidayat Nur Wahid tentang Khilâfah dan Nation State: haruskah dua sisi saling negasi?
Secara
normatif menurut Hidayat Nur Wahid, sistem demokrasi memberikan ruang
yang luas bagi penyaluran aspirasi rakyat, keinginan penegakan kembali
al-khilâfah al-Islâmiyah merupakan hal yang sah. Namun dalam konteks
demokrasi pula, aspirasi tersebut harus disalurkan melalui mekanisme
demokrasi prosedural. Hidayat mengatakan bahwa aspirasi tersebut
mengharuskan dilakukannya amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945,
oleh karena itu aspirasi ini harus diusulkan melalui Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD, serta harus disetujui
sepertiga anggota MPR. Sehingga perjuangan menegakkan khilafah maupun
syariah, dapat memanfaatkan "mashlahat" demokrasi yang memberikan ruang
dalam kebebasan berekspresi dan menyalurkan pendapat ini.
Namun
demikian, Hidayat Nur Wahid berpandangan bahwa aspek yang lebih
objektif, konkret, dan aktual lebih ditunggu dibandingkan dengan hal
yang simbolis, meskipun ia tidak sepakat dengan dikotomi
simbolis-substantif, menurutnya,
“Jangan berpolemik mengamandemen
UUD 1945 untuk menghadirkan pemerintahan Islam (khilâfah Islâmiyah).
Kita sudah lelah dengan polemik, akan lebih bijak jika berkonsentrasi
untuk melaksanakan ajaran agama. lebih penting adalah agar seluruh
masyarakat Indonesia melaksanakan ajaran agama seperti dalam pasal 29
UUD 1945. Jika agama dilaksanakan oleh semua umat beragama pada tingkat
moral dan etos kerja saya kira akan membawa dampak positif bagi moral
bangsa.
Kekhilafahan dalam pandangan Hidayat Nur Wahid, adalah
sebuah aktivitas berpolitik dimana nilai-nilai Islam teraplikasikan,
dimana peran serta umat Islam untuk memberdayakan umat berhasil, dimana
yang munkar bisa diminimalisasi, dan yang ma‘rûf bisa dimaksimalkan.
Eksistensi kekhalifahan itu ada, apabila dilihat dari sejarah Khulafâ’
al-Râsyidîn, Umayyah, ‘Abbâsiyyah, Mamâlik, dan sebagainya. Hidayat Nur
Wahid berpandangan bahwa bisa saja yang disebut khilâfah muncul menjadi
kekhalifahan-kekhalifahan kecil atau lokal. Lebih lanjut menurut
Hidayat,
“Pada zaman sekarang ini, apakah yang namanya
kekhalifahan harus berwujud dengan nama khilâfah, bukankah negara
republik atau kerajaan pada skala tertentu bisa disebut khilâfah? Apapun
namanya, republik atau kerajaan, kalau disitu terlaksana dengan baik
nilai-nilai keadilan, kesejahteraan, keislaman, pemberdayaan, tidak
terjadi praktek-praktek korupsi, penindasan, kezaliman, nepotisme,
tirani, dan kemudian terjadi mekanisme kepemimpinan yang islami, bisa
disebut sebagai kekhalifahan itu sendiri. Dalam konteks Indonesia yang
sudah berbentuk republik, tidak perlu lagi diubah namanya menjadi
kekhalifahan.”
Dari
pernyataan Hidayat Nur Wahid di atas, dapat ditarik sebuah kesimpulan
bahwa Hidayat Nur Wahid tidak terjebak dalam dikotomi antara khilâfah
dengan nation-state. Baginya dalam konteks Republik Indonesia sebagai
nation-state pun, apabila nilai-nilai substantif dari khilâfah Islâmiyah
seperti keadilan, kesejahteraan, pemberdayaan, dan sebagainya telah
teraplikasikan dengan baik, maka dalam konteks tersebut sesungguhnya
telah berdiri khilâfah Islamiyyah.
Apa yang menjadi pandangan
Hidayat Nur Wahid ini sesungguhnya relevan dengan realitas historis
kekhilafahan Islam. Pandangan Hidayat Nur Wahid tentang khilâfah
Islâmiyah sebagai nation-state, , atau kekhilafahan-kekhilafahan kecil
sebetulnya telah terjadi pada masa ‘Abbâsiyyah, dan masa Khilâfah
‘Utsmâniyyah. Hal ini dapat dilihat dari keberlangsungan
pemerintahan-pemerintahan Islam masa itu pada rentang waktu yang sama.
Kalau
kita melihat, pada tahun 912 M, di Spanyol ‘Abd al-Rahmân al-Nâsir
mulai menggunakan gelar khalîfah. Padahal pada waktu yang sama
kekhalifahan Bani ‘Abbâsiyyah masih berlangsung di bawah pengaruh Bani
Buwaihi. Bahkan pada periode 912-1013, khilâfah Islâmiyah di Spanyol ini
telah mencapai puncak kejayaan dan menyaingi Daulah ‘Abbâsiyyah di
Baghdâd.
Demikian pula halnya yang terjadi pada masa Dinasti
‘Utsmâniyyah di Turki. Pada masa pemerintahan Turki Utsmani berlangsung,
berdiri dua pemerintahan Islam, yakni Dinasti Syafawi di Persia, dan
Dinasti Mughal di India. Kemunculan Kerajaan Syafawi di Persia dan
Dinasti Mughal di India yang menyaingi Dinasti Utsmani ini, memiliki
konteks yang sama dengan kekhilafahan Islam di Spanyol, yakni
keberlangsungan pemerintahan Islam secara bersamaan pada era yang sama.
Oleh karena itu, sebagaimana di Spanyol, kedua Dinasti ini juga dapat
disebut sebagai khilâfah Islâmiyyah.. Artinya adalah, pada masa itu
terdapat begitu banyak kekhalifahan Islam, sehingga jika pada konteks
kekinian kekhilafahan dibentuk berdasarkan "kekhilafahan2 kecil", maka
itu tidak bertentangan dengan fakta historis di atas.
Apabila
yang menjadi perdebatan adalah bahwa kekhilafahan yg dimaksud diatas
adalah sistem monarki, sehingga tidak pantas disebut sebagai khilafah
Islamiyyah, maka sebetulnya sistem ini telah dipakai jauh pada masa
Khilâfah Bani ‘Umayyah dan ‘Abbâsiyyah. Keberlangsungan
pemerintahan-pemerintahan Islam dalam rentang waktu yang bersamaan ini,
sebetulnya mengindikasikan bahwa khilâfah Islâmiyyah dapat berbentuk
dalam format nation-state.. sehingga umat Islam hendaknya tidak
dibutakan oleh hadits tentang lima fase perjalanan Umat Islam yang akan
diakhiri dengan berdirinya kembali KHilafah ala minhajin nubuwwah, yg
keshahihan haditsnya saja masih diperdebatkan.
bagaimana mungkin
sebuah perjuangan dakwah ilallah didorong oleh hadits yg bermasalah?
jangan2 sebagian umat Islam terjebak dalam utopia indah tentang khilafah
di akhir zaman, sementara metode atau mekanisme untuk menegakkannya
sendiri masihjauhpanggang dari api.
Sistem demokrasi diperlukan
dengan memanfaatkan mashlahat yang dimilki oleh demokrasi, yaitu
memberikan ruang untuk menyalurkan pendapat. sehingga, semestinya umat
Islam berjuang melalui jalur ini, dan membentuk UU yang mencerminkan
syariat Allah, apapun istilah yg digunakan dalam UU itu. sehingga
demokrasi menelurkan UU yang bersesuaian dengan syariat, dan
dilaksanakan dengan penuh perhitungan.
Demokrasi memang memiliki
kekurangan, sebagaimana sistem khilafah yg didamba-dambakan oleh para
aktivis Islam itu juga memiliki kekurangan, seperti apa yg terjadi pada
masa Yazid ibn Muawiyah. hendaknya para aktivis Islam tidak menutup mata
atas "noda hitam" kekhalifahan pada masa-masa 'Umayyah maupun
'Abbasiyyah.
Apabila merujuk kepada definisi khilâfah yang
diberikan oleh al-Mawardi dan Ibn Khaldun, bahkan al-Mamlakah
al-Su’ûdiyyah al-Islâmiyyah di Timur Tengah sekarang ini, memiliki
relevansi untuk disebut sebagai khilâfah Islâmiyah karena landasan
kenegaraan yang dibangun di Arab Saudi sama dengan konteks kenegaraan
Khilâfah Bani Umayyah dan ‘Abbâsiyyah, yakni berdasar kepada Islam.
Fenomena
ini, menurut Esposito, disebabkan karena di kalangan kaum Muslimin,
terdapat kesamaan pandangan terhadap “bukan negara Islam,” tetapi banyak
perdebatan mengenai “Negara Islam,” bisakah berdiri dalam format
nation-state, ataukah harus dalam bentuk global state?
Dalam
konteks ini, pandangan Hidayat Nur Wahid bahwa, (1) konsep Negara
Indonesia yang sudah berbentuk republik tidak memerlukan perubahan nama
menjadi khilâfah, (2) yang lebih penting adalah esensi dari nilai-nilai
Islam dapat tegak, dan (3) pada saat yang sama tidak perlu ada dikotomi
antara formal simbolis dengan kultural substantif, menjadi jawaban untuk
mempertemukan dikotomi antara khilâfah dan nation-state.
Dari
sini, menurut Azyumardi Azra, Hidayat Nur Wahid dan PKS, tidaklah
bertujuan untuk membentuk “Negara Islam” dan sebagainya, tetapi
bertujuan untuk membentuk masyakarat madani. Dan hal semacam itu, tidak
hanya diperjuangkan lewat level kultural masyarakat, tetapi juga secara
struktural melalui Partai Keadilan Sejahtera.
Kamis, 21 Maret 2013
khilafah vs nation state, haruskah saling negasi?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar