Senin, 16 Juni 2014

Di Depan Pusara Murabbi




By: @mistersigit

Di bus malam ini, rasa kantuk menjalari seluruh penumpang. Nyaris seluruh penumpang bus Jakarta-Cirebon tampak lelap. Hanya satu dua yang terlihat memandang keluar jendela, sebagian lain sebentar terbangun untuk menarik resleting jaketnya tinggi-tinggi hingga menutupi leher, lalu kembali tidur. Suara pengamen yang lumayan merdu dengan iringan biola tua justru membuat penumpang semakin larut dalam kantuk, entah kurang perhitungan atau memang pengamen ini ikhlas mengantarkan para penumpang untuk tidur, yang jelas aku yakin lagu Camelia 3 itu membuat pendapatannya berkurang.


Pengamen itu terlihat kumal. Bibirnya hitam akibat asap rokok. Di kupingnya terlihat tiga buah tindikan besar berwarna warni. Ia mengenakan celana jeans robek dan sepatu kets yang tak kalah buruk. Penampilannya persis diriku lima belas tahun lalu, ketika baru lulus  SMP. Tanpa bermaksud menghakimi pengamen itu, aku dulu adalah anak brandal. Pekerjaanku adalah mengamen dengan paksa, meminta uang kepada penumpang sambil berteriak tanpa satu pun alat musik. Sebetulnya bukan mengamen, tapi memalak. Aku tahu suaraku tak mungkin menghibur. Aku tak segan menunggu untuk memaksa penumpang mengeluarkan uang sekedar seribu dua ribu dengan dalih solidaritas sosial dan kebersamaan. Aku bilang untuk makan, meski aku yakin mereka tahu bahwa uang itu aku habiskan untuk beli rokok dan  minum-minum dengan teman-tean sesama komplotan.


Mengingat hari-hari itu dan membandingkannya dengan kini, adalah hal yang selalu membuat aku ingin menangis. Kini bahkan di bus malam ini aku berbaju koko, di tasku ditempel logo One Day One juz, sebuah komunitas pembaca Qur’an yang sedang marak. Mushaf al-Quran selalu ada di dalam tas kemanapun aku melakukan perjalanan sebagai teman terbaik. Berbeda dengan dulu, dimana rambutku kumal, kulit kusut karena jarang mandi. Kemana-mana selalu membawa rokok. Hidupku sangat kacau dan tidak ada rasa tentram dalam hati. Bahkan tak jarang pada masa-masa itu, aku berharap kematian segera datang.


Sampai akhirnya tiba hari itu. Ketika Tuhan menunjukan kasih sayang-Nya melalui seorang ustadz muda yang membuat hatiku basah, dan membuka jalan hidupku hingga tenteram seperti sekarang. Ia yang selama lima tahun berikutnya menjadi guru ngajiku. Ia yang dengan sabar mengajariku membaca buku iqro meski aku terbata-bata.  Ia yang rela waktu demi waktunya aku sita untuk menjawab semua pertanyaan-pertanyaanku tentang Tuhan, terutama mempertanyakan keadilan-Nya untuk aku dan keluargaku.


Aku sedang duduk di halte bis pada pertemuan pertamaku dengannya saat itu. Waktu itu aku sudah kehabisan akal dan rasa lapar menusuk ke ulu hati. Aku nyaris mencuri ketika dari balik tikungan ia memberikan nasi kotak berisi rendang nasi padang. “Mas, maaf, nasi kotak ini boleh untuk mas. Kebetulan tadi saya dapat dari seminar.” Tuturnya dengan senyum lembut ketika itu. Bahasanya sopan. Air mukanya bersih dan penuh aura iman. Baju kokonya sudah tidak putih, tapi tetap terlihat bersih. Janggut tipis di ujung dagunya membuatnya terlihat kalem dan alim. Setelah mengucapkan terimakasih, aku makan dengan lahap dan ia duduk didekatku menunggu bis pulang. Disitulah untuk pertama kalinya aku merasakann hatiku gerimis dan dadaku bergetar.
***
Bang, partisipasinya bang...” suara pengamen menyadarkanku dari lamunan. Cepat-cepat aku rogoh selembar uang duaribuan untuknya, setelah mengucapkan terimakasih, pengamen itu menyusur ke kursI-kursi belakang. ia tidak seburuk aku dulu. 


Seorang perempuan yang sedang hamil naik di tengah perjalanan. Padahal hari sudah malam. Lelaki di ujung sana yang melihatnya segera bergeser memberi tempat. Perempuan itu duduk bahkan tanpa mengucapkan terimakasih. Mungkin sudah seharusnya.


Di luar sana, gelap menyelimuti bumi. Seiko KW di lenganku sudah menunjuk pukul sembilan malam lewat lima. Jalanan di luar nampak lengang. Aku memandang jauh keluar jendela, Papan reklame dengan cahaya yang terang memberontak malam yang kelam, menyilaukan mataku. 
***


Yang membuat hatiku gerimis sewaktu pertemuan pertama dengan lelaki yang kemudian aku panggil Ustadz itu adalah ketika ia menanyakan kabar keluargaku. Pertanyaannya itu membuat aku serta merta teringat ibu di kampung. Sekalipun hidupku hancur, Ibu bagiku tetaplah ibarat nyawa. Ia adalah harta satu-satunya yang aku punya. Ayahku sudah meninggal ketika aku kecil, dan aku satu-satunya pewaris keluarga. Pewaris kesusahan dan kemiskinan. Setiap ingat ibu aku selalu bergetar. Rasa sayang dan cintaku untuknya berderai-derai. Pakaian ibuku adalah kesusahan dan kemiskinan. Miskin dan keras sudah menyatu dalam hidupnya, menjadi nafas dan nyawanya. Ia yang berhutang kesana kemari untuk memberiku ongkos sekolah pagi hari. Ibu bagiku adalah dasar lautan terdalam. Sekalipun di dunia ini ada lautan yang paling dalam, cinta ibu kepadaku jauh lebih dalam.  Jika gunung tinggi menjulang, cinta ibu padaku lebih menjulang. Itulah kenapa sekalipun aku brengsek, selalu ibu yang mengerik punggungku ketika aku sakit dengan uang logam dan minyak tanah sampai aku tertidur. Tak sekali dua kali dalam momen seperti itu aku mendengar untaian doa dan harapannya ketika aku hendak lelap. “Gusti, berikan jalan pada anakku untuk mengenal agama...” doanya sederhana. Agar aku mengenal agama. Tiba-tiba mataku berlinang air mata...


Ibuku memang tak kenal agama terlalu baik. Hanya saja ia sangat hormat pada pak kyai dan selalu sholat lima waktu meski di kemudian hari aku tahu bacaannya berantakan. Tak masalah bagiku, karena kesusahan dan kemiskinan sudah cukup menjadi cara Tuhan untuk mencintainya. Dengan sabar yang dijalani ibu dalam kesusahan itu, Tuhan akan mencintainya..  
 
Pertanyaan Ustadz berwajah teduh itu menyentak hatiku, dan entah mengapa aku tiba-tiba ingin memperbaiki diri...


***
Sejak obrolan pertama itu lantas aku mulai tertarik untuk mengaji pada ustadz muda bernama Hisyam itu. Belajar mengeja mulai dari IQRO satu. Aku membaca a-ba-ta-tsa dengan tertatih, tapi kemajuanku cukup pesat. Sekalipun brandal, otakku memang cukup encer sejak kecil.

Aku mengaji setiap malam senin. Aku absen tidak ikut nongkrong di perempatan Cibinong hanya setiap malam senin. Malam-malam lainnya aku masih malak di dalam bis bis bersama teman-teman nongkrong. Masih merokok dan tak jarang minum-minuman keras.  Tertawa dan menggoda cewek-cewek lewat. Ustadz Hisyam tak pernah memaksa aku untuk berhenti. Ia hanya mengajari aku ngaji yang kemudian aku kenal dengan istilah halaqah. Pembinaan sepekan sekali itulah yang membuat hatiku lambat laun terwarnai oleh nilai-nilai Islam. Ustadz Hisyam bercerita bagaimana perjuangan Nabi ketika menyebarkan Islam, ketika memimpin perang, juga ketinggian akhlak beliau.


Ustadz muda itu juga berkisah tentang para shahabat ketika mendapatkan ujian, tak sedikit di antara mereka merupakan kaum miskin sepertiku. Amar bin Yassir dan bilal bin Rabah adalah dua nama yang paling kukenal. Tapi tentu paling menarik adalah Umar bin Khattab. Aku paling suka karena Shahabat Umar dikenal kuat dan tak punya rasa takut kepada musuh. Untuk seorang anak jalanan seperti aku, sifat Umar tentu sangat heroik.

Aku tak pernah bosan halaqah dengan ustadz hisyam. Ia mengajariku akhlak yang baik. Ngaji dengannya tak hanya ceramah, tapi sikap kesehariannya adalah Islam itu sendiri. Ia berasal dari keluarga sederhana, mungkin cenderung miskin dibanding para ustadz lainnya. Pernah suatu kali dalam sebuah demonstrasi di Monas, kaos ustadz hisyam adalah yang paling kumal di tengah ribuan pendemo yang mengenakan pakaian putih. Ia sederhana. Satu pagi ia mengayuh sepeda untuk sekedar memberitahu, “akhi, nanti jam setengah tujuh ada demo di Bundaran HI. Antum jangan tidak datang, ya.” Selepas itu ia kembali mengayuh sepeda ke rumahnya di kecamatan sebelah.  Ia tak pernah mengeluhkan kemiskinan sepertiku, ia katakan bahwa kekayaaan sebenarnya bukan  pada harta tapi ada pada hati.


“akhi, lapangkanlah hatimu. Lapang, selapang sabana. Sekalipun di sana ada gajah, harimau, jerapah, sabana itu akan tetap terlihat luas. Tetapi jika hatimu sempit, sesempit kamar-kamar tidur, jangankan gajah, seekor ayam akan membuatnya sempit. Luaskanlah hatimu. Luas, seluas samudera. Sebanyak apapun sampah masuk dari sungai-sungai di muara, ia akan tetap jernih. Tetapi jika hatimu sempit, sesempit air di dalam gelas, jangankan sampah dari sungai, setetes tinta dari pulpen akan membuatnya kotor. 


Masalah itu rupanya bukan di luar, tapi ada pada hati kita, di sini” katanya suatu kali seraya mendekapkan tangan ke dada.


Bagaimana mungkin aku tak hormat pada sosok ustadz sederhana dan ikhlash seperti itu? Untuk itulah malam ini, sebelum masuk Bulan Ramadhan, aku bertolak ke Cirebon, mengobati rindu tak tertahankan yang meluap-luap dalam dadaku. Sudah tak jumpa sepuluh tahun semenjak ia pindah dari Bogor ke Cirebon, ingin rasanya bersilaturrahim dan mengucapkan terimakasih karena membuka jalan bagi hidupku untuk lebh baik. 


Kini aku sudah mengenal agama jauh lebih baik, aku mempunyai dua kelompok binaan yang semuanya anak-anak jalanan. Dalam beberapa acara tatsqif aku kerap menggantikan narasumber yang berhalangan, juga mengisi acara-acara outbound dalam kapasitasku sebagai seorang kepanduan.
Malam semakin larut, aku mulai mengantuk..
***

Pagi ini aku terpaku...
Aku terpekur di samping sebuah pusara seorang ustadz yang sangat aku cintai.
Aku duduk menangis dan tak henti mengirim doa. Lisanku terus menerus mengirim doa untuknya..


Aku teringat ucapan lirih terakhir ustadz Hisyam pada halaqah perpisahan itu. “Akhi, do’akanlah ana dalam sujud-sujud antum, sebagaimana ana pun mendoakan antum dalam sujud-sujud ana..”


Aku paham bahwa rumus kehidupan hanya dua: meninggalkan atau ditinggalkan. Tapi aku merasa begitu berat untuk menerima kenyataan bahwa ustadz yang telah mengenalkan aku ke dalam dekapan hidayah telah kembali kepada-Nya, terbaring di balik tanah ini... semoga antum mendapatkan apa yang seharusnya antum dapatkan,ya ustadzunal kiram... Almahbuub..


Beberapa waktu lalu aku sempat merasa semangatku turun sama sekali. Bersamaan dengan semangat ikhwah lain yang juga turun. Aku sungguh khawatir menjadi orang-orang yang runtuh ketika yang lain tetap teguh. Menjadi bagian yang terkapar ketika yang lain berusaha tetap tegar.. Aku mengkhawatiri diriku termasuk ke dalam mereka yang berguguran di jalan dakwah..


Militansi  yang turun itu kemudian berakibat pada rendahnya intensitas kehadiranku dalam halaqah. Lama-lama aku mulai terlalu kritis bahkan curga pada setiap kebijakan qiyadah.. bahkan mungkin terlalu sinis.. aku merasa berada pada jalan yang benar dan satu-satunya yang objektif.. qiyadah sempat kupandang sebagai  bagian dari  kelompok yang naif.. 


Tapi aku teringat nasehat ustadz Hisyam untuk menengok hati, dan aku sadari sikap sinis dan lemahnya militansiku dalam dakwah adalah akibat dari lemahnya imanku... dari rendahnya qiyamullail yang kian jarang .. dari tilawah yang terus tergerus, dari dzikir yang tak lagi terukir.. dari sujud yang tak lagi syahdu...


Justru lemahnya iman yang membuat semangatku lemah, lalu lama-lama aku hanya menjadi pengamat dakwah.. tanpa kontribusi..


Pagi ini aku semakin sadari nasihat Murabbi yang terus menerus hidup di dalam hatiku..
Aku masih terduduk, membayangkan senyumnya ketika bergurau dalam halaqah..
Dan membayangkan airmatanya ketika memimpin doa rabithah..
Lalu aku menginsafi diri, atas kelemahan iman serta kontribusiku dalam dakwah..
..
(Bandara Hang Nadim, 14/06/14)
*cerita ini hanya fiksi* 

lihat juga di: http://www.dakwatuna.com/2014/07/26/55087/di-depan-pusara-murabbi/#axzz39P3coitl


0 komentar:

Posting Komentar