Kamis, 21 Maret 2013

akhwat vs cewek

Cerita diawali dari perjalanan pulang kantor yg salah naik bus. Setelah nunggu hampir satu jam lamanya sampe tumbuh toge, di kejauhan persimpangan lampu merah ane melihat bus langganan melintas berbarengan dengan bus lain. Seketika hati ane sumringah berbunga-bunga… akhirnya bus tersebut datang juga!!

Tanpa ba-bi-bu langsung lompat ke pintu bus dan duduk dengan nyaman..

hmmmbwahh…

sampe di pintu tol kondekturnya nagih ongkos..ow..ow.. syukur campur bingung..ongkosnya turun jadi 7ribu saja..!

Ternyata saudara2, ane malah naik bus jurusan Jati Asih, Bekasi. Dah ga bisa turun kecuali selepas tol. Jadi ane akan muter2 meraba jalan pulang ke Cibinong.

Dalam perjalanan pulang itulah, malam2 diselimuti rasa lelah, dengan ongkos yg tinggal pas-pasan di kantong, ane mengobrol dgn beberapa penumpang.

Satu dari mereka yg ingin ane garis bawahi. Ibu2 berjilbab. Tampaknya seorang aktivis dakwah.. semangat dakwahnya luar biasa, terkesan over.

Ane ga nyaman mendengar “taushiyyah2” dia tentang syukur, tentang sabar, dsb, kepada penumpang seorang pedagang kakilima yg kesasar ke daerah Jati Asih yg disampaikan dengan doktrinasi.

Si ibu bilang bahwa “bapak ini terlalu mengutamakan nafsu daripada akal,” si bapak tampak membela diri dengan aksen bandungnya yg ramah, tapi si Ibu bilang dengan nada dicanda-candakan, “susah nih,, si bapak dari tadi menyangkal terus…” si bapak makin tampak tersinggung.

Beberapa kali ane berusaha membelokkan pembicaraan ke seputar nyasar2 ane dan si bapak itu. Tapi si ibu kembali “berdakwah”. Tidak sadarkah dia bahwa si bapak ini sedang lelah kesasar di Bekasi? Dia butuh motivasi, bukan judge bahwa dia lebih mengutamakan nafsu daripada akal yg berkali2 disangkalnya.

Ane teringat dengan sebuah pedoman dakwah para da’i, “ud’u ilaa sabiili Rabbika bil hikmah” (serulah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yg baik (QS. An-Nahl; 15:125 ), berdakwah tidak harus melalui ceramah2. Tidak perlu lewat taushiyyah2 apalagi dlm kondisi yg tidak tepat. Tidak perlu membacakan ayat, tetapi menampilkan akhlak yg baik sebagai implementasi dari ayat, itu jauh lebih mudah diterima masyarakat.

Ane jadi teringat dengan seorang akhwat da’iyah yg langsung menyalahkan ane dalam suatu acara partai Islam, dimana ane baru mendapatkan segenggam stiker yg baru ane terima dan akan ane sebarkan ke peserta, ketika dia melihat ane secara tiba2 dia bilang, “itu stikernya dibagikan akh! jangan dipegangin aja!” Subhanallah..ane tersenyum karena senyum adalah cara terbaik melihat perilaku “lucu” sesorang (anggap aja hal itu lucu dan menyenangkan…)

Tak tahukah ia bahwa stiker itu baru saja sampai ditangan ane satu menit sebelumnya?

Sampai ahirnya ane mengambil kesimpulan bahwa “keakhwatan” seseorang memang tidak berbanding lurus dengan akhlak mulia. Tak ada korelasi postif antara keakhwatan dgn akhlak yg baik.

Ada banyak akhwat2 yg gampang menjudge sesuatu sebagai hal yg tidak benar (tentu menurutnya; sesuai batas pengetahuannya) dengan cara yg doktriner dan kurang luwes.

Sebaliknya ada juga perempuan2 yg tak berjilbab tapi berakhlak baik.
Jilbab tentu kewajiban, dan berdosa jika perempuan tidak mengenakan hijab sekalipun dia berakhlak baik. Namun selayaknyalah para akhwat berjilbab juga menjilbabi hati dan akhlaknya dengan akhlak mulia sebagaimana yg diajarkan Sang Nabi, “innama bu’itstu li utammima makaarima al-akhlaaq” (HR. Ahmad dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no.45)

Tidak semua telinga orang mudah menerima ceramah, tapi semua orang kagum melihat akhlak yg baik…

--
Lihat sikon kalo dakwah ya… 15.310. 11.12

1 komentar:

  1. Wahhhhh suka postingannya....
    Hijab dan akhlak harus berbanding lurus...
    Sepakat..

    BalasHapus