Jumat, 22 Maret 2013

Absurditas pluralisme agama

by: Sigit Kamseno

Prolog


Dalam banyak kesempatan, seringkali saya menjumpai perdebatan antara aktivis Islam dengan aktivis liberal. Yang menarik dari sekain banyak perdebatan itu adalah, bahwa perdebatan tersebut selalu berujung deadlock dikarenakan aktivis Islam tersebut memberikan argument dengan pendekatan fiqh dan teologis, sementara lawannya dari kalngan liberal menggunakan pendekatan filosofis, sehingga diskusi tak pernah bertemu disebabkan keduanya berangkat dari titik tolak yang berbeda.

Saya paham, kalangan pluralis akan sulit diberikan pemahaman dari pendekatan fiqh maupun teologis karena orang-orang ‘bermadzhab’ seperti ini pada saat yang sama juga merupakan penganut paham relativisme kebenaran.

Tentu saja, dari sudut pandang yang merelatifkan kebenaran ini, wacana fiqh dan teologis menjadi tidak relevan. hal ini disebabkan karena fiqh, bahkan agama, dipandang hanya sebatas ‘produk dari tafsiran manusia biasa’ sehingga tak perlu disakralkan.

Maksud saya, pengagum pluralisme agama memandang bahwa truth claim dari kelompok agama apapun adalah hal yang mentah karena kebenaran dipandang sebagai sesuatu yang relative-subjektif.

Oleh karena itulah saya tergelitik untuk sekadar menulis sebuah catatan sederhana tentang pluralisme agama ini dari sudut pandang yang filosofis-logis sebagaimana sering digunakan oleh penganut paham pluralisme agama itu.

Secara sederhana, saya ingin mengawali notes ini dengan menggambarkan sebuah kekhawatiran besar yang seringkali saya baca dalam buku2 tentang pluralisme. Salahsatunya adalah pandangan yang bertitik tolak dari “realitas” di masyarakat dimana seringkali terjadi benturan antar umat dikarenakan perbedaan masing2 agama sebagai akibat dari truth claim tersebut:

Ketika masing2 penganut agama telah mengklaim agamanya yag paling benar, dan pada saat yang sama mengkafirkan penganut agama lain, maka pada saat itu manusia akan berhadapan dengan konsekuensi logis dengan “ditebasnya 60 kepala manusia tiap hari” atas nama membela Tuhan. Tentu Tuhan menurut masing-masing agama.

Demikianlah masing2 penganut agama mengklaim dirinya sebagai “ummat Tuhan” yang paling benar dan “mewakili Tuhan” di muka Bumi, bahwa hanya agamanyalah yang paling benar dan yg lain berada di jalan yang tersesat dan calon penghuni neraka.

Kalangan pluralis kemudian memberikan jalan keluar dari problema ini. Solusi yang ditawarkan oleh penganut paham pluralisme agama dari kenyataan pahit ini adalah hendaknya para penganut agama-agama ‘menurunkan’ pengakuan derajat kebenarannya dan meletakkan kebenaran agamanya sejajar dengan kebenaran dengan agama lain.

Karena sebetulnya pada saat yang sama penganut agama lain juga memahami agamanya sebagai yang paling benar. Oleh karenanya kebenaran agama adalah kebenaran yang relative.

Tidak boleh penganut suatu agama merasa agamanya merupakan satu-satunya yang benar dan yang lain salah. Karena paham semacam ini akan membawa konsekuensi memaksa ummat beragama lain untuk taat pada agamanya. Konflik-konflik antar agama telah membuktikan itu. Inilah pemahaman beragama yang benar menurut kalangan pluralis.

Maka dari itu dalam pandangan penganut pluralisme agama, hendaklah para penganut agama memahami bahwa sebetulnya semua agama adalah benar. Semuanya adalah ajaran dari Tuhan melalui persepsi masing2 agama. Realitas agama-agama sebetulnya adalah Beragam jalan menuju Tuhan yang Sama. Semua bermuara kepada Tuhan. Dialah al-Haq (The Real).
--

Esoterisme


Fritjoff Schuon telah memberitahu kita dengan istilah esoterisme. Esoterisme adalah “keberadaan Tuhan sebagaimana ada-Nya”. Dia, yang berada sebagaimana ada-Nya bukan dalam pemakanaan manusia terhadap-Nya. Dialah Tuhan yang bukan Tuhan dalam penafsiran agama-agama terhadap-Nya. Dialah Tuhan sesungguhnya.

Sementara pada level “eksoterisme,” Tuhan berada dalam persepsi manusia. Eksistensi transedentalnya kemudian dipersepsikan oleh manusia dalam nama yang beragam. Eksoterisme adalah eksistensi Tuhan dalam penerjemahan manusia tentang keberadaan-Nya. Maka dari itu, pada level eksoteris ini nama Tuhan menjadi beragam. Kaum Muslimin menyebut Dia dengan nama Allah, Yahudi menyebut-Nya dengan sebutan YHVH (yahveh, yehovah), kalangan kristiani menyebut Dia dengan panggilan Bapa, penganut Hindu memuja-Nya dengan sebutan Brahman, demikian seterusnya.

Tuhan, dalam level eksoteris ini adalah Tuhan dalam persepsi manusia yang beragam. Sesuai dengan kondisi sosiologis, historis, geografis, serta faktor-faktor lain yang mengarahkan manusia untuk mengenal-Nya. Maka dari itulah kemudian muncul nama-nama yang berbeda tentang Tuhan al-Haq atau The Real itu.


Semuanya sama, semuanya mengajak pada kedamaian, begitulah Tuhan memperkenalkan diri-Nya pada manusia. Dan perbedaan jalan menuju Tuhan ini akan bertemu pada titik-Nya. Disitulah bertemuanya muara agama-agama. di kalangan pluralis dari madzhab Schuonn disebut dengan kesatuan transenden agama-agama, Transendent Unity of Religion

--

Paradoks

Sekilas kita akan melihat betapa mulia gagasan pluralisme agama ini. Kalangan pluralis ini menginginkan perdamaian antar umat beragama sesuai dengan realitas zaman yang kian beradab dan jauh dari peperangan. Namun jika dilihat secara logika, saya melihat ada paradoks dan inkonsistensi dari konsep ini. Konsep relativitas kebenaran ini kemudian menjadi konsep yang paradoks dan lemah/problematis.

Ketika kalangan pluralis memahami bahwa Tuhan pada level esoteris merupakan Tuhan sebagaimana ada-Nya. Tuhan dalam keberadaan-Nya. Tuhan sebagaimana menurut-Nya. Tuhan sebelum masuk dalam ranah penafsiran manusia, yang diistilahkan dengan al-Haq atau The Real misalnya, maka sebetulnya pemahaman ini juga subjektif.

Paham esoterisme tentang keberadaan Tuhan sebagaimana ada-Nya inipun pada faktanya merupakan paham “eksistensi Tuhan dalam pandangan manusia” yaitu Tuhan sebagaimana di persepsikan oleh Fritjhoff Schuon itu. 'Tuhan' yang subjektif.

Bukankah istilah Tuhan pada level esoterik dengan nama al-Haq ini pun harus diakui merupakan wujud keberadaan Tuhan setelah masuk dalam penafsiran kalangan pluralis. Bukan lagi Tuhan sebagaimana ada-Nya, tetapi Tuhan dalam persepsi manusia.

Jadi apa bedanya paham Tuhan dalam level esoteris ini dengan persepsi Tuhan menurut penganut agama yang lain?

Standar ganda juga terjadi ketika kalangan penganut pluralism agama ini mengatakan bahwa penganut agama tidak boleh menganggap pahamnya yang paling benar, namun pada saat yang sama kalangan pluralisme agama justru menganggap konsep mereka tentang esoterime agama itu sebagai satu-satunya paham keberagamaan yang paling benar. Bukankah ini adalah sebuah konsep standar ganda dalam beragama dan paradoks?

Pada akhirnya, alih2 menjadi penengah dari konflik antar agama, justru kelahiran paham pluralisme agama ini menambah daftar “tuhan baru” dalam keberagamaan manusia di dunia ini dan semestinya jika mereka konsisten maka tuhan mereka inipun harus berposisi setara dengan agama-agama yang lain.

Alih-alih menjadi perangkul dari aneka ragam perbedaan, pluralisme agama justru lahir sebagai wujud perbedaan baru dan pada saat yang sama melakukan truth claim atas pemahaman keberagamaannya itu seraya menyalahkan yang lain.

saya kira, lebih konsisten utk memahami kebenaran suatu agama dengan pendekatan yang lebih komprehenshif, secara filosofis, sosiologis, historis, eksakta, perbandingan agama, dan lain-lain. saya yakin, jika mereka bersungguh-sungguh menuju jalan-Nya, maka Allah (sebagai satu-satunya Tuhan bagi semesta) akan menunjukkan jalan-Nya. bahwa Dialah Tuhan Yang Sebenarnya!

24 Desember 2010

0 komentar:

Posting Komentar