Senin, 28 Oktober 2013

Memandang Jokowi Tanpa Kedustaan

1379476489984819813


Karena harus berangkat ke Mamuju dengan pesawat pertama. Selasa dini hari itu, sekitar pukul tiga pagi, saya menumpang taksi menuju Bandara Soekarno-Hatta. Menghilangkan rasa iseng, saya mengajak sopir taksi mengobrol dalam perjalanan membelah gelap itu. Entah bagaimana awalnya, selayaknya orang ngobrol ngalor ngidul, obrolan itu akhirnya menyerempet ke masalah politik. Sopir taksi tersebut bilang bahwa dia tidak pernah ikut Pemilu karena apatis dengan semua kandidat. Hanya saja, katanya, jika Jokowi yang mencalonkan diri maka dia dengan senang hati akan mendukungnya.

Sebagai alumni Jurusan Filsafat Politik obrolan semacam ini tentu menarik bagi saya. Saya ingin membaca bagaimana Jokowi di mata sopir taksi yang—meski bukan sebuah jaminan, barangkali mewakili kebanyakan suara orang sepertinya. Dari cerita pagi hari itu, rupanya ia punya pengalaman bagaimana saudaranya yang sakit keras dan harus menjalani operasi sangat terbantu dengan Program Kartu Jakarta Sehat yang ditelurkan Jokowi. “benar-benar tidak bayar, mas. Alhamdulillah sudah sehat. Andaikata waktu itu harus bayar biaya operasi, dari mana kami mendapat uang sebanyak itu? katanya.

Fakta ini menginsafkan saya tentang Jokowi, bagaimana jasa mantan walikota Solo itu dirasakan betul oleh masyarakat yang membutuhkan. Anda boleh membenci Jokowi dengan segudang teori konspirasi yang diarahkan kepada Jokowi entah dengan alasan apa, tapi apa yang diceritakan oleh sopir tadi adalah fakta yang harus Anda akui.

Saya katakan menginsafkan diri, karena sebaran informasi tentang Jokowi, khususnya di jagad maya sangat liar. Akun anonim paling populer di jagad twitter, @triomacan2000 baru-baru ini “membongkar” kebusukan Jokowi, konspirasi di belakangnya, para pemilik modal pendukungnya, dst. Sertamerta twit akun “wikileaks Indonesia” itu di-broadcast kemana-mana untuk mendemarketisasi si “Anak Ajaib” tersebut oleh para Jokowi haters. Sebaran informasi ini sedikit banyak tentu memengaruhi persepsi publik, termasuk saya.
Banyak yang kehilangan kritisisme terhadap akun anonim yang acap dilaporkan ke Kepolisian itu. Padahal kicauan-kicauan akun tersebut tak ubahnya seperti berita Israiliyat dalam literatur Islam, yakni kabar-kabar yang tidak perlu ditolak seluruhnya, tetapi juga  tidak perlu dibenarkan seluruhnya.

Selain perbincangan dengan sopir taksi yang sudah seperti pengamat politik itu, saya punya pengalaman lain tentang Jokowi, yaitu pada acara Buka Puasa Hari Anak Nasional Bersama Presiden yang digelar di Gedung SME Tower Ramadhan lalu. Saya lihat sendiri bagaimana ketika Presiden bersama sejumlah menteri dan para pejabat, termasuk Jokowi, keluar ruangan utama selepas acara, terdengar orang-orang mengelu-elukan Jokowi. Jokowi dielu-elukan oleh hadirin, dan Anda tahu, Gubernur DKI itu lebih populer –tentu saja—dari pada para Menteri KIB II.

Ekspresi masyarakat semacam ini tentu tidak lahir dari ruang hampa. Program Jokowi dirasa oleh mereka dan media massa ‘menggoreng’ itu. Pertanyaan apakah “media yang memberitakan sosok yang sedang dicintai masyarakat”, atau justru sebaliknya “media membesarkan Jokowi sehingga ia ia disukai di masyarakat” adalah persoalan lain. Kita hanya melihat bahwa masyarakat suka terhadap Jokowi, dan fenomena tersebut eksis. Bahkan sebuah artikel berjudul a Wanted Badly: a Malaysian Jokowi di The Malay Mail, Malaysia, Februari silam menggambarkan betapa rakyat Malaysia pun rindu pemimpin selayak Jokowi dengan mengutip kisah lelaki kotak-kotak itu dalam The Economist dan The Wall Street Journal. Anda membenci Jokowi karena apa?

Program Jokowi Original

Program Jokowi memang original. Mulai dari program kecil seperti perayaan tahun baru sepanjang jalan Sudirman-Thamrin yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya itu–padahal sangat antusias disambut masyarakat–, atau pameran produk lokal di Monas untuk mengakomodir pedagang kecil sebagai sindiran kepada Jakarta Fair yang dinilainya terlalu mementingkan pengusaha besar, atau penertiban PKL di jalur semrawut carut marut Tanah Abang (bayangkan lima tahun Foke pimpin Jakarta Tanah  Abang makin macet saja, Jokowi bereskan hanya dalam hitungan bulan), atau penyediaan kursi taman sepanjang jalur utama Sudirman Thamrin yang membuat jalur “Orchad-nya Indonesia” itu kian menarik dan bermanfaat untuk sekadar melepas lelah, hingga program blusukan yang membuatnya lebih paham lapangan dan kian dicintai rakyat Jakarta. Adakah pejabat DKI sebelumnya yang turun ke gorong-gorong untuk melihat saluran air berfungsi baik atau tidak, menyusur kampong-kampung di pinggiran sungai yang aromanya  tidak sedap itu untuk berfikir bagaimana mendirikan hunian yang lebih layak bagi mereka? kita menilai apa yang tampak, bukan?

Jangan salahkan media jika terus menguntit Jokowi. Memang banyak kepala daerah lain yang hebat luar biasa di luar Jakarta, kita bersyukur dan apresiasi beliau-beliau yg terhormat dan mengabdikan diri untuk membangun daerahnya. Kita bisa sebut Gubernur NTB, Tuan Guru Haji Bajang yang begitu dicintai oleh Rakyat NTB, atau Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan yang bekerja dalam senyap karena sepi liputan media padahal sudah raih lebih dari 130 penghargaan nasional dan internasional atas prestasi-prestasinya, atau Dr. Samsul Ashar Sp.PD, walikota Kediri yang yang juga dokter itu, atau Nur Mahmudi Ismail, mantan Menteri Kehutanan yang menjadi Walikota Depok yang kerap digoyang oleh kubu oposisinya. Mereka tetap orang-orang hebat sekalipun sebagian membencinya.

Tapi tidak seperti pada Jokowi, media tidak mem-blow up mereka. Tentu saja sebagian pihak boleh curiga  bahwa media dibayar oleh tim milik Jokowi sebagai ancar-ancar menuju kursi RI I. Itulah mengapa media selalu memberitakan yang positif-positif tentang Jokowi dan menenggelamkan berita tentang tangisan  korban penggusuran. Tudingan “media dibayar” ini sekalipun tidak pernah dibuktikan, (selain karena su’uzhan alias buruk sangka) tentu bukan berarti tudingan ini keliru. Maksud saya, bisajadi Jokowi benar membayar media untuk kepentingan politiknya, dan itu lazim di dunia politik meski tidak harus dibenarkan.

Saya sendiri entah kenapa menaruh “buruk sangka” serupa sekalipun saya  tidak bisa membuktikannya. Tetapi kita tentu harus paham pula bahwa rakyat rupanya pintar memilah berita di media. Bukankah raja-raja media semacam Aburizal Bakrie, Surya Paloh, dan Harry Tanoe tingkat elektabilitasnya tetap saja rendah sekalipun sudah “gila-gilaan” beriklan di media-media milik mereka? Mengapa Jokowi yang tidak punya TV justru berada di tingkat teratas sebagai kandidat presiden 2014? Hal ini menunjukan bahwa penguasaan terhadap media bukan satu-satunya faktor, ada X Factor yang menjadikan Gubernur yang acap naik pesawat kelas ekonomi ini erat dalam dekapan publik. Tentu saja, adalah naïf menilai seorang politisi besar tidak punya tim media terlebih di era Teknologi Informasi sekarang ini.

Di era kemajuan teknologi informasi, dimana berita-berita menyebar secara liar, tentu prestasi dari pemerintah harus sebanyak mungkin dipublish sebagai pengimbang, agar publik tidak salah persepsi yang pada akhirnya mendelegitimasi kekuasaannya. Jika media mainstream seringkali menyerang pemerintah, bukankah lazim pemerintah memberi semacam counter opinion?
Justru menurut saya, jika pun benar Jokowi membayar media untuk pencitraan dirinya, justru itu adalah kelebihan Jokowi sebagai politisi. Ia paham betul bagaimana menjaga citra dirinya di mata publik. Di alam demokrasi, politisi memang tidak hanya dituntut sekadar bekerja namun sepi liputan media. Bagaimanapun media tetap dibutuhkan sebagai alat propaganda terutama di negeri yang menerapkan demokrasi, dimana pemimpin diseleksi langsung oleh rakyat melalui pemilu. Oleh karena itulah para pemimpin dari partai manapun membutuhkan media. Mereka yang tidak pegang media konvensional semacam TV dan koran biasanya ramai-ramai membuat  media propaganda di media online, memberitakan apa yang sepi di media konvensional. Hal ini karena media, mengutip Adian Husaini (2002), mampu memengaruhi persepsi publik lewat apa yang ia sebut sebagai “Fakta Semu”, sebuah fakta yang merupakan hasil konstruksi media massa, atau dalam bahasa Ibnu Hamad (2004), Pakar Komunikasi UI dalam buku kerennya itu sebagai “Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa. Atau yang lebih berat, sebagaimana diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman (1967) sebagai Social Construction of Reality, yaitu realitas menjadi memiliki makna ketika realitas tersebut dikonstuksi dan dimaknakan secara subjektif sehingga memantapkan realitas secara objektif. Dan, jika kita berpandangan bahwa Jokowi  menguasai media, artinya kita memahami bahwa Jokowi lagi-lagi unggul dalam hal ini.

Jokowi Capres (?)

Masyarakat kita itu memang latah. Jika ada tokoh besar buru-buru masyarakat kita angkat tokoh tersebut jadi calon presiden. Tentu kita ingat bagaimana ketika Aa Gym masih dalam masa kejayaannya, beliau dielu-elukan media dan berkali-kali nama da’i sufi tersebut masuk sebagai nominasi capres sekalipun beliau berkali-kali pula menolaknya. Dalam sebuah seminar yang saya hadiri waktu itu, Denny JA, pemilik Lembaga Survei paling moncer saat itu, sampai geleng kepala melihat fenomena latah tersebut.

Fenomena Jokowi hari ini juga sama. Posisi Jokowi umpama SBY pada 2004, dipandang sebagai Satrio Piningit yang layak menjadi presiden. Jokowi merajai seluruh survei sebagai capres paling populer. Bayangkan “si Anak Emas” itu bahkan lebih populer dari “bunda”nya sendiri. Bahkan, seperti Fahri Hamzah katakan terhadap SBY di 2009, saking populernya, “berpasangan dengan Sandal Jepit pun, dia akan menang”. Artinya tidak penting siapa yang akan menjadi pendamping Jokowi  jika ia benar-benar maju sebagai capres. Berpasangan dengan tukang cimol pun, rasanya Jokowi tidak terbendung.

Dalam rakenas PDIP kemarin, spanduk dukungan utk pencapresan Jokowi membentang di luar agenda panitia. Tentu hal ini mereduksi trah Bung Karno yang selama ini digadang-gadang sebagai penerus politik dinasti PDIP. Jokowi memang membuat kalkulasi politik jadi berubah. Semua orang yang berhasrat menjadi presiden mau tidak mau harus memperhitungkan Jokowi. Membaca peta survei, Yunarto Wijaya, Analis politik Charta Politika bilang, kemungkinannya tiga skenario : pertama, berharap PDI-P tidak ajukan Jokowi agar kekuatan semua pihak kembali lagi pada titik nol,” kedua, kompetitor Jokowi bisa berkoalisi dengan Jokowi, entah bagaimana negosiasinya, dan ketiga, pada titik ekstrem, kubu non-Jokowi bersatu padu untuk menjegal Jokowi secara bersama-sama agar kekuatan Jokowi bisa diimbangi. ”Mereka pasti akan berhitung dengan variabel Jokowi ini, entah melawan, menjatuhkan, atau bergabung,” kata Yunarto.
PDIP sadar betul potensi Jokowi sebagai vote getter merupakan juru selamat di tengah begitu banyak kader partai ini yang terlibat kasus demi kasus mulai korupsi hingga asusila. Namun PDIP masih ragu untuk majukan Jokowi sebagai Capres, entah karena egoisme politik dinasti atau pertimbangan lain, Rakernas PDIP beberapa waktu lalu juga tidak bicarakan soal capres. Tampaknya PDIP sengaja membiarkan isu “Jokowi Capres” itu tetap menggelinding untuk raup suara sebanyak mungkin pada Pemilu legislatif esok. Logikanya, pendukung pencapresan Jokowi tentu akan memilih PDIP sebagai satu-satunya kendaraan yang shahih bagi kader taat semacam Jokowi utk melaju sebagai Capres. Perkara apakah nanti PDIP majukan Jokowi sebagai Presiden atau tidak selepas pemilu legislatif itu, itu urusan belakangan.
Baiknya Tetap di Jakarta
Jokowi memang tidak punya kemampuan orasi luar biasa seperti Obama yang disebut oleh Philip Collins, penulis andal dari koran Times Inggris itu dengan sebutan“Dia menunjukkan kekuatan brilian dalam berpidato” sehingga memengaruhi persepsi khalayak, tetapi Gubernur ndeso itu punya ketulusan sejak masih menjadi walikota Solo.

Namun demikian, sebagai orang yang setiap hari merasakan macetnya Jakarta, dimana 6 jam per hari saya habiskan di jalan pulang-pergi dari dan ke kantor, dan setiap tahun macetnya bertambah 15 menit, saya berharap Jokowi masih disini. Menuntaskan amanahnya dulu sebagai Gubernur yang diletakkan di pundaknya oleh rakyat Jakarta. Bertanggung jawab atas amanah itu dan tidak dia tingalkan. Benahi Ibu Kota, jika sukses bolehlah melaju Capres. Saya kira 2019 tidak terlalu lama bagi Jokowi maju sebagai presiden. Kita berikan kesempatan kepada Jokowi untuk mengkhatamkan diri memimpin Jakarta sebagaimana amanah tersebut dibebankan kepadanya, sebelum memimpin Indonesia.

Saya paham betul bahwa Jokowi besar dalam nuansa Jawa, adat istiadatnya  yang kejawen dan besar dalam partai yang kejawen pula. Itulah mengapa kita tidak bisa memaksanya untuk bicara tentang agama apalagi bicara fiqh berwudhu yang benar dan semacamnya. Pengagum musik cadas tersebut memang besar dalam lingkungan kultural jawa. Tentu keompok-kelompok Islam tidak bisa memaksanya untuk bekerja melebihi kapasitas dirinya itu, apalagi mengolok-olok cara Jokowi beribadah. Namun demikian tentu lebih baik dan arif jika Jokowi lebih berhati-hati ketika melontarkan pendapat berkaitan dengan symbol-simbol keagamaan. Misalnya pelarangan takbir keliling menjelang Idul Fitri, namun merayakan tahun baru besar-besaran di Sepanjang Sudirman-Thamrin, hal tersebut akan menjadi bola liar yang bergerak kesana kemari menghantam balai kota. Juga bagaimana ketika Jokowi bicara tentang  kondisi Mesir yang oleh sebagian kalangan terdengar menyakitkan. Baiknya Jokowi memulai pendekatan, belajar dan memahami akar budaya dan kearifan lokal masyakarat Jakarta yang sedari awal memang identik dengan kultur Islami.

Kepada para Jokowi lovers, tentu tidak ada manusia yang suci, menjadikan Jokowi selayak Hercules, si manusia setengah dewa, seperti kerap kita jumpai puja pujinya di sosial media, tentu bukan langkah yang benar. Tidak ada “The Holy Man” selepas para Nabi, tidak ada manusia ma’shum yang suci dari dosa. Jokowi punya kekurangan, kepemimpinannya di Solo juga belum mampu menjadikan Solo sebagai kota yang maju, tingkat kemiskinan di Solo masih tinggi, kemudian ditinggalkan Jokowike Jakarta karena perintah partai, apakah akan terulang kembali di DKI dengan meninggalkan  PR yang belum selesai?


Dan kepada Jokowi haters, dengan alasan apa pun rekan-rekan membencinya, kita tahu bahwa kebenaran itu dapat kita temui dimana saja. Bukan ekslusif milik satu kelompok tertentu, seolah tokoh-tokoh di luar kelompoknya, sehebat apapun, sebesar apapun, dan sebaik apapun diberitakan media, adalah salah. Pasti media tersebut dibayar. Pasti ada konspirasi di belakang ini, dst.

Saya khawatir cara pandang semacam itu sejatinya lahir dari kesempitan kita berfikir, atau mungkin–semoga tidak—dari kedengkian terhadap kebesaran orang lain. Dia tampak sedemikian besar, alih-alih kemudian kita meningkatkan prestasi agar kita pun terbangun menjadi besar pula, kita malah sibuk mengecil-kecilkannya.

Sejatinya kalimat ini adalah kalimat indah: “al-Hikmatu Dhollatul Mu’min, Fa AinaWajadaha Fahuwa Ahaqqu Biha” kebenaran adalah serakan yang hilang dari kaum beriman, dimana saja ia jumpai kebenaran itu, ia berhak untuk menerimanya..

3 komentar:

  1. Ilmu sekali baca Blog anda bung..

    BalasHapus
  2. Jadi ingat dengan salah satu surah al-Qur'an yg artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” [QS. Al-Maidah: 51]. Apakah anda pernah berpikir apa jadinya jika Jokowi jadi presiden? Seorang non muslim langsung jadi gubernur! Apakah masih menganggap diri beriman seperti yg disebutkan ayat di atas?

    BalasHapus
    Balasan
    1. setipe ama trio macan lu, gak punya otak, non-muslim darimana? datang sana ke Solo, surver dengan metode random sampling org2 solo juga pada tau Jokowi sering sholat bareng di masjid sama penduduk solo, klw perlu lihat data kependudukan lihat agamanya, calon neraka lu

      Hapus