Jumat, 02 Januari 2015

Cerita PITA, Part II : Mujahid!




Seperti biasa, sore ini PITA duduk membentuk sebuah lingkaran. Halaqah pekanan yg bermakna. Karena disini mereka mengenal Islam, belajar berda’wah, mecintai Allah, Rasul-Nya, hingga mereka merasakan betapa sejuknya hidup dalam Islam, dan betapa pentingnya mencintai setiap Muslim di pelosok bumi manapun.

Seperti hari ini, Kak Agung mengangkat tema tentang urgensi solidaritas dunia Islam dalam menyelamatkan masjidil Aqsha dari cengkeraman zionis Israel. Demi membahasnya, suasana liqo menjadi betul2 serius, serasa ruh jihad meluap2. Tapi, kelihatannya Wahyu  lagi ga semangat tuh…

Hooamm..ngantuk banget liqo hari ini. Beginilah akibat nonton Layar Kemilau  semalaman. Meskipun asik, ternyata mudharatnya lebih banyak ketimbang manfaatnya.
Berbeda dgn yg lain, Halaqah hari ini terasa sangat sepi baginya…

***


Membuka Qadhaya Da’wah, Kak Agung mempersilahkan masing2 mentee utk menyampaikan kegelisahan hatinya. PITA bergantian curhat. Pasti tak jauh dari masalah keluarga, prestasi akademik, cewek, organisasi, dll.

Namun, Anto  hari ini menyampaikan kegundahan hatinya yg lain dari semuanya…

“ikhwati, sejujurnya setiap kali ana mendengar nama Palestina, seperti disebut Kak Agung tadi…hati ini terasa disayat2. Perih! Seakan ada dorongan di hati ini utk memberikan kontribusi yg lebih besar. Ana mencintai antum akhi, namun bagaimanapun jihad fi sabilillah lebih ana cintai…ana telah ber’azzam, insya Allah ana akan berangkat jihad kesana.. mempersembahkan diri ini utk membebaskan Palestina yg diberkahi. Ana ingin syahid, akhi… ana rindu darah ini mengalir menyuburkan tanah para nabi itu. Menyelamatkan al-Aqsha, mungkin dgn cara itu ana dapat menggapai surga Allah yg ana rindukan…”

Semuanya tampak serius mendengarkan. Melihat linangan airmata Anto , jelas apa yg diucapkannya bukanlah main2. Palestina, oh Palestina, engkaulah ranah jihad sepanjang masa. Sungguh lukamu adalah luka kami semua..tangismu adalah tangis kami semua..Anto terus melepaskan gundahnya, lalu menutupnya dgn kalimat,

“siapa yg mau ikut dgn ana?”

Semua mulut terkatup. Semua kepala tertunduk. Teruji sudah betapa lemah iman ini, ketika panggilan jihad terserukan di depan telinga. Ya, inilah batas iman kita, terujilah sudah…

“ana!”

Tiba2 Fazrin Fadhillah menyambut seruan suci itu. “insya Allah ana ikut.”
“Bagaimana dgn keluarga antum, Faz?”
“insya Allah ana akan berusaha utk meyakinkan mereka….”

***

Bukan perkara mudah bagi Fazrin utk meyakinkan orangtuanya mengizinkannya berjihad. Diskusi ke diskusi, debat ke debat. Sudah berulangkali Fazrin menyampaikan keutamaan berjihad dalam Islam, baik dari al-Quran maupun hadits. Sampai2 ia menduga kalu orangtuanya mungkin sudah hafal dgn dalil2 yg terlalu sering ia sampaikan.

Sebagai seorang anak, Fazrin bukan tidak paham perasaan orangtuanya. Mereka tentu menyesalkan keinginan Fazrin utk “mengantarkan nyawa” setelah letih merawat Fazrin selama 18 tahun tercurahkan. Setelah terperas segala keringat, setelah tak terhitung uang yg terkuras utk membesarkannya. Agar engkau menjadi orang besar, nak. Agar masa depanmu terbentang indah. Sebuah harapan suci setiap orangtua.
pokoknya tidak setuju!

Kalau sudah begitu, selesailah diskusi. Dan Fazrin kembali ke kamarnya, berdoa agar Allah membukakan hati orantuanya. Memberikannya izin utk membela agama Allah ini. Ah..nanda tahu betapa berat perasaanmu..namun hasrat ini begitu menggebu, bukankah setiap jiwa akan merasakan mati? Mudahkanlah wahai Rabb…”

***

Dua bulan berlalu usaha Fazrin membujuk orangtuanya tak sia2. Karena sudah tak kuasa lagi menahan keinginan anaknya, akhirnya orangtua Fazrin menyerah juga. Mereka mengenal betul sifat anaknya yg satu ini. Kukuh kalau sudah punya keinginan. Tak bisa dihalang-halangi. Pernah sewaktu masih SD ia bertengkar dengan kakaknya karena berebut Robocop pemberian pamannya. Alih2 mendapatkannya, robot itu justru terbanting dan rusak.

Beberapa hari kemudian, Fazrin kecil rela tidak jajan berhari2 demi mengumpulkan uang utk membeli robot semacam itu. “betul2 perjuagan yg tak kenal lelah!” bangga orangtuanya kala itu. Namun siapa sangka sifat anaknya kini harus berhadapan dgn cinta kasihnya?

***

30 April 2006
Taman Masjid

Taman itu terasa sejuk. Madrasah tempat Kak Agung Mengajar sudah tampak sepi, seperti biasa. Yang terlihat hanya beberapa anak paskibra yg sedang latihan di lapangan basket. Angin bertiup sepoi2 membelai rambut kami dgn cintanya yg meneduhkan. Menyejukkan hati yg sedang dilanda haru saat ini.

Ya, hari ini mungkin halaqah yg paling mengharukan dalam sejarah PITA. Betapa tidak, utk pertama kalinya PITA harus kehilangan dua anggota terbaiknya. Fazrin dan Anto, mutarabbi paling dicinta dan dibanggakan akh Agung

Mereka berdua hari ini pamit. Hari terakhir bersama keduanya sebelum menggapai surga. Perpisahan ini begitu mengharu biru. Berulang kali Wahyu  menyeka airmatanya.

“ana pasti merindukan antum” suara ringan khas Fazrin kini terasa berat…
“kami juga, akhi. Semoga berhasil menggapai ridha-Nya.”
“amien”
“amien”

Sepi,

Hening. . .

Menutup perpisahan ini, mereka menyenandungkan nasyid bersama utk terakhir kalinya, Selamat Tinggal Sahabat, dari Izzatul Islam.

Selamat tinggal sahabatku,
Ku kan pergi berjuang
Menegakkan cahaya Islam, jauh di negeri seberang..
Selamat tinggal sahabatku, ikhlaskanlah diriku..
Iringkanlah doa restumu,
Allah bersama selalu..

Ku berjanji dalam hati, utk segera kembali
Menjayakan negeri ini, dengan ridha Ilahi..
Kalaupun tak lagi jumpa, usahlah kau berduka
Semoga tunai cita-cita, raih gelar syuhada…


Dan, seribu doapun digelar. Kami semua tertunduk, hina dina dan lemah dihadapan Allah Penguasa segala. Jiwa2 kami sejuk dalam pelukan malaikat. Lisan gemetar mengaminkan do'a. Duhai Allah, karuniakanlah rahmat-Mu dalam perjuagan, kekalkanlah ukhuwah ini.. pertemukanlah kami kembali, di dunia, ataukah di surga-Mu kelak…”

Pelukan terakhir utk dua sahabat terbaikku, hangat. Tak ingin kulepas dekapmu ini.

"Akhi, istiqamahlah! "
“antum juga, akhi! Doakan ana menyusul!”
“Allahu Akbar! Alahu Akbar!!”

***

Begitulah, pekan demi pekan berikutnya, halaqah PITA berjalan tanpa Anto  dan Fazrin. Suasana halaqah terasa berbeda tanpa hadir mereka. Serasa ada yg hilang disini. Selalu ada butiran hangat yg mengalir dari mata ketika do'a dipanjatkan pada Rabb semesta. Selalu ada rindu yg membuncah pada dua sahabat mujahid kami. Selalu ada doa bagi mereka, agar berhasil dalam perjuangan. Ya, berhasil, itu yg mereka harapkan. Bukan menang. Karena menang belum tentu berhasil, begitupun sebaliknya.

“Allahumma unshur li ikhwanana almujahidiina fi Falesthin.. ya Allah, karuniakan pertolongan pd saudara2 kami di Palestina…”

***

18 September 2026, dua puluh tahun kemudian.

Wahyu meminta istrinya utk mempersiapkan segala perlengkapan da’wah dalam tas Eiger Day Packnya. Mushaf al-Quran saku, agenda da’wah, dsb. Hal serupa dilakukan Henry, Haidir, Yunus, Yusuf, Nashir, Eko 1, Eko 2 Ariep 1, Ariep 2, Wahyu, Sigit Coker Cogan, dll . Siang ini ada reuni istimewa di masjid madrasah. Pertemuan kembali PITA setelah lama tak kumpul bersama. Halaqah PITA memang sudah dipecah 18 tahun lalu. Tepat dua tahun pasca perpisahan waktu itu, 2006. Kini personilnya telah menjadi aktivis2 da’wah sesungguhnya. Henry menjabat Ustadz Kondang DKI. prestasinya di dunia dakwah tak diragukan lagi. Adit pakar public speaking, Yusuf sekretarisnya.  Nashir ketua Ormas Islam di Bogor, Haidir  Manajernya. Wahyu Penulis buku2 dakwah Handal. Eko Dua bahkan duduk sebagai ketua Fraksi di DPRD Kab.Buol. Sementara akh Agung, Mentor mereka dahulu, tetap berkonsentrasi di DPRa. Ngajar madrasah.

Barisan mobil berjajar di depan Madrasah, bonafide sekali madrasah kini. Beberapa orang memperhatikanku, mungkin mereka bertanya, siapa pria itu? Aku ingin jawab, aku Wahyu  santri di sini tahun 2003-2006. Ah sudahlah. Percuma. Sudah lama sekali. Eh itu ada PITA, subhanalah, berbeda sekali ya..

Masjid itu kini tampak berubah. Ia lebih besar dan ramai. Sebuah papan bertuliskan Islamic Center terpampang di pagar masjid. Santri generasi ini tampak semarak dan ramai. Mereka menjadikan masjid Rishol ini sebagai pusat dakwah. Melihat mereka mengingatkan kami waktu masih sekolah dulu. Waktu masih aktif di Lembaga Santri, waktu sibuk dari syuro ke syuro. Waktu kami malas2an pergi mabit karena dipaksa akh Agung Waktu latihan nasyid bersama. Wow, SBM Voice, kini tinggal legenda. Deretan piala perlombaan menerbangkan lamunan kami. Itu, piala waktu lomba di Sasana Ganesha Bandung. Berangkatnya kan pake mobil Bakat ya.. coba kalo SBM Voice masih eksis, mungkin sudah menghasilkan album kompilasi terbaiknya.. ck..ck..sekarang mah boro2, yg ada malah album komplikasi hasil rekaman di ruang teori lima sewaktu latihan dulu. Yg kalau si setel side A, maka side B nya rusak.. kalau si setel side B, side A nya rusak.. maklumlah..namanya juga album komplikasi!!

***

Henry, Haidir, Yunus, Yusuf, Nashir, Eko 1, Eko 2 Ariep 1, Ariep 2, Wahyu, Angga, Azzam, Fatah, Ansor, Ilham, irfan, Muflih, Nauval, Diaz, Suhud, Ridwan, Marwan, Hakim, Sigit Coker Cogan, dan Akh Agung, dan lain2 duduk membentuk halaqah di taman masjid Madrasah. Base camp kami 20 tahun yg lalu, waktu masih remaja. Suasananya dibuat seperti dulu. Ya Rabbi, betapa berjuta rindu ini… betapa bahagia berkumpul kembali…

“bagaimana aktivitas antum sekarang, Wahyu ?” Tanya akh Agung
“O, insya Allah lancar2 aja. Masih di DPD. Tapi pekan depan ane dikirim ke Jerman oleh perusahaan nih, Kak Agung” Jawab Wahyu  yg ternyata masih saja memanggil Akh Agung dgn sebutan ‘Kakak”.
“Keluarga antum ikut?”
“ya, istri dan anak ane juga ikut, disana insya Allah sekitar 2 tahun. Setelah itu baru kembali ke Indonesia. Ane sudah pamit ke jajaran qiyadah di DPD, sekaligus minta rekomendasi jaringan dakwah di Jerman.”
“wah subhanallah. Kapan berangkat?”
“insya Allah pekan depan. Doain ya. Semoga berkah..”

Obrolan demi obrolan mengalirkan derasnya kerinduan. Makanan kecil sudah hampir habis. Ariep terlihat membuka tasnya, lalu membagikan pada masing2 PITA, satu lembar fotokopian. Isinya.. puisi yg ditulis Anto , 20 tahun yg lalu…

Kodrat

Entah,
Siapa yg duduk di tempat ini
20 tahun yg lalu,
Sebagaimana aku duduk disini,
Sekarang ini.
Merekalah, masa lalu,
Yg tak kembali.

Entah,
Siapa yg duduk di tempat ini,
20 tahun mendatang,
Sebagaimana aku duduk disini,
Sekarang ini.
Akulah, masalalu.
Bagi mereka…
(Taman Masjid Madrasah, liqo PITA tercinta, 6 Januari 2006)


Anto , Fazrin, bagaimana keadaanmu kini? Kabar terakhir dari kalian kami terima 15 tahun lalu. Sudah lama sekali…

***

Munich, German, 05 November 2026

Masjid al-Hijri yg terletak di pusat kota Munich itu berdiri kokoh. Arsitektur serta ornament kaligrafi khas Eropa yang terukir pada tiang2 masjid mencitrakan nuansa khas “Islam Eropa.” Khat kaligrafi pada pintunya yg berukuran besar itu memanjakan setiap mata yg memandangnya, menawan.

Cukup ramai warga Muslim di kota ini. Kebanyakan berasal dari Pakistan dan Afrika Utara. Disini mereka mendirikan organisasi “keluarga Muslim Munich” yg bergerak dalam da’wah Islam, terutama memperkenalkan Islam dalam sudut pandang yg benar kepada orang2 barat. Anggotanya sekitar 120 orang, mereka rutin mengikuti kajian Islam Sabtu Malam dibawah bimbingan al-Ustadz ‘Abd al-‘Aziz el-Maghriby. Seorang 'alim besar imigran dari Maroko. Imam besar masjid al-Hijri sekaligus pendiri Keluarga Muslim Munich. Satu bulan mengawali tinggalnya di Jerman, Wahyu  bergabung dgn komunitas ini.

Hei, siapakah itu, laki2 yg duduk di barisan depan? Subhanallah, Anto  kah? Wahyu  menatapnya lekat. Tak salah lagi.
Ba’da ta’lim Wahyu  mendekatinya dgn senyum terkembang. Laki2 berperawakan gemuk itu tercekat. Lalu segela memeluknya, erat!!

“Anto …”
“Wahyu …”

Sunyi…hening

Rabbi, ada berjuta rindu disini, ada beribu haru dalam qalbu. Akhi, 20 tahun sudah tak jumpa. Bukan waktu yg singkat bagi kita. Apa kabar akhi? Apa kabar? Ana rindu..rindu sekali….

Anto  mengajak Wahyu  berkunjung ke rumahnya yg terletak di samping masjid. Rumah yg setiap hari Wahyu  lewati. Kenapa baru ketemu Anto  sekarang? Batinnya. Rumah yg mungil dan bersih. Seorang remaja menyediakan minum, budaya yg sangat timur.

“Itu anak ane. Namanya persis nama antum, Wahyu Noviandisah”

Wahyu  tersenyum mendengarnya. Sebegitu rindukah engkau padaku hingga anak pun kau namai seperti namaku? Nama yg sangat Indonesia, tak lazim di Jerman maupun Palestina.

“lalu, gimana antum bisa sampe sini, To?”

“Begini,” Anto  memulai ceritanya dengan bahasa indonesia yg masih cukup baik.

“setelah kemenangan kaum Muslimin atas Israel lima tahun lalu. Ane diajak teman utk tinggal disini. Beliau adalah putra imam Masjid al-Hijri, yg menyediakan rumah ini utk tinggal ane dan keluarga. beliau pula yg mengurus segala keperluan perpindahan kewarganegaraan ane.”

“oo…” Wahyu  memajukan mulutnya, sesekali diminumnya kopi hangat dalam cangkir bertuliskan Stop War itu.

“lalu, gimana kabar Fazrin?”

Ditanya ttg Fazrin, Anto  terdiam sesaat. Ia sudah menduga pertanyaan ini akan keluar juga. Matanya terlihat berkaca2. Wahyu  memperhatikan dgn seksama. perasaannya tak menentu, tak sabar ingin mendengar kabar ttg Fazrin. Mantan Mas’ul halaqahnya dulu.

“Fazrin Syahid 15 tahun yg lalu. Ia tertembak dalam sebuah penyerangan ke pos persenjataan Israel. Sejak saat itulah ane tak memberi kabar lagi ke Indonesia. Ane tidak kuat menulisnya. Oh iya, ane sempat diberikan sebuah buku dari sahabat karibnya di Jenin. Ia mengutip pesan Fazrin agar buku tersebut diberikan ke ane apabila ia telah menemui syahid. Sebentar, ane ambil dulu”

Anto  masuk ke kamarnya. Tak lama kemudian kembali dgn sebuah buku yg disimpannya rapi dalam plastik.
“ane terus menyimpan buku ini. Berharap suatu saat dapat memperlihatkannya ke antum di Indonesia. Coba antum baca. Ane sudah terlalu sering mmebacanya ketika ane merasa lemah dalam da’wah.”

Perlahan Wahyu  membuka buku tulis itu, isinya catatan harian.

Hal.12
20 Agustus 2011
Masih ingat kan pekan lalu? Ketika anjing2 israel melakukan show of force mengelilingi masjid al-Aqsha? Entah sampai kapan kezaliman ini terus terjadi. Peristiwa ini memancing demonstrasi di seluruh dunia Islam. Iran, Suriah, Pakistan, Indonesia. Indonesia!… negeri tercinta.. ana melihat barisan ikhwah dalam long march yg amat panjang. Subhanallah, ya. Solidaritas mereka begitu besar. Ana dan para ikhwan disini, Eqbal, Nadwi, Farhat, sampai merinding melihatnya. Akh Anto  melihat mereka juga ga ya? semoga beliau tetap dlm Rahmat Allah.

Yg luar biasa, ana lihat di tv itu, Yunus dan Diaz sedang orasi di atas mobil sound. Subhanallah PITA, udah lima tahun ga ketemu.. masih inget ga ya mereka sama ana?

Besok ba’da shubuh ana ditugaskan oleh batalyon Izzuddin al-Qassam utk menyerang pos persenjataan Israel. Bismillah, moga2 berhasil lagi ya.. kapan ya ana mendapatkan syahid seperti Fathi Farhat dan Yahya Ayyash? Ana pengin syahid nih…

***

“Yu, bangun Yu.. Ashar neeh.. Liqo koq malah tidur. Mangkenye kalo nongton teve jangan semaleman. Ketiduran deh jadinya.” Teguran Fazrin membuyarkan mimpi Wahyu .

Eh, jam berapa nih? Setengah empat..ya ampun! Koq bisa ketiduran yak??

“Fazrin!” terburu2 Wahyu  memeluknya. “ane kangen banget sama antum. Pokoknya ga bakal dilepasin…”

“eh..eh..apa-apaan sih? Lepasin, Wahyu e..lepasin. belun wudhu neeh.. ntar ketinggalan jama’ah lagi..”

***


"Dan janganlah kamu mengira bahwa yg gugur dijalan Allah itu mati. Sebenarnya mereka tetap hidup disisi Tuhan mereka dan mendapat rizki. Mereka bergembira dgn karunia yg diberikan Allah kpd mereka, dan bergirang hati terhadap orang2 yg masih tingal di belakang yg belum menyusul mereka. Tidak ada rasa takut pada mereka, dan tidak pula mereka bersedih hati.” (QS.3:169-170)



@mistersigit
PITA, Komunitas Independen
Jumat pertama 2015

0 komentar:

Posting Komentar