Jumat, 22 Maret 2013

Islam dan Demokrasi (part 1)


oleh: Sigit Kamseno

Wacana Umum seputar Relasi Islam dan Demokrasi

Kata dan konsep demokrasi dapat ditelusuri secara historis ketika konsep ini pertama kali digunakan sebagai sistem politik dalam praktek negara-kota (city-state) di Yunani Kuno menjelang pertengahan abad kelima Sebelum Masehi. Orang Yunani menyebut sistem politik mereka dengan istilah democratia.

Secara etimologis, demokrasi berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu demos yang berarti rakyat dan cratia atau cratos, yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Dari dua kata ini, demo-cratein atau demos-cratos dapat diartikan sebagai kekuasaan atau kedaulatan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat, dan kekuasaan rakyat. Sistem demokrasi yang dianut di negara kota Yunani Kuno adalah demokrasi langsung (direct democracy) dimana hak untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas. Menurut Miriam Budiardjo, sistem ini dapat dilaksanakan dengan efektif karena berlangsung dalam kondisi yang sederhana, wilayah yang terbatas, dan jumlah penduduk yang hanya sekitar 300.000 orang.Dalam perkembangannya, seiring dengan kompleksitas kondisi masyarakat, sistem demokrasi ini berkembang menjadi sistem perwakilan, representative democracy, dimana rakyat memilih wakil-wakilnya untuk mengambil keputusan-keputusan politik.

Sementara secara terminologis, para ilmuwan politik tidak memiliki kesepakatan dalam mendefinisikan demokrasi.

Menurut Ian Adams, setelah Perang Dunia II, Badan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), UNESCO ketika berusaha menjelaskan cita-cita demokrasi, menugaskan sejumlah sarjana untuk mencari definisi demokrasi yang dapat disepakati oleh semua pihak. Namun dalam laporannya, Democracy in a World of Tensons (UNESCO, Paris 1991), para sarjana itu mengakui telah menemui kegagalan karena terdapat begitu banyak definisi demokrasi yang saling bertentangan dan mustahil untuk dicapai kesepakatan.

Menurut Robert A. Dahl, demokrasi adalah sistem politik dimana para anggotanya saling menolong antara yang satu dengan yang lainnya, sebagai orang-orang yang sama dari segi politik, dan mereka secara bersama-sama, berdaulat dan memiliki kemampuan sumber daya, dan lembaga-lembaga yang mereka perlukan demi untuk keperluan mereka sendiri.

Sementara menurut Deliar Noer, demokrasi sebagai dasar hidup bernegara mengandung pengertian bahwa pada tingkat terakhir, rakyat memiliki ketentuan dalam masalah-masalah mengenai kehidupannya.

Menurut Masykuri Abdillah, definisi yang paling umum tentang demokrasi adalah definisi yang diberikan oleh Joseph A. Schmpeter, yaitu suatu perencanaan institusional untuk mencapai keputusan politik dimana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan dengan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat.

Menurut Nurchalish Madjid, dari beragam definisi tentang demokrasi, terdapat titik temu tentang pengertiannya secara umum. Menurut Nurchalish, para “penghayat demokrasi” semestinya mempelajari pandangan teoritis yang lebih “absah” tentang kekuasaan politik di tangan rakyat, dalam pengertian bahwa rakyatlah yang menentukan langsung pemimpin mereka.

Sementara secara lebih spesifik Yusuf al-Qardâwî menjelaskan bahwa hakikat demokrasi adalah bahwa rakyat yang akan memerintah dan menata persoalan mereka. Tidak boleh dipaksakan kepada mereka pemimpin yang tidak mereka sukai, atau rezim yang mereka benci. Rakyat diberikan hak untuk mengoreksi pemimpinnya bila dia keliru. Diberikan hak untuk mencabut dan mengganti pemimpin tersebut apabila dia menyimpang. Rakyat tidak boleh dipaksa untuk mengikuti berbagai sistem ekonomi, sosial, dan politik yang tidak mereka kenal dan sukai, bila sebagian menolak, mereka tidak boleh disiksa atau difitnah.Menurut Qardâwî, demokrasi seperti ini memberikan beberapa bentuk dan cara praktis seperti pemilihan dan referendum umum, mendukung pihak mayoritas, menerapkan sistem multipartai, memberikan hak kepada minoritas untuk beroposisi, menjamin kebebasan pers dan kemandirian pengadilan.

Dalam relevansinya dengan Islam, Bagi Qardâwî, siapapun yang memahami Demokrasi seperti pengertian di atas, akan mendapatkan kesesuaian dengan prinsip-prinsip dasar Islam. Bahkan menurutnya, Islam lebih awal menerapkan prinsip tersebut.

Dalam konteks relevansi dari konsep representative democracy dengan Islam, bentuk yang paling mendekati konsep ini adalah sebuah komite yang dibentuk oleh khalîfah ‘Umar ibn al-Khattâb menjelang beliau wafat. Komite yang terdiri dari enam orang sahabat senior, yakni ‘Ali ibn Abi Tâlib, ‘Utsmân ibn ‘Affân, Sa‘d ibn Abi Waqqâs, Abd al-Rahmân ibn ‘Auf, Zubair ibn Awwâm, dan Talhah ibn ‘Ubaidillâh, memiliki tugas untuk merundingkan pengganti khalîfah sepeninggalnya. Apabila terdapat kesamaan jumlah suara, maka pengganti khalîfah terpilih adalah yang disetujui oleh ‘Abd Allâh ibn ‘Umar sebagai suara ketujuh.

Pembentukan komisi ini, meski tidak sama, memiliki kedekatan dengan konsep representative democracy, dimana individu-individu yang dianggap mewakili rakyat memilih pemimpin mereka dengan sistem suara terbanyak.Selain itu, kedekatan demokrasi dan Islam menurut John L. Esposito dan John O. Voll juga dapat ditelusuri dari konsep-konsep islami yang telah lama bertahan, yaitu prinsip musyawarah (syûra), persetujuan (ijma‘), dan penilaian interpretatif (ijtihâd.)

Menurutnya, perwakilan rakyat dalam sebuah negara tercermin terutama dalam doktrin musyawarah (syûra). Karena suara Muslim yang dewasa dan berakal sehat, baik pria maupun wanita, adalah khalîfah Tuhan. Mereka mendelegasikan kekuasaan mereka kepada penguasa dan pendapat mereka harus diperhatikan dalam menangani permasalahan Negara.

Namun demikian, sebagian umat Islam seperti Jamâ‘ah Hizb al-Tahrîr, memberikan pandangan yang menunjukkan ketidakseseuaian antara Islam dan demokrasi. Kelompok seperti Hizb al-Tahrîr, mempertentangkan antara aksioma demokrasi, kedaulatan ditangan rakyat, dengan keyakinan Islam bahwa kekuasaan menetapkan hukum adalah milik Allah. Kelompok ini merujuk pada landasan al-Qur’ân Sûrah Yûsûf/12: 40,

“Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun tentang nama-nama itu. keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”

Ayat ini menjelaskan bahwa penetapan hukum adalah wewenang yang hanya dimiliki oleh Allah. Menurut kelompok seperti Hizb al-Tahrîr, Dalil ini bertentangan dengan aksioma demokrasi yang mengatakan bahwa kedaulatan adalah di tangan rakyat.

Namun Qardâwî, tidak sependapat dengan pandangan ini. Baginya, pendapat yang mempertentangkan antara pemerintahan rakyat dan kedaulatan Tuhan merupakan pendapat yang tidak tepat. Prinsip kedaulatan di tangan rakyat yang merupakan landasan demokrasi tidak bertentangan dengan prinsip kedauatan di tangan Allah yang merupakan landasan fundamental Islami, tapi bertentangan dengan prinsip kekuasaan individu yang merupakan dasar pemerintahan diktator.

Selaras dengan itu, menurut Yudi Latif, pengakuan Muslim terhadap kedaulatan rakyat ini tidak lagi menjadi masalah, karena pemahaman terhadap kedaulatan Tuhan yang semula dipandang bertentangan dengan kedaulatan rakyat telah direvisi dengan pandangan bahwa kedua hal itu tidak berlawanan. Dikatakan tidak berlawanan sebab kedaulatan Tuhan bisa didelegasikan kepada kedaulatan rakyat. Istilah khalîfah tidak harus dilekatkan kepada penguasa, tetapi kepada seluruh manusia. Kehendak Tuhan dapat diartikulasikan lewat kehendak rakyat melalui pemerintahan perwakilan.

Perbedaan pandangan ini, disebabkan karena kalangan yang menunjukkan ketidaksesuaian antara demokrasi dan Islam memandang demokrasi pada tataran yang real-pragmatis. Bahwa kekuasaan yang diberikan kepada rakyat banyak, memiliki peluang untuk menghasilkan keputusan-keputusan yang bertentangan dengan doktrin Islam.

Sementara Qardâwî, dan kalangan yang menyetujui adanya relevansi demokrasi dan Islam, memandang demokrasi dari perspektif yang normatif dan ideal, dimana kedaulatan harus dipegang oleh rakyat yang percaya kepada Tuhan, sehingga tidak menghasilkan keputusan-keputusan yang bertentangan dengan aturan-Nya.


-------------------------------------------
  sumber2
A. Ubaidillah, dkk., Pendidikan Kewargaan: Demokrasi, Islam, dan Masyarakat Madani (Jakarta: IAIN Press, 2000), h. 161. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Dian Rakyat, 1972; reprint, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), h. 55. Ian Adams, Ideologi Politik Mutakhir, Konsep, Ragam, Kritik, dan Masa Depannya. Penerjemah Ali Noerzaman (Solo: Qalam: 2006), h. 75. Robert A. Dahl, Demokrasi Indonesia, dan Para Pengeritiknya. Jilid II. Penerjemah A. Rahman Zainuddin (Jakarta: Yayasan Obor, 1992), h.xxviii. Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna: Respons Intelektual Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi 1966-1993 (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), h. 71. Nurchalish Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 255-256. Yusuf al-Qardâwî, Fiqih Negara. Penerjemah Syaiful Hakim (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), h. 67-68. Ibid., h. 175. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (Jakarta: UI Press, 1993), h. 25-26. John L. Esposito dan John O. Voll, Demokrasi di Negara-Negara Muslim. Penerjemah Rahmani Astuti (Bandung: Mizan, 1996), h. 32. Esposito dan John O. Voll, Demokrasi di Negara-Negara Muslim, h. 32. Departemen Agama Republik Indonesia (DEPAG RI), al-Qur’an dan Terjemahnya (Surabaya: Karya Utama, 2000), h. 354. al-Qardâwî, Fiqih Negara, h. 182. Yudi Latif, “Sekularisasi Masyarakat dan Negara Indonesia,” dalam Komarudin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, ed., Islam, Negara, dan Civil Society: Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer (Jakarta: Paramadina, 2005), h. 143-144.

0 komentar:

Posting Komentar