Jumat, 22 Maret 2013

Pandangan Hidayat Nur Wahid tentang Islam dan Sekularisme


by Sigit Kamseno

Sejalan dengan pendapat-pendapat di atas, secara eksplisit Hidayat Nur Wahid mengatakan bahwa paradigma sekularisme yang menyatakan perlunya agama dijauhkan dari politik adalah paradigma yang harus diubah. “Teori pertama yang harus kita ubah adalah paradigma yang menyatakan perlunya agama dijauhkan dari politik. Alasannya bahwa politik itu kotor sehingga bila agama dibawa dalam aktivitas perpolitikan maka itu akan mengotori kesucian agama.”[1]


Lebih lanjut, ketika menerangkan tentang makna sûrah Yâsin/36:4, “al-Sirât al-Mustaqîm,” (jalan lurus) Hidayat Nur Wahid mengatakan,

“Nabi Muhammad adalah bagian dari silsilah kenabian, baik dari sisi tugas yang diemban, maupun dari sejarah yang dihayati. Ia juga secara esensi adalah kelanjutan para Rasul dalam risalah yang dibawakan, maupun sikap istiqâmah terhadap al-haq (kebenaran) yang sedang diperjuangkan. Tentu saja informasi ini mengindikasikan agar mata rantai semacam itu tidak hanya berhenti pada penutup para Rasul, yaitu Nabi Muhammad, melainkan dapat terus diikuti dan diperjuangkan, oleh para pewaris nabi, baik itu ulama, dâ‘i, umarâ’ maupun kalangan profesional Muslim lainnya.”[2]

Menyebutkan Umarâ’ (pemerintah) sebagai pewaris nabi, menunjukan bahwa pandangan ini berasal dari pemaknaan Islam yang luas yang dipahami oleh Hidayat Nur Wahid, yang tidak memisahkan antara agama dengan politik. Lebih lanjut, Hidayat mengatakan,

“Jalan lurus” ini ini sekaligus mencakup berbagai bentuk ‘amal (kreasi) yang keseluruhannya berkonotasi ‘amal sâlih (yang baik) dan Mushlih (yang memperbaiki) baik itu dilakukan oleh dan atau untuk Qolb (hati nurani), jasmani, masalah duniawi dan ukhrawi… ‘jalan lurus’ inilah yang merupakan salah satu karakter dasar Rasulullah beserta agama Islam yang dibawakannya.”[3]

Menurut Hidayat Nur Wahid, deskripsi Muhammad dan agama yang dibawanya menegaskan bahwa arti kebenaran nabi adalah jalan lurus yang tidak mengandung tipu muslihat, tipu daya, dan ketidakjelasan, yang bisa berujung pada keraguan akan jaminan kebenaran nabi. Dalam hal ini, lurus adalah jalan yang memiliki moralitas yang tinggi.

Oleh karena itulah menurut Hidayat Nur Wahid,[4] aktivitas berpolitik yang dilakukannya merupakan aktivitas politik dengan moralitas. Pandangan politik semacam ini, merupakan implementasi dari konsep politik yang sebagaimana dikatakannya, bereferensi pada al-Qur’ân dan sunnah.[5] yang berarti menujukkan pula bahwa sekularisme dipandang sebagai sesuatu yang tidak compatible dengan Islam.


Namun demikian, dengan menolak sekularisme, bukan berarti bahwa Hidayat Nur Wahid berpandangan hitam putih, dengan menempatkan negara Islam sebagai antitesa dari sekularisme.


Menurut Hidayat Nur Wahid, kata-kata negara Islam bukan sesuatu yang diutamakan. Pada masa pemerintahan Rasulullah atau masa al-Khulafâ al-Râsyidûn, Khilâfah Umayyah, dan ‘Abbâsiyyah, juga tidak menyebut negara Islam.[6]

Dari sini, menurut Hidayat, yang dipentingkan adalah bagaimana kemudian nilai-nilai Islam hadir dalam kaidah kehidupan, dan kemudian publik mengarahkan potensinya untuk tidak melakukan kezaliman pada apapun dan siapapun, dan tidak menghabisan waktu dengan perdebatan yang tiada berujung pangkal.[7]


Bagi Hidayat Nur Wahid, didirikannya Partai Keadilan memiliki tujuan yang sudah sangat jelas, dalam rangka mewujudkan bangsa dan negara yang adil dan makmur yang diridhai Allah SWT. Dengan kata lain, Partai Keadilan yang merupakan wadah politik Hidayat Nur Wahid ingin menciptakan negara yang berkeadilan dan berkesejahteraan (justice and welfare state). [8]


Ketidaksetujuan Hidayat Nur Wahid terhadap sekularisme, tidak ditunjukan dengan tuntutan penegakkan syariat Islam yang dimaknai dengan penangkapan penjudi, potong tangan bagi pencuri, dan semacamnya, tetapi bagaimana semangat Islam itu di buktikan lewat perilaku para pemimpin dengan tidak melakukan korupsi, dan tetap santun serta modern dengan koridor norma-norma. Melalui perilaku, menurut Hidayat Nur Wahid, Islam dapat diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di tengah kemajemukan masyarakat.[9] Menurut Hidayat Nur Wahid,


“Ayat pertama yang diturunkan kepada Rasulullah adalah 'iqrâ', atau membaca. Nah, seberapa besar dana yang sudah dialokasikan pemerintah Islam untuk pendidikan? Sudahkah sepadan dengan perintah pertama Islam itu? Lalu, dalam surat al-Quraisy ada ayat fal ya‘budû Rabb hâdza al-bait, alladzi at'amahum min jû'in wa âmanahum min khauf, (dan berimanlah kepada Tuhan Pemilik Rumah Ini (Ka‘bah), Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan). Pemerintah Islam berkewajiban untuk membebaskan rakyat dari kelaparan dan memberi rasa aman kepada rakyat. Syariat Islam seperti inilah yang diperjuangkan oleh PKS dan saya kira, pemikiran ini bisa diterima semua orang dan juga menjadi cita-cita semua bangsa Indonesia.”[10]


Dari seluruh elaborasi di atas, menurut hemat penulis, Hidayat Nur Wahid memiliki idealisme Islam yang lebih realistis. Hidayat tidak sependapat dengan sekularisme karena selain ahistoris, juga dianggap kurang memiliki spirit moral yang kuat untuk membangun negara dengan segala dimensi problematikanya yang kompleks. Namun dalam konteks yang sama, Hidayat Nur Wahid tidak mengeluarkan antitesa bagi sekularisme berupa negara Islam. Tuntutan-tuntutan yang lebih aplikatif seperti menghadirkan politik yang bermoral, menjauhkan diri dari korupsi, mengatasi pengangguran, meningkatkan mutu pendidikan, merupakan hal yang lebih realistis dan memiliki urgensi tinggi, serta pada saat yang sama merupakan pengejawantahan aktivitas politik berdasarkan Islam.


------------------------------

[1] Hidayat, Membangun Masa Transisi, h. 178-179.


[2] Hidayat Nur Wahid, Sentuhan Qalbu al-Quran, Tadabbur Surah Yasin untuk Pencerahan Ruhiyah. (Jakarta: Pustaka Ikadi, 2005), h. 11-12.

[3] Ibid., h. 12

[4] “Save Our Nation,” Metro TV, 14 Januari 2009.

[5] Haryo Setyoko,“Masalah yang Kita Khawatirkan, Justru Peluang yang Menjanjikan,” Tarbawi, 31 Maret 2005, h. 28.

[6] Furqon, Partai Keadilan Sejahtera, h. 234.

[7] Dalam konteks PKS, Sekjen PKS Anis Matta mengatakan bahwa jika substansi telah cukup mewakili nama, tidak perlu nama mewakili substansi, meski tidak menafikan nama. Begitu Rasulullah berkuasa di Madinah, Negara itu tidak diberi nama al-Madînah al-Islâmiyyah al-Munawwarah. Saudi Arabia dikenal sebagai Negara Islam, tapi namanya al-Mamlakah al-‘Arabiyyah al-Su’udiyyah. Oleh karena itu menurut Anis, apa gunanya negara sebesar Indonesia ini, yang penduduk muslimnya terbesar di dunia, perlu mendeklarasikan diri untuk menjadi Negara Islam. Bagi PKS, tidaklah penting mewacanakan Negara Islam atau bukan Negara Islam. Tetapi intinya bahwa negara ini pernah dikelola secara sekular, PKS menginginkan agar negara ini dikelola dengan cara Islami.

Yang penting bagi PKS, adalah menghadirkan Islam dalam seluruh sektor kehidupan. Cara politik yang dibangun oleh PKS menurut Anis adalah cara politik yang dibangun oleh semangat yang lebih substansial. Misalnya bagaimana mengelola sistem pendidikan dengan cara Islami, bagaimana mengelola sistem pertahanan secara Islami, bagaimana mengelola perekonomian secara Islami, itu yang penting. Dan untuk menuju itu semua, tidak cukup hanya melalui wacana dan pemikiran, tetapi justru di tingkat aplikasi.

Dalam konteks ini, PKS sedang membangun pandangan Islam yang jauh lebih luas, tidak berorientasi tekstual.“sebelum kita menggunakan nama Syariat Islam, Republik Islam, dan seterusnya, buktikan saja dulu di tingkat kenyataan, kita memang capable, bahwa orang enjoy kalau kita berkuasa. Ini jauh lebih penting daripada ketika kita menggunakan nama Islam, lalu Negara ini bangkut di tangan kita. Dengan kata lain, mau disebut Negara Islam atau komuntas Islam yang bernegara, intinya bukan wadahnya, tapi amaliah dan visi misinya.” Ibid., h. 234-235.

[8] Ibid.,h. 234.

[9] “Syariat Islam dalam Bingkai NKRI,” artikel diakses pada 9 Februari 2009 dari http:/smsplus.bllogspot.com/2007/08/syariat-islam-dalam-bingkai-nkri.html.

[10] “Dina, “Bertemu Hidayat Nur Wahid di Iran,” artikel diakses pada 9 Februari 2009 dari http://bundakirana.multiply.com/journal/item/120?&item_id=120&view%3Areplies=threaded&page_start=50

0 komentar:

Posting Komentar