Karena harus berangkat ke Mamuju dengan pesawat pertama. Selasa dini hari itu, sekitar pukul tiga pagi, saya menumpang taksi menuju Bandara Soekarno-Hatta. Menghilangkan rasa iseng, saya mengajak sopir taksi mengobrol dalam perjalanan membelah gelap itu. Entah bagaimana awalnya, selayaknya orang ngobrol ngalor ngidul, obrolan itu akhirnya menyerempet ke masalah politik. Sopir taksi tersebut bilang bahwa dia tidak pernah ikut Pemilu karena apatis dengan semua kandidat. Hanya saja, katanya, jika Jokowi yang mencalonkan diri maka dia dengan senang hati akan mendukungnya.
Sebagai alumni Jurusan Filsafat
Politik obrolan semacam ini tentu menarik bagi saya. Saya ingin membaca
bagaimana Jokowi di mata sopir taksi yang—meski bukan sebuah jaminan,
barangkali mewakili kebanyakan suara orang sepertinya. Dari cerita pagi
hari itu, rupanya ia punya pengalaman bagaimana saudaranya yang sakit
keras dan harus menjalani operasi sangat terbantu dengan Program Kartu
Jakarta Sehat yang ditelurkan Jokowi. “benar-benar tidak bayar, mas.
Alhamdulillah sudah sehat. Andaikata waktu itu harus bayar biaya
operasi, dari mana kami mendapat uang sebanyak itu? katanya.
Fakta
ini menginsafkan saya tentang Jokowi, bagaimana jasa mantan walikota
Solo itu dirasakan betul oleh masyarakat yang membutuhkan. Anda boleh
membenci Jokowi dengan segudang teori konspirasi yang diarahkan kepada
Jokowi entah dengan alasan apa, tapi apa yang diceritakan oleh sopir
tadi adalah fakta yang harus Anda akui.
Saya katakan
menginsafkan diri, karena sebaran informasi tentang Jokowi, khususnya
di jagad maya sangat liar. Akun anonim paling populer di jagad twitter,
@triomacan2000 baru-baru ini “membongkar” kebusukan Jokowi, konspirasi
di belakangnya, para pemilik modal pendukungnya, dst. Sertamerta twit
akun “wikileaks Indonesia” itu di-broadcast kemana-mana untuk mendemarketisasi si “Anak Ajaib” tersebut oleh para Jokowi haters. Sebaran informasi ini sedikit banyak tentu memengaruhi persepsi publik, termasuk saya.
Banyak
yang kehilangan kritisisme terhadap akun anonim yang acap dilaporkan
ke Kepolisian itu. Padahal kicauan-kicauan akun tersebut tak ubahnya
seperti berita Israiliyat dalam literatur Islam, yakni kabar-kabar yang tidak perlu ditolak seluruhnya, tetapi juga tidak perlu dibenarkan seluruhnya.
Selain
perbincangan dengan sopir taksi yang sudah seperti pengamat politik
itu, saya punya pengalaman lain tentang Jokowi, yaitu pada acara Buka
Puasa Hari Anak Nasional Bersama Presiden yang digelar di Gedung SME
Tower Ramadhan lalu. Saya lihat sendiri bagaimana ketika Presiden
bersama sejumlah menteri dan para pejabat, termasuk Jokowi, keluar
ruangan utama selepas acara, terdengar orang-orang mengelu-elukan
Jokowi. Jokowi dielu-elukan oleh hadirin, dan Anda tahu, Gubernur DKI
itu lebih populer –tentu saja—dari pada para Menteri KIB II.
Ekspresi
masyarakat semacam ini tentu tidak lahir dari ruang hampa. Program
Jokowi dirasa oleh mereka dan media massa ‘menggoreng’ itu. Pertanyaan
apakah “media yang memberitakan sosok yang sedang dicintai masyarakat”,
atau justru sebaliknya “media membesarkan Jokowi sehingga ia ia disukai
di masyarakat” adalah persoalan lain. Kita hanya melihat bahwa
masyarakat suka terhadap Jokowi, dan fenomena tersebut eksis. Bahkan
sebuah artikel berjudul a Wanted Badly: a Malaysian Jokowi di The Malay Mail,
Malaysia, Februari silam menggambarkan betapa rakyat Malaysia pun
rindu pemimpin selayak Jokowi dengan mengutip kisah lelaki kotak-kotak
itu dalam The Economist dan The Wall Street Journal. Anda membenci Jokowi karena apa?
Program Jokowi Original
Program
Jokowi memang original. Mulai dari program kecil seperti perayaan
tahun baru sepanjang jalan Sudirman-Thamrin yang tidak pernah
terbayangkan sebelumnya itu–padahal sangat antusias disambut
masyarakat–, atau pameran produk lokal di Monas untuk mengakomodir
pedagang kecil sebagai sindiran kepada Jakarta Fair yang dinilainya
terlalu mementingkan pengusaha besar, atau penertiban PKL di jalur semrawut carut marut
Tanah Abang (bayangkan lima tahun Foke pimpin Jakarta Tanah Abang
makin macet saja, Jokowi bereskan hanya dalam hitungan bulan), atau
penyediaan kursi taman sepanjang jalur utama Sudirman Thamrin yang
membuat jalur “Orchad-nya Indonesia” itu kian menarik dan bermanfaat
untuk sekadar melepas lelah, hingga program blusukan yang membuatnya
lebih paham lapangan dan kian dicintai rakyat Jakarta. Adakah pejabat
DKI sebelumnya yang turun ke gorong-gorong untuk melihat saluran air
berfungsi baik atau tidak, menyusur kampong-kampung di pinggiran sungai
yang aromanya tidak sedap itu untuk berfikir bagaimana mendirikan
hunian yang lebih layak bagi mereka? kita menilai apa yang tampak,
bukan?
Jangan salahkan media jika terus menguntit Jokowi.
Memang banyak kepala daerah lain yang hebat luar biasa di luar
Jakarta, kita bersyukur dan apresiasi beliau-beliau yg terhormat dan
mengabdikan diri untuk membangun daerahnya. Kita bisa sebut Gubernur
NTB, Tuan Guru Haji Bajang yang begitu dicintai oleh Rakyat NTB, atau
Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan yang bekerja dalam senyap karena
sepi liputan media padahal sudah raih lebih dari 130 penghargaan
nasional dan internasional atas prestasi-prestasinya, atau Dr. Samsul
Ashar Sp.PD, walikota Kediri yang yang juga dokter itu, atau Nur
Mahmudi Ismail, mantan Menteri Kehutanan yang menjadi Walikota Depok
yang kerap digoyang oleh kubu oposisinya. Mereka tetap orang-orang
hebat sekalipun sebagian membencinya.
Tapi tidak seperti pada Jokowi, media tidak mem-blow up mereka.
Tentu saja sebagian pihak boleh curiga bahwa media dibayar oleh tim
milik Jokowi sebagai ancar-ancar menuju kursi RI I. Itulah mengapa media
selalu memberitakan yang positif-positif tentang Jokowi dan
menenggelamkan berita tentang tangisan korban penggusuran. Tudingan
“media dibayar” ini sekalipun tidak pernah dibuktikan, (selain karena su’uzhan
alias buruk sangka) tentu bukan berarti tudingan ini keliru. Maksud
saya, bisajadi Jokowi benar membayar media untuk kepentingan politiknya,
dan itu lazim di dunia politik meski tidak harus dibenarkan.
Saya sendiri entah kenapa menaruh “buruk sangka”
serupa sekalipun saya tidak bisa membuktikannya. Tetapi kita tentu
harus paham pula bahwa rakyat rupanya pintar memilah berita di media.
Bukankah raja-raja media semacam Aburizal Bakrie, Surya Paloh, dan Harry
Tanoe tingkat elektabilitasnya tetap saja rendah sekalipun sudah
“gila-gilaan” beriklan di media-media milik mereka? Mengapa Jokowi yang
tidak punya TV justru berada di tingkat teratas sebagai kandidat
presiden 2014? Hal ini menunjukan bahwa penguasaan terhadap media bukan
satu-satunya faktor, ada X Factor yang menjadikan Gubernur
yang acap naik pesawat kelas ekonomi ini erat dalam dekapan publik.
Tentu saja, adalah naïf menilai seorang politisi besar tidak punya tim
media terlebih di era Teknologi Informasi sekarang ini.
Di
era kemajuan teknologi informasi, dimana berita-berita menyebar secara
liar, tentu prestasi dari pemerintah harus sebanyak mungkin dipublish
sebagai pengimbang, agar publik tidak salah persepsi yang pada akhirnya
mendelegitimasi kekuasaannya. Jika media mainstream seringkali
menyerang pemerintah, bukankah lazim pemerintah memberi semacam counter opinion?
Justru
menurut saya, jika pun benar Jokowi membayar media untuk pencitraan
dirinya, justru itu adalah kelebihan Jokowi sebagai politisi. Ia paham
betul bagaimana menjaga citra dirinya di mata publik. Di alam demokrasi,
politisi memang tidak hanya dituntut sekadar bekerja namun sepi
liputan media. Bagaimanapun media tetap dibutuhkan sebagai alat
propaganda terutama di negeri yang menerapkan demokrasi, dimana
pemimpin diseleksi langsung oleh rakyat melalui pemilu. Oleh karena
itulah para pemimpin dari partai manapun membutuhkan media. Mereka yang
tidak pegang media konvensional semacam TV dan koran biasanya
ramai-ramai membuat media propaganda di media online, memberitakan apa
yang sepi di media konvensional. Hal ini karena media, mengutip Adian
Husaini (2002), mampu memengaruhi persepsi publik lewat apa yang ia
sebut sebagai “Fakta Semu”, sebuah fakta yang merupakan hasil
konstruksi media massa, atau dalam bahasa Ibnu Hamad (2004), Pakar
Komunikasi UI dalam buku kerennya itu sebagai “Konstruksi Realitas
Politik dalam Media Massa. Atau yang lebih berat, sebagaimana
diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman (1967) sebagai Social Construction of Reality,
yaitu realitas menjadi memiliki makna ketika realitas tersebut
dikonstuksi dan dimaknakan secara subjektif sehingga memantapkan
realitas secara objektif. Dan, jika kita berpandangan bahwa Jokowi
menguasai media, artinya kita memahami bahwa Jokowi lagi-lagi unggul
dalam hal ini.
Jokowi Capres (?)
Masyarakat
kita itu memang latah. Jika ada tokoh besar buru-buru masyarakat kita
angkat tokoh tersebut jadi calon presiden. Tentu kita ingat bagaimana
ketika Aa Gym masih dalam masa kejayaannya, beliau dielu-elukan media
dan berkali-kali nama da’i sufi tersebut masuk sebagai nominasi capres
sekalipun beliau berkali-kali pula menolaknya. Dalam sebuah seminar yang
saya hadiri waktu itu, Denny JA, pemilik Lembaga Survei paling moncer
saat itu, sampai geleng kepala melihat fenomena latah tersebut.
Fenomena
Jokowi hari ini juga sama. Posisi Jokowi umpama SBY pada 2004,
dipandang sebagai Satrio Piningit yang layak menjadi presiden. Jokowi
merajai seluruh survei sebagai capres paling populer. Bayangkan “si Anak
Emas” itu bahkan lebih populer dari “bunda”nya sendiri. Bahkan,
seperti Fahri Hamzah katakan terhadap SBY di 2009, saking populernya,
“berpasangan dengan Sandal Jepit pun, dia akan menang”. Artinya tidak
penting siapa yang akan menjadi pendamping Jokowi jika ia benar-benar
maju sebagai capres. Berpasangan dengan tukang cimol pun, rasanya Jokowi
tidak terbendung.
Dalam rakenas PDIP kemarin, spanduk dukungan utk pencapresan Jokowi membentang di luar agenda panitia. Tentu hal ini mereduksi trah Bung Karno
yang selama ini digadang-gadang sebagai penerus politik dinasti PDIP.
Jokowi memang membuat kalkulasi politik jadi berubah. Semua orang yang
berhasrat menjadi presiden mau tidak mau harus memperhitungkan Jokowi.
Membaca peta survei, Yunarto Wijaya, Analis politik Charta Politika
bilang, kemungkinannya tiga skenario : pertama, berharap PDI-P tidak ajukan Jokowi agar kekuatan semua pihak kembali lagi pada titik nol,” kedua, kompetitor Jokowi bisa berkoalisi dengan Jokowi, entah bagaimana negosiasinya, dan ketiga,
pada titik ekstrem, kubu non-Jokowi bersatu padu untuk menjegal Jokowi
secara bersama-sama agar kekuatan Jokowi bisa diimbangi. ”Mereka pasti
akan berhitung dengan variabel Jokowi ini, entah melawan, menjatuhkan,
atau bergabung,” kata Yunarto.
PDIP sadar betul potensi Jokowi sebagai vote getter merupakan juru selamat di tengah begitu banyak kader partai ini yang terlibat kasus demi kasus mulai korupsi hingga asusila. Namun
PDIP masih ragu untuk majukan Jokowi sebagai Capres, entah karena
egoisme politik dinasti atau pertimbangan lain, Rakernas PDIP beberapa
waktu lalu juga tidak bicarakan soal capres. Tampaknya PDIP sengaja
membiarkan isu “Jokowi Capres” itu tetap menggelinding untuk raup suara
sebanyak mungkin pada Pemilu legislatif esok. Logikanya, pendukung
pencapresan Jokowi tentu akan memilih PDIP sebagai satu-satunya
kendaraan yang shahih bagi kader taat semacam Jokowi utk
melaju sebagai Capres. Perkara apakah nanti PDIP majukan Jokowi sebagai
Presiden atau tidak selepas pemilu legislatif itu, itu urusan
belakangan.
Baiknya Tetap di Jakarta
Jokowi memang tidak punya kemampuan orasi luar biasa seperti Obama yang disebut oleh Philip Collins, penulis andal dari koran Times Inggris itu dengan sebutan“Dia menunjukkan kekuatan brilian dalam berpidato” sehingga memengaruhi persepsi khalayak, tetapi Gubernur ndeso itu punya ketulusan sejak masih menjadi walikota Solo.
Namun
demikian, sebagai orang yang setiap hari merasakan macetnya Jakarta,
dimana 6 jam per hari saya habiskan di jalan pulang-pergi dari dan ke
kantor, dan setiap tahun macetnya bertambah 15 menit, saya berharap
Jokowi masih disini. Menuntaskan amanahnya dulu sebagai Gubernur yang
diletakkan di pundaknya oleh rakyat Jakarta. Bertanggung jawab atas
amanah itu dan tidak dia tingalkan. Benahi Ibu Kota, jika sukses
bolehlah melaju Capres. Saya kira 2019 tidak terlalu lama bagi Jokowi
maju sebagai presiden. Kita berikan kesempatan kepada Jokowi untuk
mengkhatamkan diri memimpin Jakarta sebagaimana amanah tersebut
dibebankan kepadanya, sebelum memimpin Indonesia.
Saya
paham betul bahwa Jokowi besar dalam nuansa Jawa, adat istiadatnya
yang kejawen dan besar dalam partai yang kejawen pula. Itulah mengapa
kita tidak bisa memaksanya untuk bicara tentang agama apalagi bicara
fiqh berwudhu yang benar dan semacamnya. Pengagum musik cadas tersebut
memang besar dalam lingkungan kultural jawa. Tentu keompok-kelompok
Islam tidak bisa memaksanya untuk bekerja melebihi kapasitas dirinya
itu, apalagi mengolok-olok cara Jokowi beribadah. Namun demikian tentu
lebih baik dan arif jika Jokowi lebih berhati-hati ketika melontarkan
pendapat berkaitan dengan symbol-simbol keagamaan. Misalnya pelarangan
takbir keliling menjelang Idul Fitri, namun merayakan tahun baru
besar-besaran di Sepanjang Sudirman-Thamrin, hal tersebut akan menjadi
bola liar yang bergerak kesana kemari menghantam balai kota. Juga
bagaimana ketika Jokowi bicara tentang kondisi Mesir yang oleh sebagian
kalangan terdengar menyakitkan. Baiknya Jokowi memulai pendekatan,
belajar dan memahami akar budaya dan kearifan lokal masyakarat Jakarta
yang sedari awal memang identik dengan kultur Islami.
Kepada para Jokowi lovers,
tentu tidak ada manusia yang suci, menjadikan Jokowi selayak Hercules,
si manusia setengah dewa, seperti kerap kita jumpai puja pujinya di
sosial media, tentu bukan langkah yang benar. Tidak ada “The Holy Man”
selepas para Nabi, tidak ada manusia ma’shum yang suci dari dosa. Jokowi
punya kekurangan, kepemimpinannya di Solo juga belum mampu menjadikan
Solo sebagai kota yang maju, tingkat kemiskinan di Solo masih tinggi,
kemudian ditinggalkan Jokowike Jakarta karena perintah partai, apakah
akan terulang kembali di DKI dengan meninggalkan PR yang belum selesai?
Dan kepada Jokowi haters,
dengan alasan apa pun rekan-rekan membencinya, kita tahu bahwa
kebenaran itu dapat kita temui dimana saja. Bukan ekslusif milik satu
kelompok tertentu, seolah tokoh-tokoh di luar kelompoknya, sehebat
apapun, sebesar apapun, dan sebaik apapun diberitakan media, adalah
salah. Pasti media tersebut dibayar. Pasti ada konspirasi di belakang
ini, dst.
Saya khawatir cara pandang semacam itu
sejatinya lahir dari kesempitan kita berfikir, atau mungkin–semoga
tidak—dari kedengkian terhadap kebesaran orang lain. Dia tampak
sedemikian besar, alih-alih kemudian kita meningkatkan prestasi agar
kita pun terbangun menjadi besar pula, kita malah sibuk
mengecil-kecilkannya.
Sejatinya kalimat ini adalah
kalimat indah: “al-Hikmatu Dhollatul Mu’min, Fa AinaWajadaha Fahuwa
Ahaqqu Biha” kebenaran adalah serakan yang hilang dari kaum beriman,
dimana saja ia jumpai kebenaran itu, ia berhak untuk menerimanya..
Ilmu sekali baca Blog anda bung..
BalasHapusJadi ingat dengan salah satu surah al-Qur'an yg artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” [QS. Al-Maidah: 51]. Apakah anda pernah berpikir apa jadinya jika Jokowi jadi presiden? Seorang non muslim langsung jadi gubernur! Apakah masih menganggap diri beriman seperti yg disebutkan ayat di atas?
BalasHapussetipe ama trio macan lu, gak punya otak, non-muslim darimana? datang sana ke Solo, surver dengan metode random sampling org2 solo juga pada tau Jokowi sering sholat bareng di masjid sama penduduk solo, klw perlu lihat data kependudukan lihat agamanya, calon neraka lu
Hapus