Kamis, 30 Januari 2014

Kalau Anak Rohis Jatuh Cinta

13794945491363196803

Bani Sabili mematut dirinya di depan cermin. Dipandanginya dengan bangga wajah oval bebas jerawat miliknya. Lintangan alis tebal yang memanjang, meluncur diatas sorot mata elangnya yang tajam. Bibir merah muda yg proporsional, dihiasi belahan dagu dibawahnya, membuat Bani semakin percaya diri. Dipandanginya lagi tubuh 175cm itu dari ujung rambut sampe ujung kaki. Badan yang tegap berotot hasil fitness rutin sepekan sekali. Kulit coklat sawo matang yang mengesankan. Macho, man!

Ia pandangi dirinya sekali lagi, sesekali tersenyum sendiri. Cermin ini tak mungkin berbohong. Apa yang kurang dariku? Aku tampan! Harta lebih dari cukup. Ayahku yang pejabat di BUMN itu bahkan memberi Honda Jazz untuk berangkat sekolahku. Prestasi? Dalam bidang akademik aku selalu lima besar di kelas. Setidaknya itu menunjukkan kalau aku cukup cerdas. Bahkan aku ikut dua kursus bahasa sekaligus: english at 0’3s English Course, dan al-lughah al’arabiyyah fii ma’had al-Salaam. Utk non akademik, aku mewakili sekolah sebagai Paskibra tingkat kabupaten. Apalagi? Religi? Aku aktivis rohis di sekolah. Intensitas kehadiranku pada mentoring pekanan cukup membanggakan. Aku jarang absen pada kakak mentorku. Dalam berpakaian pun aku selalu rapi, terkesan necis malah. Bajuku selalu yang paling putih di kelas. Harga tasku saja tak kurang dari Rp.400ribu. ck..ck..ck..apalagi ya? Betul2 perfect! Kalau pengen punya pacar, mana mungkin ada cewek yang berani menjauh dariku.. Allahumma kamaa ahsanTa khalqi fahassin khuluqi..


Bani melompat ke atas springbed spidermannya.. cihuiii..bahagia sekali! Perlahan ia membaca puisi singkat yang ditulis dalam tabletnya tadi siang:


Ketika Sketsa senyummu mengepak sayap anganku,
Tuk terbang melayang ke samudera biru,
Melepas,
Berjuta rindu…
Kasih, adakah kau rasa sebagaimana aku merasa?

(masjid Riyadhus Shalihin, 13 April 2013, setelah senyuman seorang ukhti dalam syuro setengah hati)


Bani yang lagi ke Ge-eRan dengan dirinya itu tersenyum sendiri. Didekapnya puisi cinta itu dalam dadanya. Dinding kamar yang bercat warna warni membawa angannya melayang. Membuka memori indah sewaktu melihat senyum Nisa dalam syuro seminar tadi Siang..
ahh..senyummu itu…

—-

Cerita Hisyam, waktu yang sama.


Sore ini lagi-lagi aku harus jaga warung. Sebel! Masa’ baru pulang sekolah langsung disuruh kerja. Emank aku ga punya kerjaan lain apa? Kapan mau ngerjain PR? Trus gimana mau dapet rangking? Kan malu, seluruh kru mentoring an-Naml adalah juara di kelasnya masing2. Aku? Fisika, Kimia, Bahasa Inggris, harus ikut remedial karena semuanya di bawah enam. Jangan tanya Matematika. Nasibnya tak lebih baik. Soal-soalTrigonometri dengan guru super killer itu betul-betul mengernyitkan keningku. Huh!


Jangan harap belaian angin nan lembut di kompleks ini membuat gusar hatiku sirna begitu saja. Bagiku, ia bahkan lebih terasa menampar kedua pipiku ini. Uh!!

“assalamu’alaikum…”
“eh..ukhti Nisa. ‘alaikumussalam. Mau beli apa?”
“cabe keritingnya masih ada, akh?”
“eh..ada.. berapa?”
“dua ribu aja.”


Duh, heran, kenapa ya setiap melihat Nisa dadaku berdegup tak beraturan? Dia memang cantik. Pintar. Mantan ketua keputrian Rohis. Dan, dia tetanggaku. Tempat tinggalnya hanya berselang beberapa rumah dari warungku yang super sumpek ini. Nisa putri imam masjid As-Salam. Masjid terbesar di kotaku. Melihat jalannya yang tenang, pandangannya yg tunduk, jilbabnya yg lebar. Subhanallah. Tampak anggun di kejauhan dan kain menarik apabila mendekat. Senyumnya? Ah, inikah yang namanya cinta…?

“udah belum, akh? Cabenya?”
“eh..iya. ini dua ribu, kan?”
“iya, syukron ya , akh. Assalamu’alaikum..”
“alaikumussalam..” astaghfirullah, aku beristighfar.


Badanku terasa lemas. Gimana nih. Bingung. Ya Allah, inikah rasanya menjadi remaja? Ku ambil secarik kertas dari buku tulis lusuh yang biasa dipakai ibu untuk mencatat utang-utang tetangga. Biar terlepas semua gelisah, biar terhempas segala resah..


Bulan,
senyumu setia,
Mengantar rerimbunan daun…
Ribuan tahun.

Cinta,
kasihmu juga setia
Mengantar kelana jiwa,
Seluas masa.
Nisa, adakah kau rembulan untukku,
Kala senyummu dalam isakku?


(Warungku yang sumpek, 13 April 2013)



Cerita Bani, menjelang liqo


Semenjak syuro untuk seminar rohis di Masjid Riyadhus Shalihin pekan lalu, rasanya kau makin betah berlama2 di masjid. Nyaman sekali. Apalagi seperti siang ini, kru anNaml sudah berkumpul. Sambil nunggu kak Izzat, seperti biasanya kru anNaml Society berdiskusi tentang banyak hal. Oops! Bukan diskusi dink! Tepatnya bercanda, seperti biasa. Alangkah indahnya ukhuwah ini. Gerimis rintik2 menemani penantian anNaml. Terkadang tiupan angin mengajak gemericik air untuk bermain di serambi masjid. Membasahi sebagiannya dengan siraman mesra.


Tiba2 dari balik ruang teori satu, Nisa melintas mengantar adik kelasnya. Tampaknya dia sedang membawa proposal untuk seminar bulan depan. Duh Nisa, sudah kelas tiga dan menjelang ujian gini masih sempet-sempetnya ngebimbing rohis untuk seminar. Subhanallah, sepertinya seluruh kru anNaml cuek aja nih Nisa lewat. Cuma Hisyam yang terlihat mencuri-curi pandang. Menyebalkan! Masa’ anak rohis nggak ghadhul bashar. Kutatap Hisyam dengan tajam. Tak kusangka ia membalas tatapanku.
Awas, kalau macam2 dengan Nisa! Batinku.


Eh, tuh kak Izzat sudah datang basah2 kena gerimis.

Cerita Hisyam, saat yang sama


Masjid Riyadhus Shalihin selalu nyaman bagiku. Seberapa menyengat pun panas membara, atau sedingin apa pun hujan yang menyandera di luar sana. Bagiku, serambi masjid ini selalu menjadi tempat terindah. Mungkin karena banyaknya nuansa iman disini. Apalagi banyak remaja-remaja sholeh kayak anNaml . Seperti siang ini, anNaml sedang menunggu kak Izzat pulang dari kampusnya utk mengisi halaqah rutin. Hembusan angin disertai gerimis rintik-rintik membawa canda kami semakin akrab. Tebak2an, diskusi kecil. Latihan nasyid.Ah, indahnya ukhuwah ini.

Tiba-tiba dibalik ruang teori satu, terlihat Nisa sedang mengantar adik kelasnya. Ia sedang membawa proposal. Kayaknya sih utk seminar libur panjang bulan depan. Seluruh kru anNaml cuek saja Nisa melintas. Kecuali Bani. Ia sesekali melihat Nisa. Heran deh anak itu! Masa’ anak rohis melihat2-lihat akhwat. Ghadhul bashar dong!! Anehnya lagi, Bani menatapku dengan sorot mata elangnya. Emank aku takut. Aku balas tatapan itu dengan sorot mata ku yg lebih angker dan menyeramkan! Awas loe kalo macem2 ke Nisa! Batinku.

Hari yang sama, saat halaqah
Cerita Tama.

Gerimis rintik2 yg membasahi sekolah kami perlahan mulai reda. Ia menyisakan udara dingin yang semakin dingin karena terkadang tertiup angin. Halaqah anNaml hari ini digelar di serambi masjid. Meski kalau boleh memilih, liqo di dalam masjid tentu lebih nyaman, Hangat. Makanya sebelum liqo, kak Izzat meminta anNaml bernasyid dulu utk menghangatkan suasana. Kak Izzat paling suka suasana begini, membuka liqo sambil mendengar binaannya membawakan Nanda-nya Gradasi yg dibawakan an-Naml, Kak Izzat suka gaya mereka membawakan nasyid dengan kelewat PeDe.

Tampaknya hari ini masjid masih ramai. Beberapa aktivis rohis akhwat kelas dua, sedang syuro di dalam masjid. mereka ditemani akhwat kelas tiga, Nisa dan Nida. Kadang terdengar canda mereka, ramai sekali. Sesekali anNaml terganggu juga dengan tawa mereka. Terlebih kak Izzat yang tidak menyukai kebisingan. Sampai2 merasa perlu untuk menegur meraka. Kak Izzat meminta mereka untuk mencari tempat lain utk syuro, meski sebelumnya Bani sempat ngasih usul,

“kak Izzat, biarin aja mereka tetep syuro disini. Nggak terlalu mengganggu, khan?”
“iya, lagipula masjid ini kan bukan punya kita, akh.”Hisyam menambahkan.


Tumben-tumbenan nih dua orang bocah ngasih usulan. Roman-romannya seperti sedang membela sesorang di dalam masjid. Jangan2 ada yg bikin betah di dalam masjid..astaghfirullah.. ane nggak boleh bersu’uzhan. Tapi, anehnya semenjak kak Izzat tiba, sepertinya Bani dan Hisyam saling diem-dieman layaknya sedang ”perang dingin”. Ada apa ya dengan mereka? Ahh.. sudahlah.

Hembusan angin kembali bertiup pelan, membawa udara sejuk yg membelai kami dengan cinta. Halaqah berjalan dengan nyaman. Kami tilawah bergantian, beberapa personil anNaml mengikuti tilawah sudaranya dengan membaca terjemahannya pelan-pelan, kadang tak terasa airmata menetes meresapi kandungan ayat-ayat-Nya yg begitu syahdu..malaikat rahmat selalu memeluk kami sepanjang dakwah yg kami jalani..

damai..

Lambaian daun pohon mangga yg berjatuhan karena tertiup angin sepoi-sepoi di halaman masjid menambah tenang dakwah ini. Aku, Refi, Bayu, Arvi, Darut, Arman, dan Patrick asik berdiskusi dengan kak Izzat. Hanya Bani dan Hisyam yg seolah tampak saling bermusuhan. Perang dingin kale. Aku tak mau ambil pusing. Paling-paling hanya karena masalah kecil yang wajar. Sebuah dinamika persahabatan.

Usai halaqah, kak Izzat membisikkan padaku tentang agendanya yang betul-betul di luar dugaan.
“ana jadi ketua pelaksana? Insya Allah akan ana usahakan sebaik mungkin, kak Izzat.”

Kamar Hisyam, malam hari dari hari yg sama. 21.04 BBWI
Aku tak mengerti ada apa dgn kondisi hatiku ini.
Sejujurnya aku tidak ingin kehilangan sahabat karibku, Bani, hanya karena seorang akhwat yg belum tentu menjadi jodohku.


Aku merenung. namun bayangan wajah Nisa selalu saja melintas dalam pandangan imajinerku. Membawaku menerawang, andai ia bidadari untukku. Indahnya pacaran setelah pernikahan. Terbayang olehku, aku yg sedang berbaju koko, dengan jenggot tipisku ini, memegang tangan Nisa yg berjilbab rapi. Pasangan dakwah yg ideal. Pergi ke tatsqif rutin, atau ke toko buku, ke museum. Duh, indahya.. atau jika sepulang kerja, senyum manis Nisa menyambutku di pintu rumah mungil kami yg asri.

Sementara dua anak kecil, yg satu berbaju koko baru pulang mengaji, dan adik gembrotnya yg berjilbab mungil berlari menuju pelukanku. Anakku, generasi Rabbani. penerus perjuangan suci.. Hilang sudah semua lelah setelah seharian bekerja…

Kok jadi serius begini? Aku kan belum kerja! Lulusan sekolah masih satu setengah bulan lagi. Andai selepas sekolah ini aku langsung diterima kerja menjadi karyawan tetap. Ingin rasanya cepat2 kulamar dia. Uuh..pusing, apakah aku harus…mencoba bertahan sekuat hati.. layaknya karang yg dihempas sang ombak. Jalani hidup dalam buai belaka, serahkan cinta tulus di dalam takdir.
Tak ayal tingkah lakumu, buatku putus asa. Kadang akal sehat ini, tak cukup membendungnya….



Kamar Bani, malam yg sama. 21.04
Duh gimana nih. Inikah rasanya jatuh cinta? Inilah akibat tak pandai ghadhul bashar. Senyum Nisa dalam curi pandangku selalu terbersit dalam angan ini. Aku ingin serius. Andai sewaktu kuliah nanti aku diizinkan menikah oleh ayah, ingin rasanya cepat2 kulamar dia. Supaya nggak keduluan Hisyam.


Ah..malam ini sunyi sekali. Malam kehadiran cinta, sambut jiwa baru. Telah lama kutunggu hadirmu disini…namun hanya ruang semu, yang nampak padaku…meski sulit harus kudapatkan…
Ah, Hisyam. Maafya peristiwa pas liqo tadi…

Malam itu, Bani dan Hisyam masih bingung dgn gejolak hatinya. Masing-masing merasa sulit memejamkan mata untuk lelap. Terkadang Hisyam membuka tirai jendela kamarnya, memandang purnama yg tersenyum meledeknya. Atau Bani, yg sibuk mengotak-atik tabletnya, membaca ulang semua puisi cinta miliknya. Tempat tumpahan gejolak rasa. Ekspresi gelisah hatinya.
Malam itu Bani dan Hisyam tahajjud. Pasrah pada Sang Pemberi Cinta. Bersimpuh mereka. Keduanya berdoa agar tak pudar iman di dada. Agar tak hambar ukhuwah terasa. Masing-masing mendoakan saudaranya agar tetap dalam iman. Agar istiqamah dalam dakwah. Sampai tutup usia. Jangan sampai fitnah wanita menghancurkan bangunan dakwahy g selama ini indah terasa… doa mereka, lirih..
namun tetap saja gundah..

Ketika kedua aktivis dakwah itu sedang larut dalam munajat malamnya, tiba-tiba keduanya mendapat pesan singkat dari Tama,

Aww. “senyummu bg swdrmu adlh sedekah” akhi, KBR GEMBIRA!! 2x.. jam 13.30 syuro prdana aNaml sbg panitia prnikahn kak Izzat dgn Anisa Ratna Salsabilla yg tinggal 2bulan lagi. Dtunggu di basecamp on time. Sykrn jzklh. www.

Membaca pesan itu keduanya tersenyum, tenang. Kemudian tertidur lagi, hingga menjelang Subuh.
tenang dan lelap sekali…
Pagi-paginya!!
“Apa?!! Nisa Nikah sama Kak Izzat??!”

0 komentar:

Posting Komentar