Kamis, 16 April 2015

Gebyah Uyah dan ‘Demam Panggung’, BNPT dan Kominfo bisa Dipidana

Tolak Terorisme (http://initeroris.blogspot.com)
Tolak Terorisme (http://initeroris.blogspot.com)


Saya lahir, tumbuh, dan dibesarkan dalam tradisi Nahdhatul Ulama (NU) yang kuat. Kakek, ayah, paman, sepupu, semua adalah alumni pondok NU. Saya sendiri, sekalipun tak sempat mondok ala santri-santri NU yang tradisional itu, sempat mencicipi ma’had yang diasuh alumni pondok NU di Bogor selama lebih dari satu tahun. Sisanya jadi “santri kalong” yang hanya pulang dan pergi ke pesantren.

Dari pihak istri, ayah mertua adalah orang yang ditokohkan di kampung sebagai tokoh agama, sementara ibu mertua aktif di Muslimat NU. Tiga kakak ipar saya aktif sebagai pengurus Fatayat NU di Brebes, Jawa Tengah. Saat ini keponakan pun masih mondok di Pesantren Benda, Bumiayu, Jawa Tengah. Istri saya sendiri adalah alumni madrasah NU. Oleh karena itu, tradisi NU seperti tahlilan, tawasul, ziarah, dan sebagainya kental di keluarga saya. Saya pernah berziarah ke makam Sunan Giri, Sunan Gresik, dan seterusnya, sekadar merenung dan menapaktilasi perjuangan mereka menyebarkan Islam di Nusantara yang tentu tak mudah sehingga kini Indonesia berpenduduk Muslim terbesar di dunia.

Saya ingin mengikuti jejak tokoh besar NU, almarhum KH. Idham Khalid yang sangat luwes dan menghormati perbedaan. Syahdan saat memimpin shalat Shubuh di atas kapal dalam perjalanannya ke tanah suci, kyai yang memimpin NU selama 28 tahun itu tak bacakan Qunut karena menghormati tokoh Muhammadiyah, Buya Hamka yang bermakmum di belakangnya. “Saya tak ingin” katanya arif saat ditanya, “memaksa mereka yang tak berqunut untuk berqunut”. Pun demikian keesokan harinya saat Buya Hamka mengimami shalat Shubuh, penulis Kitab Tafsir al-Azhar itu membacakan qunut dengan fashih dan panjang karena menghormati KH.Idham Khalid yang bermakmum di belakangnya. Ketika di tanya mengapa ia membaca qunut, beliau menjawab: “Saya tak ingin memaksa mereka yang berqunut, untuk tidak berqunut”. Jawaban dari kedua tokoh besar ini membuat jama’ah di atas kapal itu haru dan meneteskan airmata. Demikianlah sikap orang-orang besar hadapi perbedaan. Perbedaan semestinya menjadi rahmat, bukan menjadi masalah.

Dalam perkembangannya, meski sebagai warga NU, saya banyak berkenalan dengan teman-teman dari pergerakan Islam. Saya ikuti majelis Jamaah Tabligh dalam agenda khuruj-nya di masjid-masjid dan mushalla. Mendengarkan dengan seksama pembacaan kitab Fadhailul amal (Fadhilah Amal) Karya Maulana Zakariyya al-Kandahlawy, sambil pundak saya dipijit sebelum makan siang bersama mereka. Saya akrab dengan teman di Muhammadiyah, menginap di rumah teman yang berpaham Salafy, mengikuti pengajian Hizbut Tahrir, ikut gerakan Tarbiyah (Ikhwan), akrab dengan teman di Majelis Rasulullah, menjadi jamaah dalam dzikir bulanan ustadz Arifin Ilham, karib dengan teman di Front Pembela Islam (FPI), mengikuti pengajian habib Luthfie bin Yahya, diskusi dengan aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL), ngobrol-ngobrol dengan rekan keturunan Bahrain yang menganut Syiah, dan seterusnya. Dari pergaulan itu, di tengah kedhaifan dan kefaqiran ilmu ini, saya sedikit memahami bagaimana peta kelompok-kelompok Islam di Indonesia.

Akhir tahun lalu, saya merasa beruntung bisa hadir sebagai pendengar dalam forum cendekiawan yang membahas radikalisme agama dan pemetaannya di Indonesia. Dalam forum diskusi terbatas itu, hadir cendekiawan Azyumardi Azra, Buya Syafii Maarif, Alwi Shihab, Hassan Wirajudha, Emil Salim, Paul Marshall, Jacob Tobing, dan sejumlah cendekiawan lintas agama lainnya. Dari diskusi itu saya memahami bagaimana beliau-beliau memetakan kelompok-kelompok radikal di Indonesia, mencerahkan. Bahwasanya semua memiliki kecintaan terhadap NKRI, Negara yang –semestinya—gemah ripah loh djinawi, tata tengtrem kerto rahardjo ini. Kita semua, cinta Indonesia, kita ingin negara ini aman, damai, makmur, sejahtera, dan seribu keutamaan lain yang barangkali tak mesti sama dengan utopianisme al-Farabi dalam Madinatul Fadhilah-nya.

Hanya saja, para cendekiawan itu memetakan gerakan-gerakan Islam dari kejauhan. Akibatnya, karena melihat “dari satelit”, differensiasi antar gerakan Islam kemudian menjadi bias. Batas-batas antar gerakan jadi tak nampak karena mereka melihatnya dari kejauhan. Bagaimana misalnya, terma wahabi kerap digebyah uyah untuk semua gerakan Islam trans-nasional, sekalipun antar mereka sebetulnya acap saling tahzir.

Lakukan pemetaan secara benar

Kesalahan akademik yang kerap terjadi dalam memetakan gerakan-gerakan Islam di Indonesia adalah keliru memakai kacamata dalam lakukan pendekatan. Dari sejumlah buku yang membedah tentang gerakan-gerakan Islam trans-nasional di Indonesia, misalnya, saya melihat beberapa kekeliruan. Pertama, Gerakan Islam dijadikan sebagai objek penelitian tetapi si peneliti cenderung jatuh pada distoris kognitif dimana ia sudah memliki pandangan awal terlebih dahulu terhadap objek yang akan ditelitinya. Hal ini kemudian memengaruhi penilaian-penilalian dia berikutnya. Distorsi kognitif ini utamanya mengandung stereotype negative sejak mula, sehingga konklusi yang dihasilkan menjadi bias karena semangat penelitian diawali dengan nafas curiga.

Kedua¸ sebagaimana saya katakan di muka, tak jarang si peneliti menuliskan analisisnya dengan memandang gerakan Islam dari kejauhan. Hal ini menyebabkan batas antara gerakan-gerakan islam menjadi bias. Contoh paling naif adalah bagaimana pada 2012 silam, lembaga negara sempat memasukan gerakan HASMI (Harakah Sunniyah untuk Masyakat Islami) sebagai oranisasi teroris. Padahal, Hasmi, dikenal sebagai kelompok moderat di kalangan aktivis Muslim. Buku-buku yang dikaji HASMI juga direkomendasikan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dengarkanlah radio Fajri FM milik Hasmi, anda tak akan menemukan satu pun pemikiran radilkal dari kelompok itu. Yang paling keras dari kajian Fiqh Hasmi di Fajri FM hanyalah mengatakan wanita hendaknya mengenakan cadar, tentu saja bukan karena ini mereka dianggap radikal. Setelah dilakukan klarifikasi menyusul derasnya pertanyaan, Negara kemudian mengatakan itu adalah Hasmi yang berbeda. HASMI yang dimasukan dalam gerakan teroris adalah “Harakah Sunniyah untuk Masyarakat Indonesia”. Serta merta beirta itu kemudian senyap dan hilang dari media massa.

Nampaknya BNPT dan Kepolisian perlu memahami gerakan-gerakan Islam dari dalam, agar paham bagaimana cara mereka berparadigma, jadikan mereka sebagai subjek agar dapat dipahami, bukan hanya sebagai objek peneilitian yang dilihat dari kejauhan. Ini yang nampaknya khilaf dilakukan oleh BNPT dan Densus 88.

Situs Dakwatuna, Korban Gebyah Uyah

Contoh berikutnya adalah dimasukannya dakwatuna sebagai situs yang menyebarkan faham radikalisme, sehingga dengan alasan itu BNPT meminta Kemenkominfo menutup situs tersebut (bukan sekadar memblokir). Ini jelas kelirunya. Tunjukkan pada saya satu link saja dari situs dakwatuna, mana yang mengindikasikan bahwa situs Islam paling popular itu menebarkan paham radikal, jika Anda tak temukan, segeralah minta maaf, rehabilitasi namanya, dan beri ganti rugi karena penayangan iklan di situs tersebut terganggu akibat pemblokiran.

Akhirnya pertanyaan kita jadi terfokus pada satu hal, “Apa sebetulnya makna radikal yang dipahami oleh BNPT?” Pertanyaan ini kemudian dijawab oleh juru bicara BNPT Irfan Idris dalam konferensi Pers di Gedung Kemenkominfo, Selasa (31/03) kemarin. Dalam konferensi persnya, Professor di UIN Alauddin Makassar itu mengatakan bahwa kriteria radikal menurut BNPT adalah “Pertama, ingin melakukan perubahan dengan cepat menggunakan kekerasan dengan mengatasnamakan agama, Kedua, mengkafirkan orang lain (takfiri). Ketiga, mendukung, menyebarkan, dan mengajak bergabung dengan ISIS. Terakhir, memaknai jihad secara terbatas. (sumber: Republika.co.id),

Pertanyaan berikutnya adalah, apakah dakwatuna memenuhi satu saja dari empat kriteria tersebut?

Apakah dakwatuna menginginkan perubahan secara cepat dengan menggunakan kekerasan? Atau apakah ia mengkafirkan kelompok yang berbeda dengannya? Atau mendukung ISIS? Atau memaknai jihad secara terbatas? 

Sejauh yang saya tahu, tidak ada satu pun dari empat kriteria itu yang sesuai dengan model pemberitaan di dakwatuna. Bukan sebab saya merupakan salah satu kontributor di media islam tersebut, jika dakwatuna benar-benar radikal dan ekstrem, saya setuju situs tersebut ditutup. Bagaimanapun terorisme harus kita perangi, tetapi serampangan menutup situs-situs berbau agama “hanya karena ketakutan berlebihan terhadap ideology kererasan”, adalah kesalahan.

Jangan sampai misalnya, penutupan dakwatuna disebabkan hanya karena situs tersebut sering mengkritik pemerintah sebagaimana disampaikan Irfan Idris dalam konferensi persnya. “Judulnya memang tolak ISIS, tapi belakangnya demokrasi buruk. Jokowi bla bla bla. Ini kan sama saja mendiskriminasi,” demikian Irfan sebagaimana dimuat di laman Republika.co.id kemarin. Jika hanya karena anti terhadap jokowi, apakah ia memenuhi kriteria radikalisme ? jika tidak, maka ini kekeliruan, BNPT telah melampaui kewenangannya dengan masuk ke ranah politik.

Lagi pula, kemerdekaan pers dilindungi oleh Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, jika pun dakwatuna misalnya, tidak memenuhi kriteria untuk disebut sebagai ‘pers’, kemerdekaan menyuarakan pendapat sesungguhnya dilindungi oleh Undang-Undang Dasar. Mengutip pandangan Mantan Ketua MK, Prof.Jimly Ash-Shiiddiqie Perubahan Kedua UUD 1945 pada tahun 2000, memberikan jaminan konstitusional secara tegas untuk mengemukakan pendapat sebagaimana dimuat dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Dengan demikian UUD 1945 secara langsung dan tegas memberikan jaminan kebebasan untuk berserikat atau berorganisasi (freedom of association), kebebasan berkumpul (freedom of assembly), dan kebebasan menyatakan pendapat (freedom of expression), tidak hanya bagi setiap warga negara Indonesia, tetapi juga bagi setiap orang yang artinya termasuk juga orang asing yang berada di Indonesia. (www.jimlyschool.com).

Jika penutupan situs dakwatuna hanya karena anti terhadap Jokowi, maka selamat, kita telah kembali ke zaman orde baru dimana masyarakat yang mengkritik pemerintah akan dibredel penguasa.

Sebagai lembaga Negara, permintaan penutupan situs sebagai media informasi yang dilindungi UU bahkan UUD mestilah mengacu kepada landasan legal formal. Pertanyaannya adalah, “landasan legal formal mana yang dilanggar oleh dakwatuna?”

Jika, permintaan BNPT kepada Kominfo untuk menutup situs-situs itu adalah berdasarkan kepada UU Nomor 9 Tahun 2013 tentang “Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme”, atau Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang “Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Menjadi Undang-Undang”, Pasal mana yang dilanggar oleh dakwatuna? Bukankah dakwatuna patut tahu alasan pemblokirannya?

Atau, jika alasan penutupan itu mengacu kepada Undang-Undang nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, mari bertanya pasal mana yang dilanggar oleh dakwatuna? Apakah pasal 28 ayat (1) dan (2)? Jika iya, kita patut bertanya berita mana di laman dakwatuna yang menyebarkan berita bohong, menyesatkan, atau merugikan konsumen (pasal 1)? Atau bagian mana dari laman dakwatuna yang menimbulkan kebencian dan permusuhan individu atau kelompok tertentu berdasarkan SARA (pasal 2)?

Jika tidak ada satu pun pemberitaan di laman dakwatuna yang memenuhi kriteria pada pasal tersebut, maka situs dakwatuna bisa memidanakan BNPT dan Kemenkominfo ke pengadilan jika benar permintaan penutupan itu mengacu pada pasal 28 UU ITE.

Pemetaan Kelompok Islam di Indonesia
Radikalisme dalam beragama, bisa kita bagi ke dalam dua aspek. Radikal dalam pemikiran, dan radikal dalam aksi. Tidak semua gerakan Islam yang radikal secara pemikiran otomatis radikal pula secara aksi. Hizbut Tahrir misalnya, ia radikal secara pemikiran, anti Pancasila dan NKRI. Pemerintah disebutnya sebagai thaghut dan sistem demokrasi kita dianggap sebagai sampah dan kubangan lumpur, tetapi secara aksi, doktrin Hizbut Tahrir sama sekali menghindari kekerasan. Adapula, gerakan yang mendukung Pancasila dan NKRI tapi mudah melakukan kekerasan ketika melawan kemaksiatan, ideologinya mendukung NKRI dan Pancasila, tetapi dalam aksi-aksinya kerap melakukan kekerasan atas nama agama. Gabungan dari keduanya, ada gerakan yang menentang NKRI sekaligus melakukan kekerasan, kelompok JI di Indonesia adalah salah satunya. Sebaliknya, ada gerakan Islam yang mendukung NKRI plus anti kekerasan.

Fragmentasi gerakan-gerakan Islam ini perlu dipahami oleh Negara sehingga Negara tidak gebyah uyah dalam mengambil keputusan. Negara harus paham mengapa misalnya, Muhammad al-Khaththath, salah satu pendiri Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dikeluarkan dari Organisasi HTI ‘alamy kemudian mendirikan Hizbud Dakwah Indonesia. Negara harus memahami mengapa Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) berpisah dari Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), mengapa lahir Lembaga Dakwah Kemuliaan Islam (LDKI) yang basis massanya beririsan dengan aktivis Gerakan Tarbiyah, mengapa sesama gerakan Salafy (Middle East oriented) saling men-tahzir satu dengan yang lain, dan seterusnya.

Epilog
Yang perlu dipahami adalah, Negara tidak boleh memandang rakyatnya sendiri sebagai musuh. Bagaimanapun “kelompok yang keras-keras itu adalah bagian tak terpisahkan sebagai warga Negara , sebagai bagian dari civil society, sebagai bagian dari keanekaragaman masyarakat kita. Bukankah kita sering mengatakan alangkah indahnya menerima perbedaan secara bijak? Mengapa kalangan yang acapkali mengampanyekan “mari rayakan perbedaan” kerap tak bijak menerima kelompok yang berbeda dengan mereka?

Dua minggu silam, saat menjadi salahsatu narasumber dalam dialog dengan pemimpin-pemimpin mahasiswa di Malaysia, saya terharu ketika salahsatu penanya mengatakan, “Kami cemburu dengan Indonesia. Anda di sana dapat berbicara jauh lebih bebas daripada kami di Malaysia, di sini kami tak memiliki kebebasan dalam menyuarakan pendapat”.

Benar. Kelebihan Indonesia adalah demokrasi. Bersama Tukri, kita adalah Negara yang secara sejuk berhasil menjadi representasi Negara Muslim yang menerapkan demokrasi secara fair dan konstitusional. Lalu apakah kita akan mundur ke belakang dengan melakukan penutupan media-media tanpa memilahnya secara tepat?
Salam
Sigit Kamseno
Twitter: @mistersigit

0 komentar:

Posting Komentar