Jumat, 22 Maret 2013

Aktivis Hizbut Tahrir tak Paham Demokrasi


Oleh: Sigit Kamseno

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Saya ingin mengawali tulisan ini dengan mengucapkan terimakasih atas apresiasi dari rekan-rekan sekalian atas catatan-catatan saya sebelumnya. Saya mendapatkan banyak tanggapan, baik yang mengkritik, yang request untuk ditag, dan banyak pula yang mengajak diskusi one by one via inbox. Saya mohon maaf apabila diskusi tak semuanya diselesaikan karena keterbatasan waktu, sementara yang mengajak diskusi bukan hanya satu dua orang. Ada yang mempertanyakan latar belakang saya di harakah Islam tertentu, bahkan ada pula yang meminta saya untuk bersumpah atas nama Allah untuk pertanyaannya tentang niat saya dalam menulis artikel-artikel di facebook. Bagi saya, tanggapan-tanggapan tersebut merupakan konsekuensi logis jika kita mempublikasikan pandangan kita ke “permukaan jalan” yang dilalui banyak orang. dan hal tersebut adalah hal yang biasa saja bagi saya. kritik, nasehat, dan sebagainya adalah hal yang membuat diri kita menjadi lebih besar (tanpa kepala).

Saya ingin katakan bahwa bukan tanpa sengaja judul tulisan ini beraroma konklusif: Aktivis HT tak paham demokrasi. moga-moga saja konklusi saya tak keliru. Ada banyak pengalaman diskusi saya bersama para aktivis Hizbut Tahrir, baik di dunia maya maupun dunia nyata. Seperti beberapa waktu lalu. Malam hari di sebuah masjid, halaqah yang saya bina kedatangan dua orang mahasiswa. Karena halaqah adalah salah satu jendela ilmu, binaan-binaan saya- yang merupakan mahasiswa lintas universitas dan beberapa orang karyawan swasta itu—dengan senang hati menerima kedatangan “anggota baru” tersebut.

Dikarenakan kedatangan dua orang itulah, halaqah yg diawali sebelum Isya itu akhirnya berakhir hingga tengah malam. Rekan-rekan tahu tema apa yang diajukan dua orang mahasiswa itu dalam diskusi? Jika rekan2 menjawab ‘demokrasi’, maka jawaban anda benar saudara-saudara. :-)

Dari diskusi tersebut saya paham, mengapa seluruh aktivis Hizbut Tahrir membenci demokrasi. hal ini semata karena doktrin yang mereka terima sejak awal mempertentangkan antara aksioma “kedaulatan di tangan Allah” yang mereka terjemahkan dengan Khilafah Islamiyyah, vis a vis kedaulatan di tangan manusia yang mereka arahkan pada seluruh sistem selainnya, terutama demokrasi karena demokrasi merupakan satu ideologi paling menghagemoni di dunia saat ini. Bagi kebanyakan aktivis Hizbut Tahrir, musuh ‘ideologis’ terbesar baginya untuk saat ini adalah demokrasi.


Doktrin Hizbut Tahrir sama sekali tak memberikan pilihan bahwa demokrasi misalnya, bisa saja pada beberapa hal bersesuaian dengan konsep politik Islam. Bahwa nilai-nilai universal seperti egaliterianisme, kebebasan mengemukakan pendapat, dan lain sebagainya, bisa saja berjalan selajur dengan konsep-konsep Islam. Bahkan, konsep kedaulatan di tangan Allah sebetulnya bisa saja berjalan sesuai dengan kedaulatan di tangan rakyat jika “apa yang dikehendaki rakyat” tak bertentangan dengan “apa yang dikehendaki” Tuhan dalam perspektif Islam. Misalnya, jika Tuhan menghendaki diterapkannya ekonomi syariah, maka rakyat atau wakil-wakilnya di parlemen menelurkan regulasi tentang ekonomi syariah. Dalam hal ini sebetulnya adagium vox populi vox dei justru telah menemukan ruangnya yang benar: bahwa suara rakyat merupakan suara Tuhan.


Makna ‘Tuhan Dalam Dimensi Sosial Politis’ Masyarakat Barat


Dalam ranah empiris, memang, tak melulu (bahkan teramat jarang) suara rakyat adalah suara Tuhan karena bisa jadi rakyat menginginkan kebebasan seluas-luasya diluar ‘yang diinginkan’ Tuhan. Hal inilah yang saya kritik dalam sebuah mata kuliah politik saya di kampus.

Saya katakan kepada rekan-rekan mahasiswa saat itu bahwa “saya tak bersetuju dengan adagium vox populi vox dei”

Serta merta rekan saya yang bahkan "keringatnya berbau kiri" itu bilang, “jadi menurut Anda, Suara Penguasalah yang merupakan suara Tuhan?”

“Tidak”, saya melanjutkan, “sekali lagi, suara rakyat bukanlah suara Tuhan, suara penguasa juga bukanlah suara Tuhan.” Lanjut saya, “Suara Tuhan adalah suara kebenaran. Artinya, ketika suara itu sejalur dengan ‘kebenaran’, maka itulah suara Tuhan!”

Rekan-rekan mahasiswa serta dosen di kelas menyetujui apa yg saya katakan. Sebuah sikap yang demokratis, bukan? Bahkan yg berbeda pendapat pun tetap dipersilahkan. Jadi, ketidaksetujuan kita terhadap adagium vox populi vox dei dalam konsep demokrasi, justru diizinkan, bahkan oleh demokrasi itu sendiri. Tentu saja, hal ini tergantung pula dari apa yang dimaknai sebagai ‘Tuhan’ itu sendiri. Seperti kita tahu bahwa makna ‘tuhan’ yang dalam worldview masyarakat Barat berbeda dengan Tuhan seperti dipahami secara sosiologis pada masyarakat di Timur (seperti akan dipaparkan lebih lanjut).

Setelah kita bersepakat bahwa suara Tuhan adalah suara kebenaran, kita hanya tinggal mencari ‘formula’ apa yang akan mejadi standar untuk mengatakan “benar” terhadap suatu produk hukum, dan “salah” terhadap produk yang lain. Standar apa yang bisa kita gunakan untuk “berkata atas nama Tuhan sementara kita tak bisa berjumpa dengan-Nya?”

Masyarakat Barat sekular dengan nilai permissifismenya yang kental seperti kopi fullcream itu (jadi haus nih..) , mudah dibaca akan menjadikan “suara rakyat kebanyakan” sebagai standar kebenaran. (lebih tepatnya mungkin standar ‘kebolehan’ untuk tidak atau melakukan sesuatu dalam konteks sosial/politik. karena bisa jadi mereka ‘diperbolehkan’ melakukan sesuatu meskipun mereka menyadari hal tersebut sebagai sesuatu yg tidak benar).

Standar kebenaran secara sosial-politik bagi masyarakat barat bukan berasal dari doktrin-doktrin keagamaan, bukan pula berasal dari tradisi historis suatu kelompok tertentu. Hal ini disebabkan karena masyarakat barat mengadopsi konsep relativisme kebenaran. Jika ‘kebenaran suara Tuhan‘ merujuk kepada doktrin-doktrin agama tertentu, maka akan terjadi konflik dengan doktrin agama lain. Hal ini karena setiap agama memiliki klaim kebenarannya sendiri. Demikian pula jika kebenaran dikembalikan kepada tradisi historis, atau apapun yang termasuk dalam aspek-aspek primordial masyarakat lainnya, maka dikhawatirkan akan menjadi faktor penyulut konflik dengan tradisi historis, atau aspek-aspek primordial dari kelompok masyarakat yang lain.

Oleh karena itu, untuk menghindari pertentangan yang lebih luas dalam kehidupan politik dan bermasyarakat itu, selain dekonfessionalisasi[1] , maka suara mayoritas rakyat menjadi acuan dalam menentukan apa yg disebut dengan ‘kebenaran’ itu. Karena dengan konsep suara mayoritas, maka “jika jauh lebih banyak orang menginginkan A daripada sedikit orang yang menginginkan B, mengapa tidak kita mengakomodasi keinginan masyarakat yg jauh lebih banyak ketimbang yg lebih sedikit? sementara pada saat yg sama setiap orang punya klaim kebenarannya sendiri, dan Siapa yg bisa memaksakan klaim kebenarannya pada orang lain?” Maka tak ada jalan lain selain menyerahkan semuanya kepada apa yang diinginkan kebanyakan masyarakat.

Dalam ilustrasi ini, masyarakat barat kemudian telah menjadikan suara mayoritas sebagai ‘tuhan’ dalam mengatur urusan mereka. Tuhan dalam pengertian “kuasa atas segala yang terkait dengan kehidupan sosial politik. ini yang disebut dengan ‘tuhan’ dalam perspektif barat yang tertera dalam adagium vox populi vox dei. Bukan “tuhan spiritual” seperti yesus, yehovah, dll yang mereka sembah dalam ritus-ritus keagamaan mereka itu.


Bukan itu Maksudnya

Namun demokrasi tak hanya sebatas konteks Barat. Jika di masyarakat Barat suara mayoritas kemudian menggiring mereka pada kebebasan yang berlebihan, maka di Timur, khususnya kita di Indonesia, justru bisa menjadikan kuasa suara mayoritas itu untuk mendukung “kehendak Tuhan Yang Sebenar-benarnya Tuhan” yang ada dalam kitab suci kita, untuk ditelurkan dalam bentuk UU. Pengamat politik Yudi Latif menyebutnya, KedaulatanTuhan itu “didelegasikan” kepada manusia sebagai khalifah fil ardh.[2] Dalam arti bahwa penerjemahan hukum Tuhan itu memang diformulasikan oleh manusia.[3]

Di Barat, jika saja suara mayoritas dikuasai oleh kaum Muslim yang benar, maka sebetulnya keinginan utk berhukum dengan hukum Tuhan itu bukanlah hal yg tak mungkin, hanya saja menjadi “belum mungkin” karena suara kaum Muslimin di sana masih terlalu sedikit. Di Indonesia, peluang tersebut tentu saja terbuka jauh lebih lebar.

Kedaulatan Tuhan itu kemudian diterjemahkan ke dalam regulasi (seperti ucapan Ibnu Abbas Ra dalam catatan kaki), tentu kita tak hanya bicara potong tangan yang “menakutkan” bagi sebagian orang itu. dalam bahasa Untung Wahono, kita bisa mengawalinya secara bertahap dari ekonomi syariah, seni budaya syariah, dan sebagainya sehingga blue print syariah yg amat positif bisa dirasakan secara nyata oleh masyarakat, bukan semata wacana tentang indahnya hidup di bawah naungan syariah secara total namun hanya sebatas angan-angan. Jika masyarakat telah mengetahui keindahan hidup di bawah naungan Islam, maka tujuan utk melanjutkan kehidupan yg lebih Islami akan jauh lebih diterima. Meski tak perlu menamainya dengan istilah ‘negara Islam’ karena Rasulullah pun tidak mendeklarasikan istilah tersebut di Madinah. Begitupun khulafa al-Rasyidin.

Sayangnya aktivis HT tak memahami ini. Mereka keukeuh ingin mengkufur-kufurkan dan menthaghut-thaghutkan demokrasi karena mereka telah jatuh dalam “distorsi kognitif” terhadap demokrasi. Sejak awal para aktivis Hizbut Tahrir telah berkenalan dengan demokrasi melalui jalur yang tidak tepat. Musyrif-musyrif mereka, sejak awal telah menyodorkan “kertas hitam dan putih”. Putih dan suci untuk khilafah, vis a vis hitam untuk demokrasi. jika sebatas menghina demokrasi tentu tak jadi masalah, di kalangan akademisi pun definisi, makna, dan nilai demokrasi itu sendiri selalu diperdebatkan. tapi jika ketidak setujuan aktivis HT terhadap demokrasi itu diikuti dengan penyerangan-penyerangan kepada kelompok Islam lain secara “kurang beretika” maka menjadi batu sandungan dalam keber-ukhuwwahan kaum Muslimin.

Aktivis Hizbut Tahrir mengenal demokrasi justru dari kalangan yang membenci demokrasi. dari buku2 yg anti demokrasi dan yang mencercanya. Sehingga ketika “wawasan” ini berakumulasi, muncullah kemudian kebencian yang mendarah daging terhadap demokrasi sehingga buku atau sumber apapun yang kemudian disodorkan atau mereka baca sebagai compare atas pandangan mereka sebelumnya, maka tak akan merubah kebencian yg mendalam karena pengaruh distorrsi kognitif (pengenalan awal) itu. bahkan saya khawatir, buku-buku demokrasi yang mereka pelajari pun, semata dikaji untuk mencari-cari celah untuk dicela-cela kembali.

Saya rindu sekali dengan kedua mahasiswa tersebut dan ingin diskusi lebih jauh, sayang sekali selepas malam itu mereka tak pernah lagi hadir dalam halaqah yang saya bina.

Seluruh elaborasi di atas hanyalah persepsi saya. rekan-rekan tentu boleh berbeda pendapat dengan saya dan itu sah-sah saja. saya juga mempersilahkan jika ada di antara rekan yang ingin memberikan kritik atas pandangan tersbut, sejauh kita bisa saling berdialektika secara ilmiah.

Namun demikian, konklusi dari catatan ini bukan pada eksplorasi saya barusan, tetapi terdapat pada bagian akhir tulisan, seperti akan saya paparkan berikut:


Aktivis Hizbut Tahrir tak Tahu Demokrasi (?)

Sejarah Demokrasi



jujur ada yang “mengherankan” dalam diskusi saya di dunia maya. Dari diskusi ke diskusi ada begitu banyak aktivis Hizbut Tahrir yang menghempaskan semua sumpah serapahnya terhadap demokrasi.

Dunia maya, memang wahana yang bebas untuk curhat dan melepaskan kebencian.

Diantara mereka ada yang mencoba melakukan “tahqiiqul manath” terhadap demokrasi. Sebuah semangat seorang pelajar yang patut diapresiasi. Sayangnya, semangat ini hanya diiringi dengan wawasannya yg premature terhadap demokrasi itu sendiri. Ketika saya bertanya kepadanya bagaimana tentang sejarah lahirnya demokrasi yang dicela-celanya itu, ia menjawab bahwa demokrasi lahir dari konflik kaum gerejawan dan masyarakat di barat, dimana kaum gerejawan menjadikan dirinya sebagai wakil-wakil Tuhan di muka bumi untuk kepentingannya, oleh karena itu munculah konflik yang menghasilkan ide agar urusan rakyat diserahkan sepenuhnya kepada rakyat. Karena demokrasi berasal dari konflik kaum gerejawan dan masyarakat di Barat itulah, maka ia tak layak diadopsi oleh kaum Muslimin. Kira-kira seperti itu.

Rekan-rekan, anda tahu bagian mana yang “menyedihkan” dari statementnya diatas? Yaitu sejarah demokrasi yg ia sebut berasal dari konflik masyarakat Barat dan kaum gerejawan. Anda bisa melihat betapa wawasannya tentang demokrasi begitu rendah namun dengan “sok tahu” melakukan tahqiiqul manath terhadap demokrasi seraya mencela-celanya padahal wawasannya tentang demokrasi itu sendiri masih di tepian pantai.

Oh iya, hampir saja lupa. Saya bukan pengagum demokrasi. Saya juga bukan pembelanya. Saya pun tak pernah memuja-muja demokrasi seolah ia adalah sistem yang sempurna. Apalagi seperti yang sering aktivis HT tujukan kepada kelompok Islam lain, “penyembah” demokrasi. Saya hanya ingin menempatkan fenomena ini sebagai bahan pembelajaran bagi kita semua. Sebuah fenomena betapa tak jarang diantara kita yang merasa pengetahuannya telah cukup, kemudian dengan pengetahuan yg telah kita rasa cukup itu, kita membenci sesuatu yang sebetulnya pemahaman kita terhadapnya belumlah cukup komprehenshif. Semata karena kita diberikan pemahaman yang keliru sejak awalnya.

Aktivis hizbut tahrir yang satu ini rupanya lupa, bahwa gereja dan pemuka-pemukanya itu baru lahir pasca doktrin-doktrin Paulus di awal-awal abad Masehi seiring dengan agama Kristen yang dilahirkannya. Sementara Demokrasi sudah diterapkan jauh sebelumnya pada abad ke-6 SM. Bagaimana mungkin demokrasi yg sudah ada pada abad ke 6 SM lahir dari pertentangan kaum gereja dan masyarakat yang baru terjadi –bahkan—pada abad pertengahan di Eropa? Tampaknya ia tak bisa membedakan mana sejarah demokrasi dan mana sejarah sekularisme.

Apa yg ia katakan tersebut sebetulnya sejalur sejalan dengan rekan sesama harakah-nya yang mengatakan bahwa demokrasi lahir dari rahim sekularisme. Temannya yg satu ini pun lupa, bahwa sekularisme lahir lebih belakangan dari demokrasi.

Sekularisme berasal dari bahasa Latin: ‘saeculum’. Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas—seorang filosof Malaysia yang banyak menjadi rujukan para intelektual muda Muslim INSIST utk men-counter ide-ide Liberalisme Islam itu, Saeculum berarti ‘masa kini’ dan ‘disini’, atau bisa disebut “kedisinikinian”[4]. Sedangkan secara historis sekularisme bisa ditelusuri dari konflik yg terjadi pada abad pertengahan di Eropa akibat pertentangan antara kaum gereja dan ilmuwan seperti tercermin dalam kasus Nicollaus Coppernicus (1473-1543) atau pada kasus Galileo Galilei (1564-1642).[5] Dimana faktor agama bertentangan dengan kemajuan ilmu pengetahuan. Faktor lain yang memunculkan sekularisme adalah gerakan reformasi protestan yg dipimpin oleh Marthin Luther pada abad XV-XVI di Eropa. Gerakan ini menuntut dipisahkannya otoritas agama sebagai reaksi terhadap maraknya korupsi dan politisasi agama oleh penguasa Katholik Roma. Gerakan ini kemudian berhasil melahirkan Sekularisme, yaitu upaya utk memisahkan kekuasaan agama dan kekuasaan politik.[6] Dari sini kita bisa mengetahuui bahwa sekularisme baru muncul di Eropa berabad-abad setelah demokrasi di terapkan di Yunani Kuno pada abad ke-6 SM. Bagaimana mungkin demokrasi yang lahir lebih dulu, berasal dari rahim sekularisme yang lahir belakangan?

Jika pun, kita mengatakan bahwa sekularisme “sebagai ide” telah lahir dan diterapkan jauh sebelum abad pertengahan di Eropa, maka ide awal sekularisme bisa kita lihat dari dogma kristiani sebagaimana tertulis dalam injil Matius XXII:21 Urusan Kaisar serahkan saja kepada Kaisar, dan urusan Tuhan serahkan kepada Tuhan.”

Syamsuddin Arif seorang intelektual dan peneliti di INSIST, mengatakan, implikasi dari doktrin Kristen ini kemudian menghasilkan pandangan bahwa agama tidak perlu ikut campur dalam urusan politik dan negara, sehingga muncul dikotomi antara regnum dan sacerdotium, pemisahan antara kekuasaan raja dan otoritas gereja, antara wewenang negara dan wewenang agama. Doktrin ini pun mendapat legitimasi dari St. Augustin membuat distingsi antara Kota Bumi (civitas terrena) dan Kota Tuhan (civitas dei). [7]

Jika merujuk pada doktrin sekularisme Kristen ini pun, maka “persepsi aktivis HT” tersebut (aktivis HT biasanya mengatakan persepsi sebagai “faktanya”) yang mengatakan bahwa demokrasi lahir dari sekularisme akhirnya terbantahkan, karena sejarah Kristen muncul lebih belakangan dari sejarah demokrasi. Sekali lagi, mana mungkin doktrin sekularisme dari ayat injil yang baru muncul pada awal-awal abad Masehi itu melahirkan demokrasi yang diterapkan 600 tahun sebelumnya?

Anehnya, jika anda memanfaatkan search engine Google dengan keywords “bahwa demokrasi adalah sebuah sistem politik yang muncul dari akidah sekularisme”, maka anda akan mendapati bahwa tulisan-tulisan sejenis ini di-repost di banyak blog dan notes para aktivis Hizbut Tahrir secara taken for granted, atau tanpa tedeng aling-aling. Maksud saya, tanpa sikap kritis sedikitpun.

Aktivis HT yang sama juga berkata bahwa atas nama demokrasilah darah tumpah di Afghanistan, di Iraq, dan bumi2 kaum Muslimin lainnya. Karena demokrasilah, kaum Muslimin meregang nyawa di berbagai belahan dunia. Aktivis tersebut ingin menggiring kita pada persepsi buruk tentang demokrasi dengan mengatakan bahwa demokrasilah yang menyebabkan darah-darah itu tumpah di negeri-negeri kaum Muslimin. Tampak sekali “aktivis dakwah” ini menyamakan ‘demokrasi’ dengan ‘penyimpangan demokrasi’. Nalar ini sebetulnya mudah dibantah jika kita bisa merujuk kepada buku atau bertanya pada pakar-pakar demokrasi, dengan mengajukan sebuah pertanyaan, “apakah yg dilakukan AS di Afghanistan dan Iraq itu sesuatu yg sesuai dengan demokrasi atau justru mencederai demokrasi itu sendiri. Jika jawabannya adalah “tidak sesuai”, maka kita akan mengetahui bahwa sebetulnya apa yang dilakukan AS hanyalah perang yang mengatasnamakan demokrasi, dan bukan demokrasi itu sendiri.

Dari buku tentang demokrasi manapun, atau anda bertanya pada dosen ideologi politik manapun, tampaknya jawaban yang akan anda temui adalah, bahwa AS dalam hal ini hanya mengatasnamakan demokrasi dalam penyerangan ke Negara-negara tersebut untuk kepentingan minyak dan mempertahankan superioritasnya sebagai Negara adidaya di dunia dan justru bertentangan dengan nilai-neilai demokrasi itu sendiri.

Syabab ini tak bisa membedakan mana ‘demokrasi’ dan mana “penyimpangan terhadap demokrasi’. Anehnya, ia bisa dengan mudah membedakan antara ‘khilafah’ dan ‘penyimpangan khilafah’. Ia tentu bisa menalar dengan baik bahwa darah puluhan ribu kaum Muslimin dalam sejarah kelam kekhilafahan hanyalah sebentuk “penyimpangan” terhadap konsep khilafah dan bukan “khilafah” itu sendiri.

Mengapa “penyimpangan” demokrasi justru dibandingkan dengan “konsep” khilafah?

Semestinya, jika ingin membandingkan secara adil, bandingkanlah konsep dengan konsep, dan bandingkanlah penyimpangan konsep dengan penyimpangan konsep pula. Ini adil namanya. Penyimpangan terhadap demokrasi dengan darah-darah kaum muslimin yang tumpah semestinya dibandingkan juga dengan penyimpangan khilafah dengan darah-darah yang tumpah semasa Dinasty Umayyah dan Abbasiyyah misalnya, dimana puluhan ribu kaum muslimin meregang nyawa di masanya.

Dalam hal ini, jangan sampai secara tak adil, aktivis dakwah membandingkan penyimpangan demokrasi dengan masa keemasannya khilafah. Atau membandingkan konflik demokrasi dalam ranah empiris dengan konsep ideal khilafah dalam ranah wacana. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa, jikalau para aktivisnya saja tidak berlaku adil dalam menilai sesuatu, bagaimana mungkin khilafah akan tegak dengan adil?

"..walaa yajrimannakum syanaaanu qawmin 'alaa allaa ta'diluu i'diluu huwa aqrabu lilttaqwaa.."

Mungkin ayat dalam surah al-Maidah ini harus diingatkan pula kepada mereka agar tak hanya berfokus pada ayat 40-50 surah al-Maidah saja.


Halal-Haram dalam Demokrasi


Lain lagi dengan seorang syabab yang mengatakan bahwa demokrasi itu telah menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Sebuah statemen yang menurut saya tidak tepat. disebut tidak tepat karena demokrasi, bukanlah agama yang berbicara tentang halal dan haram. Demokrasi adalah konsep politik yang hanya bicara soal legal dan tidak legal. Untuk itulah dalam bahasa Anis Matta, diperlukan usaha agar yang ‘halal’ dalam agama menjadi legal dalam pandangan hukum postitif, dan apa yang ‘haram’ dalam pandangan agama menjadi tidak legal pula dalam pandangan hukum positif itu. Jika hal ini tercapai maka sebetulnya produk hukum yang dihasilkan oleh demokrasi justru mencerminkan berlakunya kedaulatan Tuhan dalam kehidupan bernegara. jika cita-cita ideal ini tercapai, maka sesungguhnya konsep “vox populi vox dei” (suara rakyat adalah suara Tuhan)” seperti yang saya katakan dimuka, telah menemukan maknanya yang tepat.

Masih amat banyak “kekeliruan” para aktivis HT yang membenci demokrasi tanpa pengetahuan. Benarlah kalimat bijak, Ketidaktahuan cenderung membawa pada kebencian. Pada beberapa waktu ketika saya diajak diskusi (atau debat?) oleh para aktivis HT itu, saya selalu meminta mereka untuk mendefiniskan demokrasi terlebih dahulu. Namun dalam seluruh pengalaman tersebut, tak ada satu pun syabab HT yang mampu memberikan jawaban akademis tentang demokrasi. Sebagian hanya mengatakan ‘kedaulatan di tangan rakyat’ dan berhenti sampai disana tanpa eksplorasi lebih lanjut untuk kemudian serta merta mempertentangkannya dengan Islam sebagaimana yang dipahaminya berikut sejumlah dalil dari al-Quran dengan menafikan para mufassir seolah-olah mereka paling mengetehui tentang demokrasi dan al-Quran. (coba bayangkan, demokrasi yang hanya konsep politik, ia bandingkan dengan Islam yang merupakan al-Diin yang syamil wa mutakamil, bukankah hal ini sebetulnya terlalu meninggikan demokrasi atau merendahkan Islam. Islam itu ya’lu wa laa yu’la ‘alaih. Tak sebanding kiranya Islam yang tinggi itu diperbandingkan dengan konsep demokrasi yang sebatas dimensi politik).

Atau dengan pola yang sama mengatakan demokrasi itu memiliki doktrin vox populi vox dei, lalu tanpa eksplorasi lebih lanjut, serta merta ia mencacinya dengan sumpah serapah. (parahnya lagi, ia menulisnya “fox populi fox dei”, sudah tak paham, benci habis-habisan pula) Dan bagi mereka ini adalah sebentuk dakwah. Ada pula yang merasa kesulitan utk menjelaskan demokrasi kecuali bersandar pada buku-bukunya Abdul Qadim Zallum, lalu mengalihkan diskusi dengan kalimat Tanya: apa itu politik?


Jika kita menjawab pengertian politik dari definisi-definisi yang akademis, maka semuanya akan dipandang salah dan ia akan memberikan definisi yang “benar” bahwa politik itu adalah “pemeliharaan urusan ummat…bla..bla..”

Demikianlah cara aktivis HT menunjukkan pengetahuan dan kebenciannya tentang demokrasi. Bagi mereka yang sedikit saja mengetahui wawasan ilmu politik, akan mudah mengetahui bahwa pemahaman Hizbut Tahrir ini hanyalah produk dari doktrin yang tak tercerahkan. Layaknya berada dalam dunia terasing dalam kesendiriannya seraya dengan ‘sok tahu’ menyalah-nyalahkan yang lain.

kenapa oh kenapa saya katakan ‘sok tahu’? karena oh karena, ternyata kejahilan “beberapa” pejuang khilafah bukan hanya pada wawasan politik wa bil khusush tentang demokrasi yang mereka benci sepenuh hati itu, tetapi juga pada pengertian khilafah yang mereka puja setengah mati.

Lihatlah seorang aktivis HT dengan penuh semangat yang meledak-ledak berkata dalam diskusi bersama saya bahwa Rasulullah SAW adalah “khalifah pertama dalam Islam”.

Masya Allah. Menghujat-hujat demokrasi tanpa pengetahuan memadai, dan mendewa-dewakan khilafah tanpa pengetahuan memadai pula, seraya menyalah-nyalahkan kelompok lain.


Apa namanya kalau bukan “sok tahu”?


Wallahu a’lam.

Wassalamu'alaikum wr wb

Jakarta, Juli 2011



--

[1] Dekonfessionalisasi adalah konsep yang digunakan untuk memperluas penerimaan umum, mencakup semua kelompok yang berkepentingan, terhadap konsep-konsep “atas dasar pertimbangan kemanusian bersama. Pendekatan dekonfessionalisasi ini dekembangkan oleh CAO Van Nieuwenhuijze pada pertengahan 1960. sederhananya, dekonfessionalisasi berarti mengakomodasi unsur dari semua kelompok pembentuk negara, hanya saja tidak seluruhnya karena dikhawatirkan akan berbenturan dengan paham kelompok yang lain. dalam konsep ini, semua kelompok merasa terwakili sebagai ‘pembentuk’ konstitusi’. utnuk lebih lengkap mengenai konsep ini lihat bukunya Pengamat Politik Bachtiar Efendy, Islam dan Negara: T terbitan Paramadina, Jakarta.

[2] Lihat Yudi Latif, “Sekularisasi Masyarakat dan Negara Indonesia,” dalam Komarudin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, ed., Islam, Negara, dan Civil Society: Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer (Jakarta: Paramadina, 2005), h. 143-144.

[3] saya jadi teringat kisah bagaimana Ibnu Abbas RA berhadapan dengan kaum khawarij yang mengkafirkan Imam Ali karena tiga alasan, salah satunya adalah karena mereka menganggap Ali telah berhukum dengan hukum buatan manusia.

mereka berkata:

Mereka berkata: “Sungguh dia (Ali ibn Abi Thalib telah menjadikan manusia sebagai hakim (pemutus perkara) dalam urusan Allah, padahal Allah berfirman:

“…Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah …” (Yusuf: 40)

Hukum manusia tidak ada artinya di hadapan firman Allah!”

maka Ibnu Abbas RA menjawab:

“Ucapan kalian bahwa Ali telah menggunakan manusia dalam memutuskan perkara (untuk mendamaikan persengketaan antara kaum muslimin), sebagai jawabannya akan kubacakan ayat yang membatalkan syubhat kalian. Jika ucapan kalian terbantah, maukah kalian kembali (kepada jalan yang benar)?”

Mereka berkata: “Ya, tentu kami akan kembali.”

Ibnu ‘Abbas RA berkata: “Ketahuilah, sesungguhnya Allah telah menyerahkan di antara hukum-Nya kepada hukum (keputusan) manusia, seperti dalam menentukan harga kelinci (sebagai tebusan atas kelinci yang dibunuh saat ihram. Allah berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan (hukum) dua orang yang adil di antara kamu, sebagai hadyu yang dibawa sampai ke Ka’bah, atau (dendanya) membayar kafarat dengan memberi makan orang-orang miskin, atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. Dan barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa.” (Al-Maidah: 95)

Demikian pula dalam perkara perempuan dan suaminya yang bersengketa, Allah juga menyerahkan hukumnya kepada hukum (keputusan) manusia untuk mendamaikan antara keduanya. Allah berfirman:

“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha mengenal.” (An-Nisa: 35)

Maka Demi Allah , jawablah oleh kalian. Apakah diutusnya seorang manusia untuk mendamaikan hubungan mereka dan mencegah pertumpahan darah di antara mereka[6] lebih pantas untuk dilakukan, atau hukum manusia perihal darah seekor kelinci dan urusan pernikahan wanita? Menurut kalian manakah yang lebih pantas?”

Mereka katakan: “Bahkan inilah (yakni mengutus manusia untuk mendamaikan manusia dari pertumpahan darah) yang lebih pantas.”

[4] Syed M. Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme (Bandung: Penerbit Pustaka, 1981), h. 15.

[5] Adian Hussaini, “Problem Teks Bible dan Hermeneutika”, dalam Islamia, No. 1 Vol.1 (Maret 2004): h.13.

[6] Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat. Sejarah Perkembangan Negara, Masyarakat, dan Kekuasaan (Jakarta: Gramedia, 2001), h. 144-147.

[7] Syamsuddin Arief, Religius atau Sekuler, makalah pada Website INSIST. Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations. 03 January 2011

0 komentar:

Posting Komentar