Selasa, 22 Juli 2014

Ayo Tantang Lembaga Survei Buka-bukaan Metodologi dan Verifikasi Seluruh Data




Harusnya, pasca pemilihan presiden 9 Juli lalu, kantor saya sudah adem ayem. Karena kontestasi capres cawapres yang begitu kuat polarisasinya itu sudah selesai dan tinggal menunggu hasil, baik versi Quick Count maupun versi KPU. Maklum, di kantor saya ada dua kubu berseberangan. Saya dan si bozz saja beda kubu ( :D), untungnya saya dan si boss adalah orang-orang yg dewasa, ramah tamah, camera face dan berbakti kepada Abi dan Ummi :p

Namun, gara-gara rilis hasil survei yang berbeda dari sejumlah lembaga, suasana adem yang betul-betul ayem harus ditunda hingga 22 Juli, menunggu rilis resmi dari Komisi Pemilihan Umum.
Saya merasa cukup beruntung pernah belajar langsung metodologi survei pada Begawan survei di Indonesia, Saiful Mujani. Bersama Denny JA, Saiful Mujani termasuk orang yang memperkenalkan konsep survei politik di Indonesia, terutama pasca reformasi. Ia pernah memimpin Lembaga Survei Indonesia (LSI) selama lima tahun sebelum akhirnya meninggalkan LSI dengan alasan regenerasi dan agar tak hanya satu orang LSI yang sering tampil ke publik. Maka munculah setelahnya Dodi Ambardi yang kemudian kerap diwakili Burhanuddin Muhtadi.

Saiful Mujani adalah seorang akademisi yang rajin dan dedikatif. Tak seperti tokoh-tokoh yg kerap tampil di media lainnya, sejauh yang saya tahu, Mujani nyaris tak pernah absen mengajar. Ia pernah marah kepada mahasiswa yang malas untuk melakukan riset survei di Kampus mengenai korelasi antara konservatisme pemikiran Islam dan jurusan di UIN Jakarta. “kalian mau jadi apa?” katanya waktu itu.

Bahkan sedemikian akademisnya, alasan lain ia tinggalkan LSI adalah lantaran harus mengajar di Ohio University, Amerika Serikat sana. Mujani adalah orang Asia pertama yang meraih penghargaan bergengsi Franklin L. Burdette/Pi Sigma Alpha Award dari American Political Science Association (APSA). Sebuah asosiasi ilmuwan politik dunia paling bergengsi sejagad. Bayangkan, sejak 1964 APSA jarang memberikan award karena tak ada yang dianggap layak, dan Mujani mendapatkan itu! Atas penghargaan dari APSA tersebut, boss SMRC itu dipandang setara dengan pemikir kenamaan yang moncer di jagad internasional seperti Samuel Huntington, Sidney Tarrow, Michael Wallerstein, dan Mancur Olson.

Meskipun kemudian, saya kecewa pada penulis buku Kuasa Rakyat tersebut karena ia memilih berpihak pada salah satu kubu. Kecewa karena keberpihakannya ini akan memunculkan persepsi bahwa hasil-hasil surveinya dianggap partisan dan tak kredibel.


Menguji Kredibilitas Lembaga Survei

Misalnya, ketika kemarin sore saya bersama babeh dag dig dug duerr sekaligus mengkerut menyaksikan rilis perkembangan hasil quick count sejumlah lembaga di televisi. Sambil tetap berpuasa dan duduk ongkang-ongkang itu saya mengkerut sekaligus tambah lapar karena rilis hasil survei pemilu kali ini mengejutkan.

Bagaimana tidak, rilis quick count di televisi berbeda satu dengan yg lain. Metro TV memenangkan kubu Jokowi sedang TVOne memenangkan kubu prabowo. Keduanya mempublish rilis survei dari sejumlah lembaga berbeda.

Kita tentu saja tak perlu cepat men-judge bahwa TV yang satu yang benar dan lainnya salah. Yang salah bukan pada channel mana Anda menyaksikan sodara-sodara! dan bukan pada seberapa banyak channel TV yang memenangkan salahsatu kubu itu. TV manapun yang mempublish hasil survei selama lembaga surveinya itu-itu saja, hasilnya tetap sama. Anda menonton di channel manapun, selama lembaga surveinya itu lagi-itu lagi, baik Metro, SCTV, Indosiar, maupun Trans, hasilnya sama karena sumbernya dari lembaga survei yang sama pula: Jokowi Menang . Persis jika Anda melihatnya di TVOne, RCTI, Global, atau pun MNC TV: Prabowo menang. Jadi bukan pada lebih banyak TV mana memenangkan siapa. Bukan karena “TVOne memang beda”:D

Pertanyaan menarik kemudian muncul: “bagaimana mungkin hasil quick count lembaga-lembaga tersebut bisa berbeda bahkan dengan hasil berbanding terbalik?” 

Seharusnya, berbeda dengan survey pada umumnya, hasil quick count antar lembaga survei tidak mungkin menghasilkan selisih angka yang terlampau jauh. Jika metodenya memenuhi syarat-syarat ilmiah, Perbedaan selisih angka antar lembaga survei seharusnya hanya berada pada ambang margin of error –yg pada umumnya sekitar– satu sampai dua persen. Artinya jika angka resmi dari KPU ‘positif’, raihan suara capres bisa satu atau dua persen lebih tinggi dari hasil quick count, atau jika hasil resminya negatif, maka raihan suara kubu capres bisa turun sampai dengan dua persen dari rilis quick count. Ini kita sebut saja ambang toleransi keakuratan.

Tapi yg ditampilkan di layar tv perbedaannnya begitu mencolok (seperti kamu, menohok hatiku yang terdalam :* ), bahkan sampai berbanding terbalik. Tujuh lembaga survei memenangkan kubu Jokowi dan empat lainnya menangkan kubu Prabowo.

Padahal Quick count adalah penghitungan angka yang pasti dan tidak berubah. Quick count adalah cara ilmiah bagi kita untuk tahu capaian suara peserta kontestasi politik lebih cepat dengan mengambil sample TPS yang –mestinya—sesuai dengan sebaran populasi. Quick count bukan survei berupa jaring opini masyarakat yg bisa berubah sewaktu-waktu, quick count bukan survei terhadap persepsi publik yg bisa berubah atau diarahkan sesuai soal quistioner, waktu pelaksanaan survei, dst. Quick count menghitung data yg pasti. Mustahil munculkan hasil berbeda.

Oleh karena itu dapat dipahami jika masyarakat menaruh curiga bahwa sejumlah lembaga survei telah melacurkan kredibilitasnya dengan melakukan kebohongan. Bagaimana tidak, seharusnya jika metodologinya sama, jumlah sampel yg diambil pun nyaris sebanding, maka hasil yg muncul semestinya hanya berselisih sekira 1-2%. Metodologi yang digunakan biasanya multistage random sampling atau pengambilan sampel secara acak berjenjang namun dengan sebaran yang sesuai dengan komposisi dari populasi. Dimana wilayah lebih padat tentu sampelnya pun lebih banyak. Jumlah TPS yang di jadikan sampel saya yakin sekitar 1100 hingga duaribuan titik.

Dari sejumlah pengalaman survei, hasil quick count yang memenuhi syarat-syarat ilmiah akademis tidak pernah meleset dari angka yang dirilis KPU. Maka kita patut menaruh curiga, di antara sebelas lembaga survei ini, ada yang keliru memlilih metodologi, atau bersengaja melacurkan martabatnya karena kepentingan lain! Minum es kelapa dulu. Srhuup shruup ahh.. eh, lagi puasa! :o


Mestikah Empat Lembaga yang Keliru?

Di media online dan sosmed, ramai orang memberitakan bahwa empat lembaga survei yang memenangkan Prabowo layak diragukan. Keempat lembaga tersebut adalah Puskaptis, LSN, Indonesia Research Center (IRC), dan Jaringan Suara Indonesia (JSI). Dua terakhir sengaja saya sebutkan kepanjangannya karena saya baru dengar, mungkin rekan-rekan juga.

Keempat lembaga tersebut patut diragukan karena rilis hasil quick count mereka berbeda dengan tujuh lembaga survei yang dianggap mainstream dan sudah dikenal.

Cara berpikir yang meragukan “yang tidak dikenal” seperti ini tentu juga tidak fair. Tidak mesti yang sudah dikenal lebih akurat. Karena itu artinya menutup peluang bagi tumbuhnya lembaga-lembaga baru. Tidak mesti lembaga yang lebih besar lebih benar. Cara pandang seperti itu sama artinya menuding orang yang miskin pasti salah dan yang kaya pasti menang. Atau orang kampung pasti bodoh dan orang kota pintar. Kita, tidak bisa menilai sesuatu sebelum kita mengujinya terlebih dahulu.

Kita justru patut bertanya, bukankah lembaga-lembaga survei yang memenangkan Jokowi adalah mereka yang selama ini menjadi pendukungnya? Mari lihat Saiful Mujani Research and Consulting, Lingkaran Survei Indonesia, dan Cyrus Network, ketiganya adalah pendukung-pendukung Jokowi.
Tentu publik pun sah untuk menaruh curiga apakah tidak ada kesepakatan di antara mereka untuk “memiripkan hasil quick count” guna menggiring opini publik lantaran kapasitas mereka sebagai pendukung Jokowi? Bukankah dengan cara itu, persepsi masyarakat akan memandang bahwa Jokowi pemenang kontestasi pilpres, dan ketika hasil resmi dari KPU dirilis pada 22 Juli nanti, akan dibangun opini bahwa telah terjadi kecurangan?

Burhanuddin Muhtadi, mengatakan di media sebagaimana dikutip Kompas.com, “Kalau berbeda (dengan hasil quick count kami), hasil hitungan KPU pasti salah, dalam artian, ada proses kecurangan dari rekapitulasi, mulai dari tingkat TPS, kelurahan, kecamatan, kabupaten, provinsi, hingga pusat.”.

Padahal kita semua tahu, hasil sah raihan suara pilpres hanya dan hanya dari KPU. KPU sebagai lembaga Negara tentu tak boleh dan tak bisa didikte oleh lembaga-lembaga swasta. Ucapan Burhan itu seperti sebuah ancaman dan justru menguatkan kecurigaan bahwa saat ini sedang dibangun opini Jokowilah pemenang perhelatan dan hanya kecurangan yang dapat mengalahkannya. Persis sebagaimana dikatakan Jusuf Kalla, “hanya kecurangan yang bisa kalahkan Jokowi”. Hal ini berbahaya karena lembaga-lembaga swasta memberi ‘ancaman’ yang akan memunculkan delegitimasi terhadap lembaga pemerintah yang diamanahi oleh konstitusi.


Disisi lain, Puskaptis yang memenangkan kubu Prabowo pun menantang: ““Sekarang kita bertaruh saja. Kalau hasil penghitungan KPU nanti Jokowi yang menang, saya siap membubarkan diri. Tapi kalau Prabowo yang menang, berarti lembaga-lembaga survei itu yang salah, mereka semua harus bubar,” tantang Husen Yazid, Direktur Puskaptis. Sayangnya, entah kenapa Puskaptis dan lembaga yang hasil surveinya memenangkan Prabowo justru tidak hadir dalam pertemuan antar lembaga survey yang digelar Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi). Takut?


Menantang Lembaga Survei untuk Buka-bukaan

Sebetulnya ada cara utk menguliti hasil quick count pilpres kemarin. Yaitu dengan melakukan verifikasi data dan menanyakan metodologi surveinya. Mari kita tantang lembaga-lembaga survei untuk buka-bukaan: 

Pertama, Metodologi apa yg digunakan? Apakah sebarannya sudah merepresentasikan populasi? dan buka metodologi itu ke Publik.

Kedua, mari sama-sama melakukan verifikasi ke TPS-TPS yang dijadikan lokasi survei. Apakah data yang diinput sesuai dengan hasil perolehan suara di tiap TPS tersebut, atau jangan-jangan dimanipulasi oleh tim yang turun ke lapangan atau tim olah data.

Ketiga, mari cek akuntabilitas keuangan lembaga survei. Dari mana mereka dapat dana besar untuk melakukan survei. Meskipun tak langsung berkaitan, setidaknya hal ini penting untuk menghindari adanya kecurigaan bahwa lembaga survei mengarahkan hasil quick count untuk memenangkan kubu yang mendanainya.

Point ketiga sebetulnya kurang penting karena tak langsung berkaitan, sebab sekalipun lembaga survey lakukan kecurangan bisa langsung diverifikasi oleh cara pertama.
Lembaga survei boleh saja dapat dana dari salah satu kubu, tapi satu hal yang pasti: ia tak boleh melakukan kebohongan. Karena kebohongan survei adalah kejahatan!

Apakah lembaga survei Anda berani lakukan ketiga hal itu?
Teman-teman Kompasianer berani buat sebuah petisi?


***
Rekan-rekan sila berkomentar. “Teko hanya mengeluarkan isi teko”

http://politik.kompasiana.com/2014/07/11/ayo-tantang-lembaga-survei-buka-bukaan-metodologi-dan-verifikasi-seluruh-data-667739.html

0 komentar:

Posting Komentar