Selasa, 05 Agustus 2014

Berpikir Ulang tentang Jokowi

1403587700327027883

Prolog
Tadi malam, akun twitter saya di-mention oleh adik dari sahabat (sangat) karib. Mention itu terhubung ke sebuah cerita fiksi tentang santri yang mendapatkan pencerahan dari seorang kyai. Bahwa untuk hadapi pilpres 9 Juli nanti, tak perlu bawa-bawa agama. “Tuhan tak perlu dibela. Agama terlalu besar untuk sekadar urusan politik”, kurang lebih demikian kata kyai itu sambil memegang cerutu.


Saya tahu kemana arah narasi fiktif itu. Sebuah cerpen ideologis yg, tentu saja, tidak bebas nilai. Cerpennya sekular, penulis tersebut berhasrat untuk menceraikan sentimen agama dari konstelasi politik. Sebuah cara pandang yg, dalam konteks Indonesia, ahistoris. Dan tentu saja, cerpen ini banyak di-share oleh pemilih Jokowi-JK, karena semangat memilih berdasarkan alasan-alasan agama nampaknya memang lebih kental di kubu nomor satu, pendukung pasangan Prabowo-Hatta.


Nilai dari cerita fiktif tersebut berbeda dengan apa yang secara nyata saya alami. Beberapa waktu lalu, bersama sejumlah alumni pondok, saya sowan ke seorang kyai besar. Pimpinan pondok pesantren sekaligus pengurus di PBNU (saya selalu merasa senang menjadi bagian dari warga NU). Tanpa diduga, kyai tersebut justru memulai “percakapan ringan” dengan ngobrol-ngobrol seputar ingar bingar pilpres. Dalam obrolan tersebut, raut wajah beliau nampak kecewa kepada Jokowi yang meninggalkan orang-orang non Muslim sebagai penggantinya. Katakanlah Fransiskus Xaverius Hadi Rudyatmo, seorang Katholik yang kini memimpin Kota Solo selepas ditinggal Jokowi. Atau Ahok, yang akan menggantikan Jokowi sebagai Gubernur Jakarta jika Jokowi menang pilpres.


Saya sejujurnya tidak mau membawa isu agama di tulisan ini. Lagipula ini hanya tulisan ringan untuk menemani iseng macet Jakarta pagi hari. (Mas Joko, macet tambah parah saja nih. Selese-in dulu dunk :p). Saya khawatir tulisan ini dianggap berbau sara sekalipun tak ada motif untuk itu sama sekali. Saya hanya ingin sampaikan bahwa Sang Kyai yang saya temui, nampak kecewa dengan pasangan Jokowi-JK dengan alasan tadi.

Lagipula, seperti yang saya katakan di muka, dalam konteks historis-politik di Indonesia, menceraikan Islam dari politik adalah hal yang ahistoris, dan  bertentangan dengan dua hal: pertama, bertentangan dengan sejarah dan konsep Islam itu sendiri. Kedua, bertentangan dengan cita-cita para founding fathers negara kita.


Relasi Islam-Politik
Islam dan politik adalah pasangan yang sah. Tidak seperti yang secara pejoratif acap didengungkan oleh anak-anak Islam liberal bahwa kita harus menghentikan “perselingkuhan Islam dan politik”. Mereka lupa, bahwa Islam dan politik tak pernah selingkuh. Islam dan politik adalah pasangan yang sah. Sememangnya, setiap orang punya kosa kata yang akrab dengan keseharian mereka. :-)


Saya selalu tertarik dengan apa yang ditulis oleh Ian Adams dalam bukunya ‘Political Ideology Today’, (btw saya cuma baca terjemahannya yang diterbitkan oleh Penerbit Qalam :D). Ketika membahas hubungan Islam dengan politik, pemikir dari Durham Unversity, Inggris itu mengakui bahwa sejak kelahirannya, Islam adalah agama paling politis di dunia. Sejak masa awal, Muhammad adalah seorang Nabi sekaligus pemimpin negara. Sejak masa awal itu, bahkan hingga kini, Islam ditegakkan oleh kebijakan-kebijakan yang tak lepas dari faktor politik.


Dari situlah kemudian kita paham mengapa seorang “professor” besar penulis Ihya Ulumuddin, Hujjatul Islam Imam al-Ghazali mengatakan bahwa Islam dan Negara seumpama fondasi dan penjaganya. Sesuatu tanpa fondasi akan runtuh, dan fondasi tanpa penjaga kan hilang. Dari situ pula kita pahami mengapa terdapat segambreng ulama dari masa klasik hingga modern yang menulis tentang politik Islam. Mulai dari Ibn Abi Rabi’ dengan Suluk al-Malik fi Tadbir al-Mamalik-nya, al-Farabi dengan konsep Madinatul Fadhilah-nya, imam al-Mawardi dengan ‘masterpiece’-nya al-Ahkam al-Sulthaniyyah, al-Ghazali seperti saya sebutkan di awal, ibn Taimiyah yang menulis al-Siyasah al-Syar’iyyah, hingga Abul A’la al-Maududi dengan al-Khilafah wa al Mulk,  Sayyid Quthb dengan sejumlah tulisannya, terutama al-‘adalah al-Ijtima’iyyah fil Islam, dan paling modern Syaikh Yusuf al-Qaradhawy dengan Fiqh Daulah-nya, dan seterusnya.. dan seterusnya. Tentu saja, pemikiran-pemikiran mereka tidak lahir dari ruang hampa. Tapi lahir dari sebuah fakta menarik bahwa Islam sejatinya tidak bisa dilepaskan dari politik. (dalam hal ini menarik untuk dikomparasi dengan dengan gagasan filosof Romawi abad IV, St.Agustinus mengenai doktrin Civitas Dei versus Civitas Terrena.


Itulah mengapa saya katakan, menceraikan Islam dari politik bertentangan dengan konsep Islam itu sendiri, selain tentu saja sebuah hal yang ahistoris.


Dosen ilmu politik saya, Prof. Bachtiar Effendy, dalam tulisannya berjudul “Disartikulasi Pemikiran Politik Islam?” mengatakan, “(karena) Pemikiran politik Islam menjadikan Qur’an dan Sunnah sebagai rujukan,…juga sejarah Nabi Muhammad dan para sahabat dijadikan sebagai parameter dan inspirasi rumusan pemikiran politik Islam.. maka disitu ada klaim kebenaran (truth claim) yang dianggap berdimensi ilahiah, bahkan kadang-kadang berimplikasi teologis”


Islam, Politik, Indonesia
Kedua, selain ahistoris dari perspektif sejarah Islam tadi, memisahkan sudut pandang agama dari konstelasi politik Indonesia juga bertentangan dengan cita-cita para pendiri republik ini. Adalah Firdaus AN, dalam bukunya yang terkenal “Dosa-dosa Orde Baru yang Tidak Boleh Terulang”, menggambarkan konflik yang terjadi pada masa awal kemerdekaan Indonesia. Panitia Sembilan yang mewakili Islam, Nasionalis, dan Kristen yang merumuskan dasar negara sebetulnya sudah bersepakat untuk memasukan Piagam Jakarta sebagai bagian tak terpisahkan dari konstitusi. Kalimat ‘Ketuhanan YME dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-pemeluknya’ lahir sebagai sebuah kesepakatan yang menurut Dr.Soekiman merupakan a Gentlement Agreement, atau menurut Prof.Soepomo sebagai sebuah ‘Kesepakatan yang Luhur’. Sayangnya, hasil perundingan berbulan-bulan itu di-delete dalam waktu sekejap hanya untuk mengakomodir ancaman seseorang yang mengklaim sbg wakil dari Indonesia Timur, yang setelah dilakukan penelitian oleh University belakangan diketahui bernama Saul Samuel Jacob Samratulangi.


Meski demikian, sekalipun “tujuh kata sakral” itu di-delete, semangat untuk tetap mengagregasikan agama dengan politik tidak pudar. Kalimat Ketuhanan YME pada sila pertama Pancasila, atau rasa Syukur atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa pada Muqaddimah UUD ‘45  menjadi bukti dari sebentuk keyakinan, bahwa iman pada Tuhan tak bisa lepas dari semangat politik kenegaraan kita. Sebuah rasa syukur bahwa negara ini sejatinya berdiri di atas pundak para ulama. Nusantara terhampar di atas banjir darah para syuhada. Semoga rekan-rekan tidak lupa bahwa Takbir Bung Tomo yang menggelorakan semangat jihad melawan Belanda kemudian membuat arek-arek Surabaya tak kenal takut untuk membebaskan Nusantara. Takbir tersebut juga lahir dari fatwa Resolusi Jihad para ulama yang berkumpul di Surabaya pada 22 Oktober 1945 di bawah pimpinan Hadhratusyaikh Hasyim Asy’ari.. (Tiba2 saya ingin menangis…).


Artinya adalah, gagasan untuk menjauhkan agama dari politik keindonesiaan adalah hal yang ahistoris dalam sejarah negara kita. Indonesia tak mungkin menjadi negara sekular yang memisahkan sentimen agama dari ranah politik. Itulah mengapa saya tetap meyakini bahwa doktrin politik aliran yang ditetaskan Indonesianis “Abad Pertengahan Indonesia”, Clifford Geeetz akan tetap ada, ibarat cintanya Sammy Simorangkir, tak lekang oleh waktu.


Sekadar salah satu contoh paling riil, kita memahami mengapa kalangan umat Islam, khususnya kader-kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) misalnya, sangat intens berkampanye di dunia nyata dan maya dengan semangat agama. Dan tanpa kita sadari, dengan modal pendidikan yang relatif tinggi dan melek teknologi, hembusan “perang ideologi” yang ditebar “anak-anak muda hasil tarbiyahan” itu efektif merubah mindset publik lewat perang akbar di dunia maya. Sejauh pengamatan saya yang faqir ilmu namun ganteng ini B-) , “pasukan PKS” lah yang paling besar berperang sbg counter opinion bagi ideologi yang mereka sebut ‘Sepilis’ (Sekulerisme, Pluralisme, Liberalisme). Hal ini karena mereka memahami bahwa kampanye politik yang mereka lakukan adalah bagian dari dakwah. Bagi ‘anak-anak tarbiyahan’, politik adalah satu dari sayap-sayap Islam sebagaimana sayap lainnya semisal ekonomi, budaya, pertahanan, pendidikan, dll., sesuai dengan konsep ‘kesempurnaan Islam’ (syumuliyatul Islam) yang mereka imani.
***


Menimbang Jokowi Lewat PDIP 

(Nah, bicara kita sudah ngalor-ngidul. Saya intip jendela baru nyampe Jatinegara. Lanjut..)
Berkaitan dengan itulah, menjadikan pertimbangan agama sebagai parameter dalam menentukan pilihan politik, dalam hal ini Pilpres, adalah hal yang sangat relevan. Dan Jokowi terganjal oleh sentimen ini. Bagaimanapun kita mesti memahami bahwa mantan walikota solo itu merupakan bagian tak terpisahkan dari PDIP. Jokowi mau maju sebagai Capres hanya setelah direstui oleh Ketum PDIP, Megawati Soekarno Putri. Bahkan, yang tak boleh kita lupa adalah, Megawati berpesan sekalipun Jokowi terpilih kelak, pria kotak-kotak itu tetap merupakan kader PDIP.


Mudah untuk menafsirkan kalimat tersebut, bahwa yang dimaksud adalah sekalipun Jokowi terpilih sebagai Presiden, ia tetap kader yang mesti patuh kepada asas, visi misi, dan garis besar partai. Menjalankan visi misi dan rule partai. Padahal, PDIP sendiri merupakan  sebuah partai yang punya track record kurang harmonis terutama terhadap regulasi yang beririsan dengan kepentingan umat Islam. Ini yang perlu dikhawatirkan.


PDIP adalah partai yang menolak UU Pendidikan Nasional yang berisi agar Setiap murid di sekolah mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh guru yang seagama. Artinya, anak-anak Muslim yang bersekolah di sekolah-sekolah Kristen berhak untuk mendapatkan guru agama Islam yang beragama Islam. Tidak diajarkan kebaktian. Mengapa PDIP menolaknya? PDIP juga Juga menolak UU Perbankan Syariah, UU Jaminan Produk Halal, UU anti Pornografi, dan tentu saja yang terbaru, PDIP merupakan satu-satunya fraksi di DPRD yang menolak penutupan lokasi maksiat Dolly di Surabaya. PDIP pula yang memerintahkan kadernya untuk menginteli para khatib di masjid-masjid.


Sejumlah track record tersebut kemudian melahirkan persepsi bahwa PDIP sebetulnya merupakan partai yang memang anti Islam, dan sama sekali tak akan mendukung aspirasi umat Islam. Dalam kacamata sosiologis, pandangan masyarakat terhadap PDIP ini tentu merupakan hal yang sah dan tak bisa disalahkan. Masyarakat menilai dari apa yang mereka ketahui. Persepsi tersebut juga melahirkan kekhawatiran di tubuh umat Islam, –dan sentimen ini kemudian berkembang—terutama dalam proses pembuatan UU di DPR bersama pemerintah seandainya Jokowi terpilih sebagai presiden.


Bagaimana mungkin aspirasi umat Islam, misalnya, sebagai bagian terbesar dari komposisi rakyat Indonesia, akan terakomodasi jika pemerintah yang mengusulkan RUU dan DPR yang kemudian menggodoknya sebelum menjadi UU, adalah kalangan yang anti Islam, atau tidak beragama Islam?
Jangan lupa, Caleg non-Muslim dari PDIP pada Pemilu lalu berjumlah 183 orang atau setara dengan 52%! Sangat tidak proposional dengan komposisi umat beragama di Indonesia. Mau seobjektif apapun, secara naluriah sejumlah caleg ini sekiranya terpilih tentu punya sudut pandang subjektif sesuai agama mereka.


Apakah mereka akan membela aspirasi atau regulasi yang memayungi umat Islam? Sulit untuk mengatakan iya. Jika kemudian pemerintahan di bawah Jokowi, yang di-back up oleh PDIP di parlemen itu, berkawin dengan anggota dewan yang demikian, kita akan memahami bahwa kekhawatiran umat Islam tersebut sebetulnya adalah hal yang wajar. Track record adalah parameter yang ilmiah untuk menilai sesuau, kan? Belum lagi melihat fakta bagaimana Jokowi menjadikan seorang non Muslim sbg walikota di Solo,  juga gubernur di DKI seperti disinggung di muka…


Sebetulnya jika kita melihat fakta sejarah tentang PDIP, kita akan melihat bahwa PDI (sebelum pecah antara PDI Soerjadi dengan PDI Megawati) sejak mula memang merupakan fusi atau gabungan dari “partai-partai non Islam” pada 1973. PDI adalah produk penyederhanaan partai pada masa Soeharto yang merupakan fusi dari tiga partai secular (PNI, Murba, dan IPKI) dan dua partai Kristiani (Partai Kristen Indonesia/Parkindo, dan Partai Katolik.


Dari situ kita paham mengapa sejumlah tokoh  yang dianggap tidak sejalan dengan Islam bergabung di PDI, karena PDI adalah kendaraan paling dekat secara ideologi dengan mereka. Kita bisa menyebut beberapa nama seperti Ribka Tjipating Proletariati (anak seorang Tapol PKI), atau Budiman Sudjatmiko yang disebut-sebut berhaluan kiri. Atau sejumlah tokoh Kristen seperti Panda Nababan, Sabam Sirat, dll. Pasca koalisi Pilpres ini, beberapa tokoh yang memiliki track record tidak baik di mata umat Islam juga bergabung dengan kubu Jokowi yang dimotori PDIP, katakanlah AM.Hendropriyono yang disebut-sebut bertanggungjawab atas pembantaian umat Islam di Talangsari pada 1989.


Point saya, persepsi-persepsi seperti yang saya tulis di atas adalah pandangan yang eksis di tengah-tengah masyarakat kita.


Epilog
Sebagai sebuah epilog, tentu saja sebagai Muslim kita berkewajiban untuk saling mengingatkan. Mengingatkan bahwa semua pilihan kita di dunia ini akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Sekecil apapun. Termasuk pilihan-pilihan politik, apalagi yang berimplikasi pada nasib 207 juta lebih umat Islam (survei BPS tahun 2010 menyebut jumlah umat Islam di Indonesia adalah 207 juta dari 237juta penduduk),


Bayangkan berapa banyak orang yang akan menanggung akibat dari regulasi yang salah, seandainya kita menjatuhkan pilihan yang keliru dalam pilpres nanti. Padahal kita memahami -bahkan- seberat dzarrah (ukuran terkecil dari sesuatu) pun amal-amal kita akan dipertanggungjawabkan di Mahkamah Akhirat kelak.


Apa yang akan kita katakan, di Mahkamah Yang Maha Adil itu?
Twitter: @mistersigit
*dah nyampe nih..
Macet Pagi Jakarta,
Bis Kosub Cibinong-Priok, nyambung Metromini Senen.

0 komentar:

Posting Komentar