----
Bismillahirrahmanirrahim..
Pada Allah SWT, kepada-Nya kita memuji dengan hati yang lirih. Mengadu
dengan jiwa yang luluh, saat menyadari betapa besar nikmat dari-Nya yang
tidak kita syukuri. Ketika menyadari betapa besar dosa yang kita
perbuat. Bertasbihlah memuji-Nya apa-apa yang ada di langit, di bumi,
dan apa-apa yang berada di antara keduanya.
Shalawat dan salam
atas kecintaan kita, Rasul mulia, Baginda Rasulullah Saw, beserta para
keluarga, shahabat, dan ummat beliau yang tetap istiqamah dalam da’wah,
hingga tiba hari yang dijanjikan.
*****
Saya merasa amat senang ketika mengetahui bahwa notes saya, “Paradoks Pemikiran Hizbut Tahrir” mendapatkan tanggapan dari seorang syabab Hizbut Tahrir, akhina Adi Victory.
Saya memang menginginkan agar kalangan yang berminat memberikan
tanggapan thd notes saya tsb menuliskannya dalam bentuk artikel agar
lebih komprehenshif. Sehingga dengan demikian akan terjadi, kalo boleh
meminjam istilah seorang filosof Jerman, George Wilhem Friedrich Hegel
(1770-1831), adanya 'Dialektika,'yaitu sebuah proses bertemunya tesis
dan anti tesis untuk melahirkan sintesis. Dalam konteks ini mungkin
lebih tapat kita sebut, Dialektika Pemikiran Islam.
Sebelumnya
saya ingin memulai jawaban ini dengan mengutip tulisan Adi Victory yg
mengatakan bahwa “rupanya sangat ingin sekali niat antum ingin membuat
karya ilmiah terhadap gerakan dakwah hizbut tahrir dengan judul
“Paradoks Pemikiran Politik Hizbut Tahrir”.
Saya ingin bilang
bahwa saya sebetulnya tak berminat untuk menulis notes tersebut dalam
konteks “tulisan ilmiah”, oleh karena itulah dari awal saya mengatakan:
“….sebetulnya saya ingin menulis artikel berikut ini, itu juga kalo
pantes disebut sebagai artikel, hehe.. setelah tadi pagi di bus kota
mayasari cibinong-tn.abang, sambil menunggu macet di tol jagorawi, saya
membaca tulisan Ust. Farid Wajdi, seorang ustadz di HTI yg jebolan
Austria itu, dan tulisan Shiddiq al-Jawi…”
Namun saya amat menghargai jika notes tersebut terkesan ilmiah. Terimakasih atas apresiasinya. :-)
Saya sudah membaca tanggapan Adi Victory tersebut, saya baca lebih dari
satu kali dan baru sempat membuat jawabannya sore ini karena awal
pekan ini saya punya sedikit waktu luang disela2 kerjaan kantor.
***
Jawaban ini saya beri judul:
RETHINKING KHILAFAH, REINVENTING DEMOCRACY
Judul diatas saya kutip dari makalah kajian politik Islam yg ditulis
oleh AM Furqon dan Edwin Arifin dari judul aslinya, “Rethinking Islam
Reinventing Democracy” yang dibedah bersama Jakarta Secret Society, dan
Laboratorium Politik Islam UIN Jakarta tahun 2005, berkaitan dengan
kebangkitan gerakan anak muda Islam yang bergerak dalam ranah politik
praktis dan penerimaannya terhadap demokrasi. Makalah tersebut adalah
hasil penelitian selama lima bulan dan isinya membahas tentang Partai
Keadilan Sejahtera.
Judul makalah tersebut menginsiprasi saya
untuk membuat catatan ini karena saya pikir relevan dengan realitas
pemikiran Hizbut Tahrir (HT) yang tak bosan mengkufurkan demokrasi dan
mencela mereka yang tengah berdakwah di dalamnya, disertai dengan
kampanye penegakkan kembali khilafah Islamiyah di tengah hagemoni system
demokrasi dewasa ini. Sebuah semangat heroik yang saya kira patut kita
apresiasi jika disampaikan dengan cara yang santun. Sebagai perlawanan
terhadap hagemoni demokrasi yg melingkupi sistem politik dunia hari ini.
Saya katakan “patut diapresiasi jika disampaikan ‘dengan cara yang
santun’” karena tak jarang, rekan2 HT menyampaikan sumpah serapah yang
tak layak diucapkan seorang Muslim kepada muslim lainnya. Saya tetap
berbaik sangka bahwa ini hanyalah oknum2 yang terdorong oleh panggilan
ideologis mereka.
Dalam grup “Indonesia Harapan Itu Masih Ada”
yang baru berumur beberapa minggu saja, amat ramai ucapan rekan-rekan
HT yang tak layak diucapkan, yg membuat saya sebagai admin meremove
topik tersebut karena keluar dari adab-adab diskusi Islami, apalagi dari
mereka yang mengklaim dirinya sebagai aktivis Muslim.
Dari
sebuah akun milik seorang syabab Hizbut Tahrir, (tak perlu saya
sampaikan linknya), beliau mencaci pemerintahan SBY dengan sebutan
“Pemerintahan Setan”, sebelumnya pemilik akun yang sama melontarkan
kalimat ANJ**G SBY. (sebanyak dua kali karena merasa tak puas topik
kasar sebelumnya dihapus oleh admin). Lihatlah pula dari sebuah akun
lain (yg akhirnya meminta maaf) juga melempar sebuah topik panas dengan
menyerang pribadi member lain dengan sebutan ANJ**G BODOH.
Tak
hanya kalangan ikhwan dari syabab HT yang rajin mencela, kalangan
akhwatnya juga tak ketinggalan dengan cacian yang sama. Seorang akhwat
aktivis HT dari Institut Pertanian Bogor juga melemparkan sebuah topik
panas di grup dengan menulis “ANJ**G PENJILAT”.
La haula wala quwwata illa billah…
Saya tetap menilai bahwa ini memang karakter pribadi yang bersangkutan,
akan tetapi penilaian saya rupanya terkesan kurang akurat karena amat
mengherankan bahwa postingan2 yg berisi cacian sejenis bertebaran di
banyak sekali akun FB milik rekan2 HT. Tak cukup postingan dengan
kata-kata, cacian juga disampaikan lewat gambar2 yang mencela harakah
lain yang berbeda paham dengan mereka.
Sehingga menimbulkan
sebuah penilaian bahwa Hizbut Tahrir sejatinya sedang membuat propaganda
tentang kemuliaan khilafah dan kebusukan demokrasi versi mereka, dengan
cara menyerang aktivis dakwah yang berpaham bahwa demokrasi pada
beberapa konteks memiliki relevansi dengan Islam.
Celaan-celaan ini tampaknya bukan lahir dari karakter yg bersangkutan,
tetapi lebih merupakan tuntutan ideologis yg diimplementasikan secara
radikal dan ofensif, persis sebagaimana dalam catatan yg sebelumnya saya
kutip, bahwa hal ini menggambarkan apa yang diungkapkan oleh Rolland
Barthes, seorang teoritisi budaya asal prancis, bahwa ideology selalu
meniscayakan penganutnya untuk "menaturalkan hal-hal yg pada faktanya
kultural, dan me-universalkan hal-hal yg pada faktanya particular. Dalam
hal ini. Hizbut Tahrir tampak telah memainkan propaganda ideologisnya
secara radikal.
***
Dalam tanggapannya, akh Adi Victory
memulai dengan mengatakan bahwa pandangan saya yg melihat Perdebatan
seputar relasi antara demokrasi dan Islam merupakan perdebatan panjang
yang tak akan pernah berujung pangkal, berasal dari ketidak tahuan saya
mengenai fakta demokrasi.
Akh Adi Victory mengatakan,
“saya kira titik persoalannya adalah ketidaktahuan antum tentang apa
itu demokrasi, sehingga bagi antum hal ini seolah masuk pada ranah
ijtihadiy, yang berarti para ‘ulama juga masih memperdebatkannya.
Benarkah hanya hizbut Tahrir yang berpandangan bahwa mengadopsi ide
demokrasi adalah haram?”
Dalam hal ini Adi Victory mengatakan
bahwa pendapat tentang keharaman demokrasi bukanlah ranah ijtihady.
Kalimat “sehingga bagi antum hal ini seolah masuk pada ranah ijtihadiy,
yang berarti para ‘ulama juga masih memperdebatkannya.” Menegaskan
pandangan akh Adi Victory tersebut.
Saya ingin mengatakan
kepada Akhi Adi Victory bahwa ranah ini memang ranah ijtihady. Memang
pada faktanya para ulama berbeda pendapat dalam hal penerimaan terhadap
demokrasi. Sehingga tak eloklah kiranya jika Hizbut Tahrir mengingkari
fakta ini dan “memaksakan” kaum Muslimin, termasuk para ulama di
dalamnya, untuk menerima pandangan HT. Kecuali jika mereka yang setuju
terhadap demokrasi dikecualikan dari predikat Ulama, dan hanya para
ulama yg sependapat dengan HT lah yg berhak menyandang gelar Ulama.
Barulah ranah tersebut hbukan lagi ranah ijtihadi lagi karena semuanya
tak lagi berbeda pendapat.
Tetapi faktanya, para ulama berbeda
pendapat mengenai relevansi Islam dan demokrasi. Jika yang antum kutip
adalah mereka yang menolak demokrasi, tentu ya. namun mengapa tak antum
kutip pandangan para ulama yang menerima demokrasi sehingga antum tahu
bahwa masalah ini berada pada ranah ijtihady/ikhtilaf di kalangan para
ulama?
Syaikh Yusuf Qardhawi membolehkannya, semikian pula
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz,
Syeikh Dr. Shalih bin Fauzan, dan lain-lain. Apakah menurut antum mereka
bukan ulama sehingga pendapat mereka sama sekali tak diperhitungkan?
Akhi fillah, sadarilah bahwa masalah ini pada faktanya memang masalah
ijtihady. Tak perlu lari dari kenyataan bahwa para ulama berbeda
pendapat dalam masalah ini.
saya kira akan lebih baik jika
berlaku bijaksana dalam memahaminya, seraya memberikan argumentasi bagi
pandangan kita, tanpa melupakan fakta akan ikhtilaf ini. Saya kira
kedewasaan dalam menerima perbedaan pendapat merupakan sikap seorang
Muslim yang sejati. Jika hujjah telah bertemu dengan hujjah, maka yang
diperlukan adalah kedewasaan, bukan mengkufurkan yang lain. (fatwa
seputar ulama yang memperbolehkan pernah saya posting di komentar saya
pada notes yg lain, sebagai tanggapan atas diskusi dengan syabab HT,
sayangnya saya diblokir sama dia, entah dengan alasan apa, lihat:
***
Pertanyaan yg muncul kemudian adalah, apakah penerimaan saya terhadap
ikhtilaf di kalangan para ulama tentang demokrasi tersebut merupakan
akibat dari ketidaktahuan saya terhadap demokrasi? Ataukah bahwa saya
memahami bahwa para ulama berbeda pendapat tentang hal itu? Atau justru
pandangan akh Adi Victory tersebut mencerminkan apa yg saya sebut
sebagai “pandangan premature” terhadap demokrasi?
Sebagaimana
pada notes sebelumnya saya katakan, bahwa kalangan Hizbut tahrir
cenderung memandang demokrasi hanya dari satu wajah. Melihat demokrasi
dari sejarahnya, kemudian membedahnya, menyertakan pendapat para ahli
yang menentangnya, untuk kemudian mempertentangkannya dengan Islam.
(saya tak perlu menjelaskan demokrasi secara panjang lebar, utk jelasnya
antum bisa baca notes saya ttg demokrasi disini dan disini
Hal demikian memang mudah dipahami karena pola pemahaman doktriner pada
mentoring pekanan Hizbut Tahrir pada Bab “Pelaksanaan Syariat Islam”
diawali dengan fakta2 kegagalan dan kekacauan system selain Islam.
{saya masih punya buku lama, Kumpulan Materi Dasar Islam, (Bogor,
al-Ummah, 1994), buku yang menjadi bahan kajian awal rekan2 yg mulai
mengikuti Hizbut Tahrir. Masih ingat neh waktu dulu masih ngaji di HT
tahun 2000, mungkin sekarang bukunya sudah ganti kali..}
Sehingga ketika menilai demokrasi, rekan2 syabab mengalami apa yang oleh
Aaron T Beck, penggagas cognitive-behavioral therapy, sebagai distorsi
kognitif. misalnya, Pandangan saya bahwa jalan kaki itu melelahkan dan
tidak akan pernah menyenangkan adalah contoh pemikiran dikotomis.
sehingga pandangan ke depannya pun akan tetap memandang jalan kaki amat
melelahkan. Persis seperti rekan HT yang menilai bahwa demokrasi itu
buruk dan Islam itu baik, kemudian mempertentangannya secara dkotomis.
Lita Hadiati Wulandari dalam skripsi pada program psikologinya di
Universitas Sumatera Utara memaparkan 'distorsi kognitif' ini secara
lebih detail menurut Burns (1988). Saya kutip point pertamanya yg saya
kira amat relevan bahwa Pemikiran "Segalanva atau Tidak Sama Sekali".
Pemikiran ini menunjuk pada kecenderungan individu untuk mengevaluasi
kualitas pribadi diri sendiri dalam kategori 'hitam atau putih' secara
ekstrim. Pemikiran 'bila saya tidak begini maka saya bukan apa-apa sama
sekali" merupakan dasar dari perfeksionisme yang menuntut kesempumaan.
(Lita Hadiati Wulandari, Efektivitas Modifikasi Perilaku-Kognitif Untuk
Mengurangi Kecemasan Komunikasi Antar Pribadi, Skripsi pada Program
Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara)
Beginilah pandangan HT terhadap Khilafah dan demokrasi. Penilaian awal
yang pada akhirnya merembet pada penilaian-penilaian selanjutnya.
Memandang sesuatu dengan cara mempertentangkannya atau vis a vis.
Hendaknya akh Adi Victory melihat bahwa demokrasi pada faktanya tidak
memiliki satu definisi. Karena dalam perkembangannya, Setiap Negara
berhak mengklaim sebagai Negara penganut demokrasi meskipun pada
faktanya penerapan sistem politik di Negara tersebut amat jauh dari
nilai2 demokrasi itu sendiri. Bahkan Menurut Ian Adams, setelah Perang
Dunia II, Badan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), UNESCO ketika berusaha
menjelaskan cita-cita demokrasi, menugaskan sejumlah sarjana untuk
mencari definisi demokrasi yang dapat disepakati oleh semua pihak. Namun
dalam laporannya, Democracy in a World of Tensons (UNESCO, Paris 1991),
para sarjana itu mengakui telah menemui kegagalan karena terdapat
begitu banyak definisi demokrasi yang saling bertentangan dan mustahil
untuk dicapai kesepakatan. Miriam Budiardjo dalam buku darasnya yg
menjadi buku paling dasar utk memahami politik, “Dasar2 Ilmu Politik”
juga mengatakan hal tersebut. Bahkan di Negara berpaham komunis
sekalipun, predikat demokrasi bisa saja digunakan. (lihat Miriam
Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Bab Demokrasi).
Ketidak
sepakatan terhadap makna demokrasi ini tidak lantas menjadikan demokrasi
itu sebagai sesuatu yang tidak ada. Justru ketidaksepakatan para
ilmuwan terhadap demokrasi ini terjadi karena demokrasi memiliki banyak
versi dan memiliki banyak wajah. Oleh karena itulah kita bisa memilah,
demokrasi yang seperti apa yang sesuai dengan Islam.
Kalangan
Tarbiyah, tidak seperti yang akh Adi Victory sampaikan, “Inilah
kesalahan fatal yang dialami oleh teman-teman tarbiyah, salah dan keliru
dalam menghukumi sebuah fakta, kesalahan ini kiranya terjadi mungkin
karena proses penelaahan terhadap sebuah fakta yang tidak tepat,
sehingga keliru dalam menerapkan hokum syara’nya.” Justru melihat
demokrasi secara lebih luas, tidak hanya dari sejarahnya yang
semata-mata dari barat, tetapi juga dari perkembangan dan ragam
demokrasi, serta peluang-peluang yg bisa diambil didalamnya.
Kalangan tarbiyah memahami demokrasi seperti apa yang dikatakan oleh Syaikh Ma’mun al-Hudhaibi,
"jika dikatakan demokrasi berarti rakyat yang menentukan siapa yang
akan memimpin mereka, maka Ikhwan menerima demokrasi. Namun jika
demokrasi berarti rakyat dapat mengubah hukum2 Allah, dan megikuti
kehendak mereka, maka ikhwan menolak demokrasi. Ikhwan hanya mau
terlibat dalam system yg memungkinkan syariat Islam di berlakukan dan
kemungkaran dihapuskan." (Farid Nu’man, Al Ikhwan alMuslimun, Augerah
Allah yang terzalimi, p.67-68)
Pada faktanya keterlibatan
aktivis tarbiyah dalam ranah demokrasi adalah bentuk strategi agar
regulasi yang lahir sbg keputusan politik pemerintah mencerminkan hukum2
Allah tegak dimuka bumi meskipun tidak mesti disebut sebagai UU Islam.
Anis Matta mengatakan, “jika subtansi telah cukup mewakili nama, maka
tak perlu nama mewakili substansi tanpa menafikan nama”
Pandangan Ma’mun Hudhaibi ini sejatinya sebangun dengan pandangan Abul
A’la al-Maududi yang secara tidak tepat oleh akh Adi Victory disebut
menolak mentah2 demokrasi. Dengan mengatakan:
“Antum kenal
Abul A’la Al-Maududi ?, ulama Pakistan yang mendirikan gerakan Islam
Jamaat-e-Islami pada tahun 1940-an. Beliau menolak mentah-mentah ide
demokrasi. Al-Maududi dengan tegas menolak teori kedaulatan rakyat (inti
demokrasi), berdasarkan dua alasan. Pertama, karena menurutnya
kedaulatan tertinggi adalah di tangan Tuhan. Tuhan sajalah yang berhak
menjadi pembuat hukum (law giver). Dst…”
Faktanya adalah Abul
A’la al Maududi, sebagaimana yg akhirnya akh Adi sampaikan (aneh juga
bahwa paragraph pertama mengatakan “menolak mentah2, yg artinya menolak
sama sekali, tetapi akhirnya membahas pula penerimaan al-maududi
terhadap ‘sebagian’ konsep demokrasi, dua buah paragraph yg kontradiktif
saya kira) menerima demokrasi dengan Syarat ia berjalan dalam spirit
ketuhanan, sehingga keputusan politik yang lahir dari demokrasi TIDAK
bertentangan dengan hukum syara’. Tidak lagi melakukan voting atas hukum
zina, misalnya, dsb.
Itulah mengapa al-Mawdudi membuat konsep
gabungan antara demokrasi dengan Islam yang ia istilahkan dengan
“Theo-Demokrasi” atau demokrasi yang berketuhanan. (saya ingat dari
buku beliau yg diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, Khilafah dan
Kerajaan” terbitan Bulan BIntang, sebuah buku yg saya baca ketika
kuliah Pemikiran Politik Islam Modern semester 5)
Justru
taqiyuddin an-Nabhani tidak sependapat dengan al-Maududi, karena
an-nabhani tidak sepakat dengan penggunaan istilah2 non Islam ke dalam
khazanah politik Islam. Sebuah pandangan yg keliru saya kira, karena
pengunaan istilah demokrasi ke dalam Islam sama sekali tak akan membuat
rancu pemikiran politik Islam kecuali jika politik Islam dimaknai secara
sempit sebatas format khilafah seperti yg diyakini oleh Hizbut Tahrir.
Saya, memahami bahwa penggunaan istilah2 asing bukanlah hal yg
diinginkan, tetapi istilah demokrasi adalah istilah yg popular,
seperti misalnya ketika kita mengatakan “pemilihan yg demokratis dengan
musyawarah atau persetujuan warga.” Meskipun pada faktanya musyawarah
dan persetujuan warga itu berjalan secara Islami, namun toh pada
akhirnya warga cenderung mengatakan, “pemilihannya amat ‘demokratis’.”
Syaikh Ash-Shabuni mengatakan, “kaum muslimin diperbolehkan menggunakan
istilah yng kurang baik, utk makna yg baik. Seperti Rasulullah Saw
mengatakan “Kerahiban ummatku adalah jihad fi sabilillah” meskipun pada
dasarnya Al-Quran mencela makna rahbaniyyah (QS. Al-hadiid:27).
***
Amat melelahkan memaknai demokrasi dalam perspektif sempit seperti yg
dipahami hizbut Tahrir. Pemahaman ini pada akhirnya hanya menjadikan
para penganutnya sebagai para ‘pencela zaman’ dengan segala predikat
tak layak yg disandang oleh zaman seperti “pemerintahan Setan, atau
ANJ**G seperti yg saya terangkan di muka. Seraya berlepas diri dari
tanggung jawab karena merasa tak tak terlibat di dalam pemerintahan.
Padahal pilihan utk golput pun sejatinya merupakan pilihan yg memiliki
konsekuensi politik dengan terpilihnya pemimpin yg dicela oleh mereka
itu. Sebuah sikap tak ksatria, dengan tidak memilih dalam pemilu, lalu
jika pemerintah melakukan kebijakan tak popular dicelanya sebagai produk
demokrasi sementara HT tak berperan sedikitpun di dalamnya kecuali
melakukan demonstrasi dan seruan2 belaka.
Penjelasan akh Adi
Victory tentang pendaftaran HTI sebagai Ormas di Depdagri dengan syarat
mentaati UU yg berlaku, pun akhirnya terkesan hanya sebagai apologi
untuk menutupi kenyataan bahwa HTI bisa dan memang hanya bisa hidup di
negeri yang menerapkan demokrasi ini. kita bertanya, apa tujuan HTI
mendaftarkan lembaganya di Depdagri yg merupakan perpanjangan tangan
pemerintah pada sistem demokrasi ini?
Seandainya Indonesia
tidak menerapkan demokrasi seperti Pakistan dan Saudi, rasanya HT akan
terhambat. Maka dari itulah HT bisa berkembang di USA, Australia,
Indonesia yg memang menerapkan demokrasi.
Demikian pula
pejelasan mengenai eksitensi partai politik dalam RUU Khilafah versi HT.
saya kira sebetulnya tidak sulit utk memahami bahwa partai politik yang
dimaksud dalam RUU tersebut adalah Partai Politik Peserta Pemilu,
karena digunakan utk menduduki kekuasaan. lihat lagi kalimat fungsi
parpol dalam RUU tsb; “atau sebagai jenjang untuk menduduki kekuasaan
pemerintahan melalui umat,” Sebuah konsep barat yg tak ditemukan
landasannya dalam sejarah khilafah. sehingga tak perlu berputar pada
makna partai politik non peserta pemilu seperti format HT sekarang ini.
Kemudian utk menutupi RUU ini digunakanlah kaidah ushul kullu asya’al
ibahah illa ma warada ‘annis syari’ tahrimuhu (segala sesuatu adalah
boleh kecuali ada dalilnya dari pembuat syari’at yang melarangnya) yg
mana kaidah ushul ini sebetulnya bisa pula digunakan utk demokrasi yg
berketuhanan.
***
Selanjutnya sebagai bagian dari notes ini, saya bersyukur jika akhirnya an-nabhani mengatakan bahwa:
“Kesalahan-kesalahan dalam praktik penunjukan dan baiat tersebut tidak
bisa mengubah status sistem Khilafah menjadi sistem kerajaan atau yang
lain. Juga harus dipahami, bahwa kesalahan-kesalahan seperti ini juga
lazim terjadi dalam praktik sistem apapun, tetapi tetap tidak mengubah
status sistem itu. Sebab, di sana ada faktor manusia; pelaksana sistem
tersebut adalah manusia, bukan malaikat.”
Sebuah pemahaman yg
hendaknya dyakini pula oleh syabab HT, bahwa konsep khilafah bukanlah
konsep yg sempurna. Bahwa penyimpangan bisa terjadi dalam sistem politik
apapun, bahkan khilafah sekalipun.
Meskipun pada prinsipnya
saya meyakini bahwa konsep khilafah, sebetulnya bisa saja berbentuk
dalam format demokrasi. Seperti pernah saya tulis dalam notes saya ini
Jumat, 22 Maret 2013
Rethinking Khilafah, Reinventing Democracy Jawaban atas Tanggapan Adi Victory thd notes saya: Paradoks Pemikiran Politik Hizbut Tahrir
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
ujung dari mengusung demokrasi adalah korupsi daging sapi
BalasHapus