Kamis, 21 Agustus 2014

Musik Islami, Masihkah Relevan?




DESEMBER  2013 silam, Kementerin Agama menggelar Festival Qasidah di Balikpapan, Festival musik islami itu diharapkan dapat menumbuhkan kembali semangat kesenian Islam, khususnya musik Islami sebagai bagian tak terpisahkan dari dakwah Islam di Nusantara.

Menjadi sebuah pertanyaan menarik, seberapa relevankah genre musik beraliran islami ini di tengah cengkeraman budaya pop? Tanpa mengurangi rasa hormat kepada pegiat musik Islami, pada sebagian masyarakat kita, musik beraliran qasidah tidak jarang dianggap sebagai aliran musik yang ketinggalan zaman. Itu sebabnya event musik yang dilakukan oleh generasi muda, sangat jarang—untuk tidak mengatakan tidak ada— kita dapati penampilan musik qasidah. Aliran musik ini tenggelam di tengah ingar bingar musik pop Indonesia. Bahkan, di kalangan ‘anak-anak muda santri’ pun, qasidah sudah tertinggal oleh model musik semacam marawis yang lebih rancak dan dinamis.


Seni Islam, antara Originalitas dan Modernitas

Dalam sejarah Islam, diskursus mengenai musik telah menjadi perdebatan panjang, khususnya di kalangan fuqaha. Sementara di kalangan filosof dan sufi, musik justru menjadi salah satu media penting untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Para filosof yang mengembangkan musik sebagai bagian dari sains adalah Al-Farabi, yang sangat dikenal sebagai musikus muslim dengan karya monumentalnya berjudul Al-Musiq al-Kubra. Demikian juga Al-Kindi, Suhwawardi, dan masih banyak lagi. Bagi mereka di dalam musik terdapat penafsiran tentang dua aspek inheren dalam Wujud Tertinggi, yaitu Tuhan. Pertama adalah aspek keagungan (al-jalal) yang diterjemahkan ke dalam irama (rhythm), dan yang kedua adalah aspek keindahan (al-jamal) yang diterjemahkan ke dalam melodi (melody).

Jika Musik dimasukan dalam kategori urusan dunia, Islam sendiri sejatinya adalah agama yang bersikap positif terhadap dunia. Islam bukan agama eskepisme yang menolak segala hal yang berbau duniawi demi mementingkan kehidupan akhirat semata. Agama Islam memandang dunia sebagai anugerah Allah kepada manusia (QS Al-Baqarah:29), dunia bukan suatu yang buruk yang terbuang dari rahmat Allah. Dalam menghadapi dunia, ahli fiqih merumuskan kaidah populer “Pada dasarnya segala sesuatu itu adalah boleh sampai terdapat dalil yang melarangnya”.

Nyanyian dalam perspektif Islam termasuk dalam kategori urusan dunia dan terhadapnya berlaku kaidah diatas. Itulah mengapa Yusuf al-Qaradhawy dalam Fatwa-Fatwa Kontemporer-nya membolehkankan nyanyian. Menurutnya: “saya cenderung untuk berpendapat bahwa nyanyian adalah halal, karena asal segala sesuatu adalah halal selama tidak ada nash shahih yang mengharamkannya. Kalaupun ada dalil-dalil yang mengharamkan nyanyian, adakalanya dalil itu sharih (jelas) tetapi tidak shahih, atau shahih tetapi tidak sharih.”

Yusuf al-Qaradhawy tidak menolak bahwa secara natural manusia merupakan makhluk estetis yang menyukai seni. Pemenuhan terhadap rasa keindahan itu merupakan kebutuhan yang tidak dapat diingkari jika kita mengakui eksistensi manusia sebagai makhluk estetis.

Sejalan dengan semangat itu pula, seni islami kemudian membatasi dirinya sebagai sebuah identitas. Musik islami adalah sebuah jati diri yang khas dan berbeda dengan aliran musik yang lain. Identitas itu terutama terletak pada perspektifnya yang membimbing manusia ke arah konsep tauhid dan pengabadian diri kepada Allah. Seni dibentuk untuk melahirkan manusia yang beradab. Selain itu, seni juga dipandang sebagai satu proses pendidikan yang bersifat positif dan tidak lari daripada batas-batas syariat.

Itulah sebabnya dengan alasan serupa, sekalipun membolehkan nyanyian, Yusuf al-Qaradhawy memberikan tiga syarat yang ketat mengenai musik, yaitu: (1) Tema atau isi nyanyian harus sesuai dengan ajaran dan adab Islam; Kemudian (2) mempertimbangkan Penampilan penyanyi; dan (3), tidak berlebih-lebihan atau melampaui batas.

Kesenian semacam itu pula yang menjadi pattern dalam pengembangan dakwah Islam di Nusantara, terutama oleh Walisongo pada abad ke-15 Masehi, sebagaimana digambarkan oleh Amin Fattah (1994) dan Hariwijaya (2003) serta para penulis lain yang mengeksplorasi metode dakwah Walisongo melalui jalur kesenian islami. Sebuah metode dakwah yang mengakomodasi kebutuhan estetika manusia, namun tetap dalam koridor yang sesuai dengan etika dan logika Islam.

Dari situlah mengapa kemudian, sebagaimana ditunjukkan para peneliti, hampir semua wilayah geografis di sekitar pelabuhan besar pulau Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Jawa dan Madura, memperlihatkan ekspresi religius maupun karakter sosial-politik yang searah dengan budaya dan estetika Islam.

Namun demikian, seiring dengan transformasi sosio-kultural masyarakat Indonesia yang kian modern, kemapanan seni budaya Islam yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari sumber nilai dan normatika sosial masyarakat muslim Nusantara itu, masih kurang kekuatannya untuk bisa sekadar memikat ketertarikan para peminat musik.

Tentu saja harus ada sebuah penelitian lebih lanjut apakah benar dan mengapa aliran musik islami kalah peminat dibandingkan dengan musik-musik konvensional. Apakah disebabkan karena pegiat Musik Islami masih terkekang oleh paradigma bahwa genre musik tersebut hanya boleh tampil dalam acara-acara keagamaan, atau karena minimnya produser yang berminat untuk secara khusus memproduksi musik beraliran Islami.

 Perkembangan

Dilihat dari segi historis maupun ragam aliran, musik islami di Indonesia sebetulnya lebih maju dibanding negara lain. Sejak tahun 1970, grup legendaris Bimbo sudah memenuhi radio-radio di Nusantara. Ragam Musik islami dari ‘jalur’ berbeda kemudian menjamur dengan lahirnya grup-grup nasyid pada awal tahun 2000. Saat itu kita mengenal grup Nasyid Snada, The Fikr, atau Grup nasyid dari negeri jiran Raihan, sebagai alternatif musik yang cukup disukai di tengah derasnya aliran musik konvensional, bahkan dua stasiun televisi waktu itu sempat menggelar ajang pencarian bakat khusus untuk genre nasyid ini.

Namun rupanya booming ini hanya berjalan sementara saja, lima tahun kemudian gaung itu meredup, digantikan oleh genre pop Islami, dimana grup band konvensional ramai-ramai merilis lagu religi terutama menjelang Ramadhan sebagai alternatif hiburan. Lagi-lagi, gaung band religi pun hanya berjalan sementara. Opick adalah satu nama yang masih eksis hingga sekarang, bahkan bisa disebut satu-satunya.

Di tengah fluktuasi aliran musik islami itu, qasidah memang tetap bertahan. Aliran musik ini tidak fluktuatif, namun ironisnya, qasidah tetap bertahan di tangga terbawah. Kita tidak pernah mendengar ada lagu qasidah yang berhasil meraih album platinum, misalnya. Sementara itu aliran marawis akrab di tengah generasi muda, namun sangat segmented: kalangan santri.

Kita berharap, eksistensi musik Islami di blantika musik tanah air tidak redup. Sebagaimana ia telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam penyebaran dakwah Islam di Nusantara, musik Islami harus tetap lestari sebagai alternatif hiburan yang meneduhkan di tengah ingar bingar genre musik tanah air yang sangat dinamis. []

Dimuat juga di :

http://www.islampos.com/musik-islami-masihkah-relevan-129734/

0 komentar:

Posting Komentar