Prolog
Tadi malam, akun twitter saya di-mention oleh adik dari sahabat (sangat) karib. Mention
itu terhubung ke sebuah cerita fiksi tentang santri yang mendapatkan
pencerahan dari seorang kyai. Bahwa untuk hadapi pilpres 9 Juli nanti,
tak perlu bawa-bawa agama. “Tuhan tak perlu dibela. Agama terlalu besar
untuk sekadar urusan politik”, kurang lebih demikian kata kyai itu
sambil memegang cerutu.
Saya tahu kemana arah narasi fiktif
itu. Sebuah cerpen ideologis yg, tentu saja, tidak bebas nilai.
Cerpennya sekular, penulis tersebut berhasrat untuk menceraikan sentimen
agama dari konstelasi politik. Sebuah cara pandang yg, dalam konteks
Indonesia, ahistoris. Dan tentu saja, cerpen ini banyak di-share
oleh pemilih Jokowi-JK, karena semangat memilih berdasarkan
alasan-alasan agama nampaknya memang lebih kental di kubu nomor satu,
pendukung pasangan Prabowo-Hatta.
Nilai dari cerita fiktif tersebut berbeda dengan apa yang secara nyata saya alami. Beberapa waktu lalu, bersama sejumlah alumni pondok, saya sowan
ke seorang kyai besar. Pimpinan pondok pesantren sekaligus pengurus di
PBNU (saya selalu merasa senang menjadi bagian dari warga NU). Tanpa
diduga, kyai tersebut justru memulai “percakapan ringan” dengan
ngobrol-ngobrol seputar ingar bingar pilpres. Dalam obrolan tersebut,
raut wajah beliau nampak kecewa kepada Jokowi yang meninggalkan
orang-orang non Muslim sebagai
penggantinya. Katakanlah Fransiskus Xaverius Hadi Rudyatmo, seorang
Katholik yang kini memimpin Kota Solo selepas ditinggal Jokowi. Atau
Ahok, yang akan menggantikan Jokowi sebagai Gubernur Jakarta jika Jokowi
menang pilpres.
Saya sejujurnya tidak mau membawa
isu agama di tulisan ini. Lagipula ini hanya tulisan ringan untuk
menemani iseng macet Jakarta pagi hari. (Mas Joko, macet tambah parah saja nih. Selese-in dulu dunk :p).
Saya khawatir tulisan ini dianggap berbau sara sekalipun tak ada motif
untuk itu sama sekali. Saya hanya ingin sampaikan bahwa Sang Kyai yang
saya temui, nampak kecewa dengan pasangan Jokowi-JK dengan alasan tadi.
Lagipula, seperti yang saya katakan
di muka, dalam konteks historis-politik di Indonesia, menceraikan Islam
dari politik adalah hal yang ahistoris, dan bertentangan dengan dua
hal: pertama, bertentangan dengan sejarah dan konsep Islam itu sendiri. Kedua, bertentangan dengan cita-cita para founding fathers negara kita.
Relasi Islam-Politik
Islam dan politik adalah pasangan yang sah. Tidak seperti yang secara pejoratif
acap didengungkan oleh anak-anak Islam liberal bahwa kita harus
menghentikan “perselingkuhan Islam dan politik”. Mereka lupa, bahwa
Islam dan politik tak pernah selingkuh. Islam dan politik adalah
pasangan yang sah. Sememangnya, setiap orang punya kosa kata yang akrab
dengan keseharian mereka. :-)
Saya selalu tertarik dengan apa yang ditulis oleh Ian Adams dalam bukunya ‘Political Ideology Today’, (btw saya cuma baca terjemahannya yang diterbitkan oleh Penerbit Qalam :D). Ketika membahas hubungan Islam dengan politik, pemikir
dari Durham Unversity, Inggris itu mengakui bahwa sejak kelahirannya,
Islam adalah agama paling politis di dunia. Sejak masa awal, Muhammad
adalah seorang Nabi sekaligus pemimpin negara. Sejak masa awal itu,
bahkan hingga kini, Islam ditegakkan oleh kebijakan-kebijakan yang tak
lepas dari faktor politik.
Dari situlah kemudian kita paham mengapa seorang “professor” besar penulis Ihya Ulumuddin,
Hujjatul Islam Imam al-Ghazali mengatakan bahwa Islam dan Negara
seumpama fondasi dan penjaganya. Sesuatu tanpa fondasi akan runtuh, dan
fondasi tanpa penjaga kan hilang. Dari situ pula kita pahami mengapa
terdapat segambreng ulama dari masa klasik hingga modern yang menulis
tentang politik Islam. Mulai dari Ibn Abi Rabi’ dengan Suluk al-Malik fi Tadbir al-Mamalik-nya, al-Farabi dengan konsep Madinatul Fadhilah-nya, imam al-Mawardi dengan ‘masterpiece’-nya al-Ahkam al-Sulthaniyyah, al-Ghazali seperti saya sebutkan di awal, ibn Taimiyah yang menulis al-Siyasah al-Syar’iyyah, hingga Abul A’la al-Maududi dengan al-Khilafah wa al Mulk, Sayyid Quthb dengan sejumlah tulisannya, terutama al-‘adalah al-Ijtima’iyyah fil Islam, dan paling modern Syaikh Yusuf al-Qaradhawy dengan Fiqh Daulah-nya,
dan seterusnya.. dan seterusnya. Tentu saja, pemikiran-pemikiran mereka
tidak lahir dari ruang hampa. Tapi lahir dari sebuah fakta menarik
bahwa Islam sejatinya tidak bisa dilepaskan dari politik. (dalam hal ini
menarik untuk dikomparasi dengan dengan gagasan filosof Romawi abad IV,
St.Agustinus mengenai doktrin Civitas Dei versus Civitas Terrena.
Itulah mengapa saya katakan, menceraikan
Islam dari politik bertentangan dengan konsep Islam itu sendiri, selain
tentu saja sebuah hal yang ahistoris.
Dosen ilmu politik saya, Prof. Bachtiar Effendy, dalam tulisannya berjudul “Disartikulasi Pemikiran Politik Islam?”
mengatakan, “(karena) Pemikiran politik Islam menjadikan Qur’an dan
Sunnah sebagai rujukan,…juga sejarah Nabi Muhammad dan para sahabat
dijadikan sebagai parameter dan inspirasi rumusan pemikiran politik
Islam.. maka disitu ada klaim kebenaran (truth claim) yang dianggap berdimensi ilahiah, bahkan kadang-kadang berimplikasi teologis”
Islam, Politik, Indonesia
Kedua, selain ahistoris dari perspektif
sejarah Islam tadi, memisahkan sudut pandang agama dari konstelasi
politik Indonesia juga bertentangan dengan cita-cita para pendiri
republik ini. Adalah Firdaus AN, dalam bukunya yang terkenal “Dosa-dosa
Orde Baru yang Tidak Boleh Terulang”, menggambarkan
konflik yang terjadi pada masa awal kemerdekaan Indonesia. Panitia
Sembilan yang mewakili Islam, Nasionalis, dan Kristen yang merumuskan
dasar negara sebetulnya sudah bersepakat untuk memasukan Piagam Jakarta
sebagai bagian tak terpisahkan dari konstitusi. Kalimat ‘Ketuhanan YME dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-pemeluknya’ lahir sebagai sebuah kesepakatan yang menurut Dr.Soekiman merupakan a Gentlement Agreement, atau menurut Prof.Soepomo sebagai sebuah ‘Kesepakatan yang Luhur’. Sayangnya, hasil perundingan berbulan-bulan itu di-delete
dalam waktu sekejap hanya untuk mengakomodir ancaman seseorang yang
mengklaim sbg wakil dari Indonesia Timur, yang setelah dilakukan
penelitian oleh University belakangan diketahui bernama Saul Samuel
Jacob Samratulangi.
Meski demikian, sekalipun “tujuh kata sakral” itu di-delete,
semangat untuk tetap mengagregasikan agama dengan politik tidak pudar.
Kalimat Ketuhanan YME pada sila pertama Pancasila, atau rasa Syukur atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa pada Muqaddimah
UUD ‘45 menjadi bukti dari sebentuk keyakinan, bahwa iman pada Tuhan
tak bisa lepas dari semangat politik kenegaraan kita. Sebuah rasa syukur
bahwa negara ini sejatinya berdiri di atas pundak para ulama. Nusantara
terhampar di atas banjir darah para syuhada. Semoga rekan-rekan tidak
lupa bahwa Takbir Bung Tomo yang menggelorakan semangat jihad melawan
Belanda kemudian membuat arek-arek Surabaya tak kenal takut untuk
membebaskan Nusantara. Takbir tersebut juga lahir dari fatwa Resolusi
Jihad para ulama yang berkumpul di Surabaya pada 22 Oktober 1945 di
bawah pimpinan Hadhratusyaikh Hasyim Asy’ari.. (Tiba2 saya ingin menangis…).
Artinya adalah, gagasan untuk
menjauhkan agama dari politik keindonesiaan adalah hal yang ahistoris
dalam sejarah negara kita. Indonesia tak mungkin menjadi negara sekular
yang memisahkan sentimen agama dari ranah politik. Itulah mengapa saya
tetap meyakini bahwa doktrin politik aliran yang ditetaskan Indonesianis
“Abad Pertengahan Indonesia”, Clifford Geeetz akan tetap ada, ibarat
cintanya Sammy Simorangkir, tak lekang oleh waktu.
Sekadar salah satu contoh paling
riil, kita memahami mengapa kalangan umat Islam, khususnya kader-kader
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) misalnya, sangat intens berkampanye di
dunia nyata dan maya dengan semangat agama. Dan tanpa kita sadari,
dengan modal pendidikan yang relatif tinggi dan melek teknologi,
hembusan “perang ideologi” yang ditebar “anak-anak muda hasil
tarbiyahan” itu efektif merubah mindset publik lewat perang
akbar di dunia maya. Sejauh pengamatan saya yang faqir ilmu namun
ganteng ini B-) , “pasukan PKS” lah yang paling besar berperang sbg counter opinion
bagi ideologi yang mereka sebut ‘Sepilis’ (Sekulerisme, Pluralisme,
Liberalisme). Hal ini karena mereka memahami bahwa kampanye politik yang
mereka lakukan adalah bagian dari dakwah. Bagi ‘anak-anak tarbiyahan’,
politik adalah satu dari sayap-sayap Islam sebagaimana sayap lainnya
semisal ekonomi, budaya, pertahanan, pendidikan, dll., sesuai dengan
konsep ‘kesempurnaan Islam’ (syumuliyatul Islam) yang mereka imani.
***
Menimbang Jokowi Lewat PDIP
(Nah, bicara kita sudah ngalor-ngidul. Saya intip jendela baru nyampe Jatinegara. Lanjut..)
Berkaitan dengan itulah, menjadikan
pertimbangan agama sebagai parameter dalam menentukan pilihan politik,
dalam hal ini Pilpres, adalah hal yang sangat relevan. Dan Jokowi
terganjal oleh sentimen ini. Bagaimanapun kita mesti memahami bahwa
mantan walikota solo itu merupakan bagian tak terpisahkan dari PDIP.
Jokowi mau maju sebagai Capres hanya setelah direstui oleh Ketum PDIP,
Megawati Soekarno Putri. Bahkan, yang tak boleh kita lupa adalah,
Megawati berpesan sekalipun Jokowi terpilih kelak, pria kotak-kotak itu
tetap merupakan kader PDIP.
Mudah untuk menafsirkan kalimat
tersebut, bahwa yang dimaksud adalah sekalipun Jokowi terpilih sebagai
Presiden, ia tetap kader yang mesti patuh kepada asas, visi misi, dan
garis besar partai. Menjalankan visi misi dan rule partai. Padahal, PDIP sendiri merupakan sebuah partai yang punya track record kurang harmonis terutama terhadap regulasi yang beririsan dengan kepentingan umat Islam. Ini yang perlu dikhawatirkan.
PDIP adalah partai yang menolak UU
Pendidikan Nasional yang berisi agar Setiap murid di sekolah mendapatkan
pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh
guru yang seagama. Artinya, anak-anak Muslim yang bersekolah di
sekolah-sekolah Kristen berhak untuk mendapatkan guru agama Islam yang
beragama Islam. Tidak diajarkan kebaktian. Mengapa PDIP menolaknya? PDIP
juga Juga menolak UU Perbankan Syariah, UU Jaminan Produk Halal, UU
anti Pornografi, dan tentu saja yang terbaru, PDIP merupakan
satu-satunya fraksi di DPRD yang menolak penutupan lokasi maksiat Dolly
di Surabaya. PDIP pula yang memerintahkan kadernya untuk menginteli para
khatib di masjid-masjid.
Sejumlah track record tersebut
kemudian melahirkan persepsi bahwa PDIP sebetulnya merupakan partai
yang memang anti Islam, dan sama sekali tak akan mendukung aspirasi umat
Islam. Dalam kacamata sosiologis, pandangan masyarakat terhadap PDIP
ini tentu merupakan hal yang sah dan tak bisa disalahkan. Masyarakat
menilai dari apa yang mereka ketahui. Persepsi tersebut juga melahirkan
kekhawatiran di tubuh umat Islam, –dan sentimen ini kemudian
berkembang—terutama dalam proses pembuatan UU di DPR bersama pemerintah
seandainya Jokowi terpilih sebagai presiden.
Bagaimana mungkin aspirasi umat
Islam, misalnya, sebagai bagian terbesar dari komposisi rakyat
Indonesia, akan terakomodasi jika pemerintah yang mengusulkan RUU dan
DPR yang kemudian menggodoknya sebelum menjadi UU, adalah kalangan yang
anti Islam, atau tidak beragama Islam?
Jangan lupa, Caleg non-Muslim dari PDIP pada Pemilu lalu berjumlah
183 orang atau setara dengan 52%! Sangat tidak proposional dengan
komposisi umat beragama di Indonesia. Mau seobjektif apapun, secara
naluriah sejumlah caleg ini sekiranya terpilih tentu punya sudut pandang
subjektif sesuai agama mereka.
Apakah mereka akan membela aspirasi
atau regulasi yang memayungi umat Islam? Sulit untuk mengatakan iya.
Jika kemudian pemerintahan di bawah Jokowi, yang di-back up oleh
PDIP di parlemen itu, berkawin dengan anggota dewan yang demikian, kita
akan memahami bahwa kekhawatiran umat Islam tersebut sebetulnya adalah
hal yang wajar. Track record adalah parameter yang ilmiah untuk menilai
sesuau, kan? Belum lagi melihat fakta bagaimana Jokowi menjadikan
seorang non Muslim sbg walikota di Solo, juga gubernur di DKI seperti
disinggung di muka…
Sebetulnya jika kita melihat fakta
sejarah tentang PDIP, kita akan melihat bahwa PDI (sebelum pecah antara
PDI Soerjadi dengan PDI Megawati) sejak mula memang merupakan fusi atau gabungan dari “partai-partai non Islam” pada 1973. PDI adalah produk penyederhanaan partai pada masa Soeharto yang merupakan fusi dari tiga partai secular (PNI, Murba, dan IPKI) dan dua partai Kristiani (Partai Kristen Indonesia/Parkindo, dan Partai Katolik.
Dari situ kita paham mengapa
sejumlah tokoh yang dianggap tidak sejalan dengan Islam bergabung di
PDI, karena PDI adalah kendaraan paling dekat secara ideologi dengan
mereka. Kita bisa menyebut beberapa nama seperti Ribka Tjipating
Proletariati (anak seorang Tapol PKI), atau Budiman Sudjatmiko yang
disebut-sebut berhaluan kiri. Atau sejumlah tokoh Kristen seperti Panda
Nababan, Sabam Sirat, dll. Pasca koalisi Pilpres ini, beberapa tokoh
yang memiliki track record tidak baik di mata umat Islam juga
bergabung dengan kubu Jokowi yang dimotori PDIP, katakanlah
AM.Hendropriyono yang disebut-sebut bertanggungjawab atas pembantaian
umat Islam di Talangsari pada 1989.
Point saya, persepsi-persepsi seperti yang saya tulis di atas adalah pandangan yang eksis di tengah-tengah masyarakat kita.
Epilog
Sebagai sebuah epilog, tentu saja
sebagai Muslim kita berkewajiban untuk saling mengingatkan. Mengingatkan
bahwa semua pilihan kita di dunia ini akan dimintai pertanggungjawaban
di akhirat kelak. Sekecil apapun. Termasuk pilihan-pilihan politik,
apalagi yang berimplikasi pada nasib 207 juta lebih umat Islam (survei
BPS tahun 2010 menyebut jumlah umat Islam di Indonesia adalah 207 juta
dari 237juta penduduk),
Bayangkan berapa banyak orang yang
akan menanggung akibat dari regulasi yang salah, seandainya kita
menjatuhkan pilihan yang keliru dalam pilpres nanti. Padahal kita
memahami -bahkan- seberat dzarrah (ukuran terkecil dari sesuatu) pun amal-amal kita akan dipertanggungjawabkan di Mahkamah Akhirat kelak.
Apa yang akan kita katakan, di Mahkamah Yang Maha Adil itu?
–
Twitter: @mistersigit
*dah nyampe nih..
Macet Pagi Jakarta,
Bis Kosub Cibinong-Priok, nyambung Metromini Senen.
0 komentar:
Posting Komentar